UGM dalam Kenangan Medria
Jogjakarta menjadi kota yang sangat mengesankan baginya. Terlebih masa-masa kuliah di UGM dulu. Tahun 1984, ia mengantongi gelar sarjana jurusan matematika dan kini sukses meniti karier di perusahaan perminyakan.
Secara berurutan, Keluarga Alumni Gadjah Mada (Kagama) menyelenggarakan kegiatan Seminar nasional bertajuk “Jalan Menuju Kesejahteraan, Persembahan Kagama untuk Indonesia” dan Sidang Pleno Nasional 2010 pada Jumat-Sabtu (7-8/12) tahun 2010 lalu. Di hari itu Grha Sabha Pramana tampak ramai oleh peserta seminar dan peserta sidang. Acara tersebut dihadiri Ketua Umum Kagama Sri Sultan Hamengkubuwono X, Rektor UGM Prof. Ir. Sudjarwadi, M.Eng., Ph.D., serta Menteri Pemuda dan Olahraga, Andi Alifian Mallarangeng. Peserta yang hadir adalah perwakilan pengurus kagama cabang daerah, juga pengurus kagama cabang luar negeri.
Medria Kusuma Dewi, salah satu peserta kegiatan yang diselenggarakan kagama itu datang dari negeri jiran, Malaysia. Ia hadir mewakili pengurus Kagama cabang Malaysia. Saat ditemui di Wisma Kagama, wanita berkerudung merah itu merasa seperti sedang bernostalgia. Ia merasa senang dapat kembali mengunjungi almamaternya.
Saat tiba di lingkungan kampus, wanita yang kini menetap di Kuala Lumpur itu merasakan perubahan yang terjadi di UGM sekarang. Dulu, baginya UGM dikenal sebagai kampus yang murah dan banyak wong ndeso. Lingkungan sekitarnya penuh dengan pepohonan yang menjadikan UGM terlihat rindang. Itulah yang membuat Medria tertarik untuk menimba ilmu di kampus biru. Di samping itu, suasananya sangat mendukung untuk belajar.
Sekitar tahun 1979, Medria mendaftar di UGM melalui jalur Pemilihan Bibit Unggul Daerah (PBUD). Ia dapat menembus Perguruan Tinggi terbaik di Jogja itu melalui rekomendasi pemerintah daerah Madiun. “Biasanya masyarakat menilai jalur PBUD itu untuk siswa yang pintar. Padahal dulu saya biasa-biasa saja,” guraunya.
Wanita kelahiran Madiun itu menceritakan penantiannya menjadi mahasiswa. Saat itu, di Indonesia terdapat pergantian menteri pendidikan. Tahun ajaran baru mengalami pergeseran. “Mulanya, tahun ajaran baru jatuh pada bulan Januari. Namun, menteri pendidikan yang baru menggantinya menjadi bulan Juli,” terangnya. Medria pun harus menunggu untuk bisa merasakan atmosfir bangku perkuliahan yang ditunggu-tunggu. Penantiannya pun terbayarkan, ia diterima di Fakultas MIPA, jurusan Matematika UGM. “Saya memang cuma bisa pelajaran menghitung saja, yang lain saya kurang mengerti,” akunya.
Pikirannya seolah mengajak kembali mengenang masa lalu. Bagi Medria, bangku perkuliahan sangat mengesankan. Semasa di Jogja, ia tinggal bersama teman-temannya di asrama. “Saya dan teman-teman rata-rata berasal dari keluarga kurang mampu. Kalau kemana-mana kita harus jalan kaki karena tidak ada motor. Di asrama pun belum ada PAM, sehingga air sering kotor,” kenangnya. Kadang ia dan temannya harus menumpang di rumah tetangga sebelah untuk mandi.
