Kartu Kredit
Hasanudin Abdurakhman
Minggu lalu saya ditelepon oleh bank saya. Saya diberi tahu bahwa saya punya sejumlah tagihan, yang langsung saya konfirmasi. Saya masih ingat transaksi itu. Lalu pihak bank menawarkan pada saya untuk melakukan pembayaran cicilan atas tagihan tersebut. Tawaran ini saya tolak. Tapi penelepon masih berusaha membujuk saya.
“Ini kebetulan bunganya m…urah, Pak. Cuma 0,67%” katanya.
“Bunga adalah bunga. Saya tidak mau bayar bunga. Dan saya tidak biasa dan tidak akan membayar tagihan kartu kredit saya dengan mencicil.” jawab saya.
Bukan sekali ini pihak bank menelepon saya. Sebelumnya mereka menawarkan pinjaman cash sampai puluhan juta. Lagi-lagi saya tolak. Kebetulan saya memang tidak butuh pinjaman. Lagipula saya tahu bunga pinjaman itu mencekik.
Sejak dulu saya tidak pernah mencicil pembayaran kartu kredit. Saya hanya memakai kartu kredit kalau saya punya uang untuk membayar. Bukan sebaliknya, pakai kartu kredit ketika tak punya uang, seperti dilakukan cukup banyak orang. Saya pakai kartu kredit hanya untuk alasan kemudahan dan kenyamanan.
Dulu waktu tinggal di Jepang saya cukup sering bepergian ke luar Jepang. Saya pernah merasakan betapa repotnya bepergian tanpa kartu kredit. Dulu saya bepergian utamanya untuk menghadiri konferensi internasional. Masalah pertama yang saya hadapi dulu adalah membayar biaya partisipasi. Tanpa kartu kredit saya harus melakukan transfer. Padahal biayanya hanya dalam kisaran beberapa puluh dolar. Bisa-bisa biaya transfernya 50% dari nilai yang ditransfer. Dengan kartu kredit, kita cukup memberi tahu nomor kartu kita pada panitia, nanti pembayaran dilakukan saat kita hadir di tempat acara.
Pemesanan hotel juga begitu. Semua minta jaminan kartu kredit.
Dalam perjalanan juga terasa. Kadang saya harus transit di suatu airport untuk waktu yang lumayan lama. Tanpa kartu kredit, untuk sekedar makan semangkuk mi, saya harus menukar uang. Dan lebih tidak enak lagi akan ada uang receh kembalian belanja yang tak bisa dipakai kecuali untuk kenang-kenangan. Dengan kartu kredit kerumitan itu bisa dihindari.
Saya pernah menginap di sebuah hotel di Bali bersama keluarga. Cuma dua malam, ketika kami dalam perjalanan menuju Jepang. Ketika itu saya tak punya kartu kredit. Saat check out saya cari-cari ATM. Waktu itu sistem ATM bersama belum luas seperti sekarang ini. Saya hanya menemukan ATM yang mengeluarkan pecahan Rp 20.000. Nah, bisa dibayangkan berapa tebal duit yang harus saya bawa ke kasir hotel. Padahal tagihan hotel cuma beberapa juta.
Prinsipnya, saya hanya menggunakan kartu kredit kalau uang tunai merepotkan. Termasuk ketika menraktir teman atau relasi. Rasanya tak elok hitung-hitung uang di depan tamu yang kita jamu. Selebihnya, saya tidak akan pakai kartu kredit.
Banyak orang lupa atau tidak tahu, atau tidak mau tahu cara yang benar dalam menggunakan kartu kredit. Orang berfikir bahwa kartu kredit adalah juru selamat saat tidak punya uang. Tanpa dia sadari kemudian dia tercekik oleh jeratan bunga kartu kredit yang mahalnya luar biasa itu.
Suatu hari karyawan saya datang meminta surat keterangan bekerja untuk keperluan pembuatan kartu kredit. Ini karyawan level operator, dengan gaji tak lebih dari 2 juta rupiah sebulan. Heran saya, kenapa dia membutuhkan kartu kredit? Karena tak ada alasan untuk menolak saya tanda tangani surat itu. Dugaan saya benar. Tak lama setelah itu berdatangan telepon, mencari karyawan tersebut. Kreditnya macet.
Di kemudian hari ada lagi karyawan yang mau buat kartu kredit. Kali ini dia sekalian minta agar keterangan penghasilannya dipalsukan. Penghasilan dia di bawah 2 juta, sedangkan syarat dari bank adalah minimal punya penghasilan 2 juta. Permintaan ini saya tolak. Karyawan ini ngotot. Alasan dia, kartu kredit sangat dia butuhkan.
“Untuk apa?” tanya saya.
“Kalau anak saya sakit dan saya tidak punya uang, kan sementara saya bisa pakai kartu kredit.”
“Kalau anak kamu sakit dan kamu tidak punya uang, kamu bisa minta pinjaman sama saya atau sama kantor.” kata saya. Dan dia tak berani ngotot lebih jauh.
Pengalaman saya ditelepon bank tadi menunjukkan bahwa bank sendiri mendorong orang untuk punya kartu kredit dan menggunakannya dengan cara yang keliru. Tak heran kalau tunggakan kartu kredit di Indonesia mencapai nilai triliunan rupiah.
Waspadalah!!!
See More
Barusan ikut pertemuan pembuatan kartu kredit Kagama BNI. Semoga para pemegang kartu kredit bisa mendapat manfaat dari tulisan yang bagus dari Kang Hasan ini.
Terus menulis Kang.
Salam sehati.
Bicara tentang kartu kredit (dan CC BNI), baru minggu kemarin saya bermasalah atasnya. Saya dianggap memiliki tunggakan tagihan kartu kredit BNI sejak 2005 yang saya baru tahu setelah diberi tahu BCA (BCA memberitahu karena saya direkomendasikan memiliki CC BCA tp kemudian tidak bisa dilanjutkan karena tunggakan tsb). Padahal saya tidak pernah mengajukan CC BNI. Yang saya keluhkan, tidak ada kepastian batas waktu penyelesaian dari BNI atas kasus saya (saya sudah melaporkan lisan dan resmi tertulis).
Saran saya buat teman2, coba sekali-kali periksa status perbankan anda (buka aja situs BI dan daftar untuk minta Informasi Debitur Personal anda).
Bayangkan, punya tunggakan kartu kredit tanpa anda tahu selama 6 tahun (kalau dihitung sejak dianggap memiliki kartu kredit selama 9 tahun). BNI memang luar biasa.
Mohon tanya, bagaimana prosedur kita bisa tahu informasi Debitur personal kita? Apa nama situsnya di BI?
Terima kasi kang atas infonya, sangat bermanfaat.