Catatan saya tentang KLC Yogya 4 Juli 2011

Catatan saya tentang KLC Yogya 4 Juli 2011

Kemarin malam saya mengikuti pertemuan sebuah kelompok kecil alumni UGM (terwadahi dalam KLC) yang menghadirkan Mas Hikmat Hardono, Direktur Eksekutif Indonesia Mengajar (bagi rekan2 yang belum pernah mendengar apa itu Indonesia Mengajar (IM), bisa coba baca halaman ini dan ini). Dalam pertemuan tersebut, Mas Hikmat Hardono berbagi kisah tentang IM.

Kisah dibuka dengan cerita tentang seorang Koesnadi Hardjasoemantri muda yang menginisiasi PTM (Pengerahan Tenaga Mahasiswa) – sebuah gerakan yang mengajak mahasiswa untuk membuka SMA dan menjadi guru di daerah terpencil. Pak Koes berangkat ke Kupang pada tahun 1950an. Silakan dibayangkan. Kupang. 1950an. Selama beberapa tahun beliau tinggal di sana. Dan sekembalinya dari sana, beliau membawa tiga orang siswa paling cerdas dari sana untuk berkuliah di UGM. Seorang di antaranya, Adrianus Mooi, kemudian menjadi Gubernur BI. Mengajar di ujung negeri dan mengubah jalan hidup banyak orang. Itu inspirasi yang mengilhami IM.

Menurut saya ide besar IM menarik, sangat menarik bahkan. IM berusaha membantu menyuntikkan kemajuan ke berbagai pelosok negeri, sambil berusaha merekatkan rajutan ikatan antar anak bangsa. Anak muda yang tinggal selama setahun di daerah yang sebelumnya ia tidak kenal, akan pulang dengan ikatan tali persaudaraan dengan masyarakat tempat ia pernah tinggal itu. Dan bisa jadi ikatan itu terjalin seumur hidup. Setinggi apapun karir profesional si anak muda kemudian, kemungkinan besar ia tidak akan pernah lupa pada daerah tempat ia pernah tinggal dan berbagi selama satu tahun itu. Ia akan selalu ingat bahwa masih ada banyak pojok2 Indonesia yang perlu diperhatikan dan dibantu untuk terus maju. Ia akan ingat bahwa Indonesia amat luas dan amat beragam budayanya.

Saya kira ini tawaran jawaban yang menarik dari IM untuk tantangan Indonesia masa kini. Tentu kita tidak pernah tahu akan menjadi apa anak2 muda itu nantinya. Apakah nantinya mereka akan masih berpegang pada idealisme mereka sekarang, yang mendorong mereka untuk berangkat mengajar, kita tidak akan tahu. Tapi setidaknya, IM sudah memberi kesempatan bagi banyak anak muda untuk mengenal Indonesia dengan lebih baik.

Kupasan Mas Hikmat soal KAGAMA tidak kalah menariknya.

Kupasan soal KAGAMA dibuka dengan sebuah disclaimer bahwa dia akan berbicara terus terang apa adanya, dan berharap tidak ada yang sakit hati 🙂

Pertama, Mas Hikmat menyampaikan tentang ketidaksesuaian bentuk organisasi KAGAMA dengan platform komunikasi modern. Organisasi KAGAMA masih bersifat teritorial, mengikuti struktur administrasi negara, selain juga bersifat mengelompokkan diri sesuai bidang ilmu. Pada masa sekarang ini, komunikasi umumnya tidak lagi berjalan dalam struktur teritorial ataupun kelompok bidang ilmu (saja), melainkan justru berjalan melintasi struktur teritorial dan juga kelompok bidang ilmu. Sekarang orang berkomunikasi juga melalui media online, dan di situ tatanan teritorial tidak lagi penting. Mungkin perlu dipikirkan bentuk organisasi yang lebih mengakomodasi hal2 semacam ini. Dan sepertinya KAGAMA Virtual berusaha mengisi ruang di sini.

Selanjutnya adalah soal solidaritas alumni. Seperti yang sering disebutkan dan diakui banyak orang, solidaritas alumni UGM termasuk rendah. Mengapa demikian? Menurut Mas Hikmat, ini imbas dari kurangnya usaha untuk merekatkan hubungan antar mahasiswa, baik seangkatan ataupun antar angkatan, semasa kuliah. Berbeda dengan ITB, yang masa orientasinya berlangsung selama satu tahun pada tahun pertama kuliah, yang di dalamnya ada program mentoring yang berupaya mendekatkan hubungan antara kakak angkatan dengan adik angkatan. Terkait soal solidaritas, Pak Budi Wignyosukarto juga mengakui bahwa bahkan antar dosen sendiri juga masih kurang kompak, tidak jarang malah sikut2an saat berburu proyek. Tentu ini jadi catatan dan PR banyak pihak untuk diperbaiki. KLC, yang dulu diawali dengan KLP di Jakarta, adalah salah satu upaya untuk menjalin solidaritas alumni. Solidaritas selalu berawal dari hubungan pertemanan yang intens. KLP/KLC berupaya menyediakan wadah seperti itu secara mandiri. Berbeda dengan kursus atau pelatihan singkat, di mana ada penyelenggara dan ada peserta, KLP/KLC memiliki anggota yang sekaligus sebagai penyelenggara. Mereka menentukan kurikulum sendiri dan berupaya mendapatkan narasumber yang sesuai untuk setiap topik dalam kurikulum yang telah disepakati bersama. Melalui hubungan yang intens selama beberapa bulan, diharapkan tumbuh solidaritas dalam kelompok tersebut. Tentunya kelompok tersebut diharapkan tidak terlalu besar, hanya berisi sekitar 20-30 orang saja.

Pak Budi WS menjelaskan bahwa sebenarnya dalam tingkatan tertentu sudah terjalin komunikasi dan solidaritas yang baik antar alumni UGM. Saat ada delegasi UGM berangkat ke Palembang untuk mengikuti lomba, beliau bisa dengan mudah menghubungi teman2 KAGAMA Palembang untuk membantu delegasi yang diberangkatkan. Dan benar, bantuan itu diberikan oleh teman2 KAGAMA Palembang pada delegasi yang berlomba. Tentu diharapkan agar alumni/peserta KLP/KLC dapat membantu KAGAMA untuk menjalin solidaritas antar alumni.

========================

Pertemuan ini berlangsung tanggal 4 Juli 2011, diawali pukul 19:20, dan diakhiri pukul 21:40, diadakan di Wisma KAGAMA. Dihadiri oleh sekitar 15 orang (daftar hadirnya tidak ada pada saya).

Tulisan ini tidak dimaksudkan sebagai resume utuh pertemuan KLC, sehingga mungkin memang tidak lengkap. Tulisan ini hanya menampilkan hal2 yang menurut saya menarik, yang muncul dalam pertemuan kemarin.

Semoga bermanfaat.

One thought on “Catatan saya tentang KLC Yogya 4 Juli 2011

  1. Ya hubungan yang kurang dekt sehingga sikutan asangat kentara sekali sat bahkan masih duduk di bangku kuliah

Leave a comment