Terimakasih atas Doamu Ibu…
oleh Ferizal Ramli
Suatu ketika di tahun 1993-an, seketika status ekonomi keluarga jatuh pada titik nadir secara dramastis. Dari seorang anak yang berkecukupan yang ayah bekerja sebagai pelaut Pertamina menjadi anak seorang janda yang ndak berdaya. Semua hancur dalam sekejap. Hancur beserta air mata.
Tidak ada uang kuliah. Tidak ada uang makan. Tidak ada kamar kost. Tidak ada buku. Tidak ada transportasi. Nichts! Nothing! Tidur nomaden, numpang dari kamar kost teman satu ke kamar kost teman lainnya. Makan, minta dari teman yang satu ke temen yang lain. Boro-2 mau lulus kuliah, lha wong untuk makan besok aja belum tentu bisa. Lha wong untuk nanti malam tidur dimana aja ndak tahu kok.
Dalam posisi yang begitu sulit, suatu hari sang Mama datang ke asramaku yang kutempati gratisan. Bersama sang Adik perempuan yang baru naik kelas 2 SMU, sang Mama yang terlihat lelah getir tetap bicara tegar meskipun lirih:
„Ferizal, ini adikmu. Mama ndak mampu membiayai dan menyekolahkan. Tolong selamatkan dia. Sekolahkan dia kalau kamu mampu. Kamu tahukan, adikkmu sangat pandai. Sayang sekali harus putus sekolah“, begitu kata sang Mama tegar dan tabah. Mama akan selalu berdoa untukmu dan masa depan adikmu.
Sorenya, kuantar Sang Mama yang bertubuh kecil, tapi berjiwa tegar pulang dengan meminjam motor teman menuju Stasiun Lempuyang Yogyakarta. Air Mata mengalir, saat melihat Sang Mama tidak mendapatkan tempat duduk di kelas Ekonomi Senja Ekonomi menuju Tanah Abang. Sang Mama tidur di bawah dekat WC, beralaskan koran dan selanjutnya ke Merak lalu melanjutkan perjalanan panjang menyebrang ke Sumatera ke Pringsewu Lampung.
Putus asa, sedih, nyaris hancur harapan untuk bisa hidup akan hari esok adalah sebuah ketakutan yang amat sangat yang begitu menghantui. Disinilah, akhirnya aku menyadari rasa takut, rasa sedih dan rasa tidak berdaya itu sebenarnya sebuah karunia agar kita tetap tegar dalam kekuatan doa.
Dalam saat-2 yang getir itulah sepucuk surat dari Sang Mama rasanya seperti oase harapan hari depan. Isinya selalu ringkas dengan nada coretan yang nyaris selalu sama: “Ananda di meja belajar. Tetaplah teguh bertahan dalam masa-masa sulitmu untuk cita-citamu. Doa tahajud Mama selalu bersama untuk hari esokmu…”
Kelak, sang adik perempuanku bisa sekolah di SMU 1 Teladan Yogya, mendapatkan PMDK di FE UNS Solo lalu mendapatkan bea siswa PNS untuk menyelesaikan S-2 MPKD di Universitas Indonesia. Aku sendiri atas doa sang Mama akhirnya bisa mencari sesuap nasi di tepian Lembah Sungai Isar di kota München. Kota yang konon khabarnya adalah kota yang kualitas hidupnya nomor 1 terbaik di dunia…
Di kesunyian malam dingin musin Winter dibawah minus 10 derajat
Dari Tepian Lembah Sungai Isar
München, 22.12.2010
Ferizal Ramli
Sangat menyentuh Mas, semoga Mas Ferizal bisa menduplikasi kesuksesannya pada anak-anak Indonesia yg masih berjuang meraih kesuksesan hidup.