Merawat Cinta
Umi Gita
“Meraih cinta seorang yang kita sukai itu mudah dilakukan, namun merawat cinta setelahnya begitu sulit dan menjadi tantangan tersendiri.”
Begitulah yang terucap dari bibir seorang Mbakyu. Akupun terdiam sembari menyeruput frozen capucino-ku. Hening terasa diantara kami, walaupun kami tengah makan di Solaria Plaza Semanggi.
Akupun hanya tersenyum simpul, “Sama persis yang dikatakan oleh salah satu pegawai di kantorku, Mbak.”
“Mengapa Jakarta ini begitu memfasilitasi sebuah affair ya Dik?” Ia bertanya padaku.
“Ah, bukan salah Jakarta-nya, di kota manapun kita bisa affair. Memang, Jakarta ini membuat kantor itu bagaikan rumah. Waktu begitu tersita untuk pekerjaan.” Ungkapku.
Tak memungkiri, entah itu kantor swasta, kantor LSM Internasional tempat Mbakyuku bekerja hingga kantor pemerintahan tempatku bekerja, semua dapat menjadi tempat untuk affair.
“Kau tahu dik, ketika seseorang di masa laluku menyapaku dalam jaringan pribadi, kemudian aku mendiamkannya, suamiku berkata bahwa aku telah melakukan hal yang tepat. Namun, ketika aku bercerita bahwa ada rekan kerjaku mengungkapkan rasa cintanya padaku, walaupun ia sudah tua, sudah beristri bahkan tahu bahawa akupun sudah bersuami, suamiku marah besar padaku.” Ulas Mbakyu sembari menatap tajam padaku.
Aku sedikit terkesiap. Sedikit mengernyitkan dahi. “Kog bisa begitu? Apa alasannya?” tanyaku tak paham.
“Karena kalau ada seseorang yang sudah memiliki pasangan, dan tahu diri kita pun sudah memiliki pasangan juga, sampai dia berani mengungkapkan perasaannya, itu berarti diri kita telah memberi ruang padanya.”
Aku terdiam. Sepertinya asumsi itu ada benarnya, batinku.
—-
“Mi, aku lagi suka lagu ini; ‘Just For You’ nya Richard Concietto…dengerin deh…liriknya bagus banget.” Ungkap salah satu pegawai laki-laki di kantorku.
“Hmmm…iya bagus. Kenapa kog suka lagu ini?” tanyaku.
“Mi, aku lagi ngebayangin lagi nyanyiin lagu ini buat dia. Gila deh rasanya…”
“Eh tolong, inget tuh sama istrimu…”
Yah, aku tahu pegawai laki-laki itu sedang kasmaran dengan pegawai perempuan yang lain dalam kantorku. Aku sudah mengingatkan akan perilakunya agar tidak affair dengan pegawai tersebut, namun memang perasaan seseorang seringkali tidak dapat dikendalikan sekalipun oleh si pemilik perasaan.
“Mi, perhatiin bener-bener deh liriknya…”
I can’t stay now, I’m just wait now
My hand they grow so impatient
Many things I’ve got to do now
for the first ray of the morning
Then we’ll fly to the sky
And we chose we trought the stars
And our stars will tell the whole world
The love we had, we are …
The love we share is sweet
The love we know is real
That love is not a dream
but last a life time long
Aku hanya terdiam. Aku akui liriknya memang sangat bagus dan menyentuh.
“Coba kamu bayangin kalau kamu dinyanyiin lagu itu sama laki-laki yang kamu sukain, pasti kamu klepek-klepek juga….sekalipun cinta kamu gak kesampean sama dia.” Lanjutnya.
“Tapi kamu punya istri, kamu punya anak, dan menurutku kamu ngimpi aja bersanding sama perempuan itu, secara dia kan highclass gitu…” sanggahku segera.
Dia terdiam sesaat. “Iya Mi, aku sadar sepenuhnya. Aku punya anak, aku punya istri. Ini cuman imajinasi aja kog, apa salahnya…walaupun kita bisa gila kalau begini.”
Aku tersenyum simpul meninggalkannya karena masih ada pekerjaan yang harus kubereskan. Aku mengerti perasaan rekan kerjaku itu dan aku tak bisa sekedar menasehatinya hanya dengan teoritikal semata.
Kehidupan manusia ini memang aneh. Dan aku diantara paham dan tak paham.
—
Wajah cinta ketika pernikahan terlihat begitu indah dan cantik, laiknya bunga mawar yang sedang mekar. Bagaimanakah wajah cinta ketika dua puluh lima tahun lagi? Atau tak usah muluk-muluk, bagaimanakah wajah cinta dua tahun dan tiga tahun kemudian? Ketika ombak datang begitu besar tuk berusaha menghantam kapal, ketika buah hati tak kunjung tiba dan ketika cinta diuji dengan hadirnya pihak ketiga.
“Itu semua bergantung pada bagaimana kita merawat cinta. Bagaimana kita menjaga komitmen akan janji suci kita.” ungkap perempuan itu.
Akupun tersenyum mengembang, “Aku setuju, Mbakyu. Terima kasih atas pelajaranmu…”
“Ah, akupun masih dalam tahap belajar merawat cinta, Dik…”katanya merendah.
“Yah, pasti akupun akan melaluinya pada saatnya nanti.” Balasku.
Kamipun berpisah di pintu lobby Plaza Semanggi ketika hari sudah menunjuk jam setengah sembilan malam, karena aku harus mengejar KRL ke Serpong.
“Jangan lupa Dik, buku tentang model kreasi jilbab yang tadi kuberikan padamu harus dipraktekkan, supaya kamu tambah menarik dan dapat jodoh..”sarannya.
Akupun tertawa kecil, “Oalah Mbakyu, apakah aku sebegitu tak menariknya? Tapi mungkin juga…karena sekarang aku harus menikmati patah hati ditinggal nikah hehehe…”
Dia memelukku dan berbisik, “Melankoli secukupnya, dan yakinlah pasti ada another man…”
Aku menganguk dan langsung mengucapkan salam perpisahan. Segera saja kucari ojek tuk menuju stasiun Palmerah. Kunikmati jalanan Jakarta ketika malam. Kutemengadahkan kepala dan kulihat rembulan separuh terlihat begitu cantik dan alami, tak terkalahkan dengan ribuan lampu gedung Ibukota. Begitu pula dengan kecantikan hati, tak akan kalah dengan polesan-polesan yang artifisial.
11 Mei 2011
-Gadis kecil yang sedang belajar beranjak dewasa-