Dari Sendai dengan Cinta

Dari Sendai dengan Cinta
Hasanudin Abdurakhman

 

Saat gempa disusul tsunami, saya langsung khawatir, bagaimana nasib teman-teman di sana. Mereka, orang-orang Indonesia di sana, sebagian saya kenal secara pribadi. Terakhir saya berada di Sendai sebagai Visiting Associate Professor di Tohoku University selama tahun 2006. Sebelum itu saya bermukim di kota itu selama beberapa tahun. Sepuluh tahun masa tinggal saya di Jepang separuhnya saya habiskan di Sendai. Beberapa teman yang bersama saya tahun 2006 masih ada di Sendai. Sebagian lainnya hanya saya kenal melalui komunikasi mailing list.

Agak sore di hari Jumat kelabu itu baru saya mendapat kabar bahwa teman-teman semua selamat. Tapi hanya sepotong kabar itu, karena komunikasi  terputus. Tapi setidaknya kabar itu melegakan. Baru malam harinya saya mendapat kabar lebih detil tentang siapa berada di mana. Kabar itu saya teruskan ke berbagai pihak melalui media Facebook dan Twitter.

Kini 115 warga Indonesia di Sendai, dan 6 warga dari Fukushima sudah berhasil dievakuasi ke KBRI Tokyo. Tim evakuasi seperti tak peduli bahwa mereka harus mencapai Fukushima untuk tiba di Sendai. Sebuah keberanian yang luar biasa.

Dari informasi yang saya terima, kawan-kawan alumni Sendai berperan besar membantu KBRI. Di antaranya Yonanda Adhitama beserta istrinya Sarah Wardhani yang tak pernah berhenti memperbaharui kabar, dan meneruskannya ke berbagai pihak. Saya dengar Warih Kurniawan malah menjadi sopir untuk angkutan evakuasi dari Fukushima. Salut.

Semua itu membangkitkan kenangan akan kebersamaan yang telah biasa kami bangun di Sendai.

31 Januari 2005. Saya kembali  ke Sendai bersama istri dan dua orang anak.  Saya diundang menjadi Visiting Associate Professor di Center for Interdisciplinary Research Tohoku University, almamater saya, tempat saya menyelesaikan program master dan doktor di bidang Applied Physics.  Persis menjelang tahun baru, dalam suasana puncak musim dingin. Tahun baru bagi orang Jepang mirip dengan lebaran. Dalam suasana hiruk pikuk mudik orang Jepang itu saya, dengan dua anak yang masih kecil harus memastikan mendapat tiket shinkansen (kereta api cepat) dari Tokyo ke Sendai. Dalam keadaan lelah setelah menjalani penerbangan semalaman dari Jakarta, saya harus antri untuk mendapat tempat duduk, karena saya tidak memesan tiket sebelumnya. Untunglah saya akhirnya mendapatkan tiket. Saat itu sudah menjelang malam, sudah 12 jam berlalu sejak kami mendarat di Narita pagi harinya.

Malam hari kami tiba di Sendai. Di stasiun kereta api saya dijemput oleh Pak Sani Royhansyah, sahabat saya alumni Tohoku University yang saat itu sedang bekerja sebagai post-doctoral fellow. Pak Sani lah yang telah membantu saya untuk mendapatkan apartemen sebelum keberangkatan saya. Kebetulan dormitory universitas sedang penuh, saya harus menyewa apartemen.

Di Jepang apartemen biasanya disewa dalam keadaan kosong, tanpa perabot. Pak Sani selain mencarikan apartemen juga sebisa mungkin menyediakan peralatan sederhana. Ada rice cooker, pemanas ruangan berbahan bakar minyak tanah, piring dan sejenisnya, serta alas dan selimut tidur (futon). Semua serba seadanya, hasil mengumpulkan barang bekas. Dengan itulah kami mulai hidup baru di Sendai. Hari-hari berikutnya baru saya mulai melengkapi alat-alat kebutuhan hidup. Ada yang saya beli, ada pula berupa pemberian dari teman-teman.

Apa yang dilakukan Pak Sani adalah kebiasaan yang kami bangun bertahun-tahun. Saat ada yang pulang, barang-barang perabotnya sebagian “diwariskan” untuk warga lain. Bermacam bentuknya. Mulai dari piring, gelas, hingga kulkas, mesin cuci, bahkan mobil. Semuanya bekas, tentu saja. Tapi masih sangat layak pakai. Itulah yang terpenting.

Tak hanya itu. Bila ada yang pindah apartemen, kami bergotong royong mengangkut barang pindahan. Juga kalau ada yang sakit, kami membantu sebisanya.

Tahun 2006 bencana terjadi. Yogya diguncang gempa dahsyat. Banyak korban meninggal. Waktu itu kami langsung melakukan kegiatan penggalangan dana. Kebetulan kami punya berbagai aktivitas kesenian. Ada grup angklung, tari Saman, dan sebagainya. Suatu kesempatan manggung di area perbelanjaan di pusat kota kami gunakan sebagai sarana penggalangan dana. Waktu itu lumayan banyak terkumpul dana untuk Yogya.

Pada tahun sebelumnya, saat tsunami mengguncang Aceh, kegiatan serupa juga kami laksanakan. Kebetulan di awal tahun 2005 saya juga sedang berada di Sendai, bekerja sebagai assistant professor di Tohoku University.

Begitulah. Kami membangun semangat persaudaraan, dari hal-hal kecil dan sederhana. Sama-sama merantau, sama-sama dalam kekurangan. Lalu kami saling bantu. Kegiatan bersama seperti latihan kesenian adalah sarana pengikat agar kami sering-sering bertemu dan bersilaturrahim. Di situlah ikatan itu muncul.

Selama memantau kondisi rekan-rekan melalui e-mail, saya membayangkan bagaimana persaudaraan itu hidup. Di tengak kesusahan sendiri, mereka bahu membahu mencari saudara yang lain. Memastikan tiap orang selamat. Satu per satu. Di tengaj cuaca dingin yang menggigit, mungkin mencapai beberapa derajat di bawah nol. Dalam keadaan kekurangan makanan, dan tentu saja rasa takut dan khawatir. Cinta dengan sesama, itu yang menjadi salah satu sumber semangat untuk bertahan dan membantu saudara.

Rekan-rekan yang berhasil dievakuasi dari Sendai, keluar dari Sendai berkat cinta saudaranya. Tentu saja dengan tidak mengecilkan peran saudara-saudara dari kota lain, serta dari tanah air.

 

Leave a comment