Masa-masanya dulu seakan kembali hadir dalam ingatannya. Tiba-tiba ia tersenyum kecil ketika mengingat keprihatinannya saat harus hidup jauh dari orangtua. Makan di Rumah Makan Padang menjadi suatu hal yang mewah baginya dan teman-temannya. Bahkan, makan ayam pun hanya mampu seminggu sekali. Tak jarang juga mereka sering merelakan berpuasa setiap Senin dan Kamis. “Jadi, kita sering niat two in one, puasa bukan hanya untuk beribadah, tetapi juga untuk berhemat,“ kenang Medria sembari tertawa.
Dari pengalamannya itulah ia merasakan tidak ada kesenjangan sosial antara teman yang kaya dan miskin. “Teman yang kaya tetap hidup seperti teman lainnya, sederhana, dan tidak sombong,” tambahnya. Perjuangannya sangat terasa saat menjalani hari-harinya sewaktu mahasiswa.
Di lingkungan kampus, wanita berkacamata itu termasuk mahasiswa yang rajin, tekun, dan kutu buku. Ia juga mengaku menjadi mahasiswa yang kuper. Hari-harinya dipenuhi dengan kegiatan diskusi, baik di perpustakaan, maupun di kamar bersama teman asrama lainnya. “Saya bukan termasuk mahasiswa yang aktif, karena jarang sekali anak MIPA yang menjadi aktivis,” tutur Medria. Ditambah lagi lingkungan UGM saat itu sangat mendukung kegiatan belajarnya.
Lima tahun tinggal di perantauan dan jauh dari orangtua membuat tekad belajarnya kian besar. Itulah yang memotivasinya untuk terus belajar agar cepat mengantongi gelar sarjana. “Kebetulan saya berasal dari keluarga kurang mampu, jadi beban orangtua sangat berat. Saya tidak ingin membuat beban orangtua kian bertambah. Alhamdulillah tahun 1984 saya sudah lulus. Bagi jurusan MIPA, lima tahun lumayanlah,” ceritanya.
Lulus dari UGM, Medria sempat mengajar anak-anak SMP di tempat bimbingan belajar. Ia juga pernah merasakan bekerja berpindah-pindah tempat. Namun, ia memutuskan untuk melanjutkan sekolah S2 di Institut Teknologi Bandung (ITB). Hijrah dari jurusan matematika, ia memilih jurusan perminyakan. Diakuinya itu jauh dari bidang yang digelutinya dulu.
Bekal studi S2 mengantarkan karier wanita yang gemar menghitung itu di perusahaan perminyakan. Ia pun pernah bekerja di Perusahaan Perminyakan milik Cina di Jakarta. Perjalanan karier berpihak kepadanya, kini ia berdinas di salah satu perusahaan minyak internasional di Kuala Lumpur dan menetap di sana hingga sekarang.
Domisilinya di Kuala Lumpur menjadikannya turut aktif dalam kepengurusan Kagama cabang Malaysia. Bahkan, ia menjadikan rumah pribadinya sebagai sekretariat Kagama Malaysia. Pada 2009 lalu, wanita yang ramah ini pun diangkat sebagai ketua umum Kagama Malaysia.
Bagi Medria, paguyuban Kagama merupakan komunitas yang menyenangkan. Biasanya, di Malaysia sering diadakan kegiatan seperti open house, buka puasa bersama, pengajian, dan kegiatan lainnya. Tujuannya adalah untuk membangun dan menjaga silaturahmi antar alumni UGM di Malaysia. Ia pun sangat antusias jika kedatangan tamu UGM yang berkunjung ke Malaysia.
Sayangnya, hari terakhir acara Kagama pun mengharuskan Medria mengakhiri lawatannya ke UGM. Kisahnya mengenang masa mudanya dulu mesti dihentikan. Sebelum terbang ke Malaysia, ia ditemani suami bernostalgia keliling kota Jogja. Ia pun harus kembali aktif bekerja di hari Senin. Satu hal yang selalu diingat Medria adalah doa orangtua yang selalu mengalir padanya dan membuatnya termotivasi dulu, sampai sekarang.[] At tachriirotul M.