Budaya kita untuk daya saing bangsa
Umi Gita
Dua hari saya dijejali materi pelatihan tentang ‘strategic management and corporate culture pada BUMN’. Yah, materi yang berat bagi saya untuk memahami itu. Sepertinya itu bukan ranah saya untuk saya kerjakan sehari-hari. Saya kan cuma kroco yang kerjanya teknis dan administratif. Namun,setidaknya ilmu saya bertambah dan siapa tahu di kemudian hari ilmu tersebut dapat berguna.
Di tengah masalah perubahan dan isu strategis yang dihadapi kantor saya, juga BUMN, ada hal yang menarik bagi saya dan menjadi perenungan saya.
Ketika kita bicara tentang ‘world class company’ tak dapat menampik bahwa suatu perusahaan atau organisasi harus siap dengan masuknya budaya bangsa lain dalam perusahaan tersebut. Disinilah tantangan muncul dengan terjadinya benturan budaya.
Pertanyaannya adalah budaya manakah yang akan dipakai? Secara managemen, perusahaan itu perlu membentuk budaya baru yang disepakati bersama dan menjadi perilaku sehari hari. Bisa jadi kita perlu menerima beberapa hal budaya dari bangsa lain yang menjadi partner kepemilikan saham perusahaan.
Namun,beranikah kita juga memunculkan budaya kita sendiri? Banggakah kita terhadap budaya kita untuk berkontribusi menjadi corporate culture? Bahkan budaya itu menjadi daya saing bangsa di kancah global.
Mungkin yang saat ini terfikirkan tentang budaya Indonesia hanyalah korupsi, jam karet, tidak tertib, malas berusaha dan hal hal negatif lainnya. Tapi mengapa itu yang bertahan di diri kita? Apakah kita tak memiliki hal hal yang positif dalam budaya kita?
Pikiran saya kembali melayang ketika saya kuliah ‘psikologi lintas budaya’ yang diajar oleh Prof. Djamaluddin Antjok. Saat itu pak Antjok bertanya,”Apakah orang timur termasuk Indonesia tidak lebih kreatif dibandingkan orang barat? Yang dibuktikan dengan kekayaan intelektual yang didaftarkan, begitu juga dengan penemu penemu teknologi?”
Saat itu saya bersepakat dengan kakak angkatan saya bahwa kekayaan intelektual orang timur khususnya Indonesia tidak bersifat individual. Namun sebuah hasil kebersamaan yang komunal, hasil masyarakat yang guyub dan rukun. Dan mulai saat itu, saya sadari bahwa itulah harta berharga bangsa ini. Itulah budaya kita.
Kita memang tak memiliki Edison si pecipta lampu, James Watt si pembuat mesin uap hingga Einstein yang merumuskan teori relativitas. Tapi kita punya kerajaan yang mampu membangun Borobudur. Kita punya sekelompok prajurit yang mampu menyatukan nusantara.
Kini, beranikah kita memakai budaya kita untuk dijadikan corporate culture dan membawa perusahaan itu menjadi perusahaan kelas dunia? Menggali kembali kearifan lokal tuk bersaing di era global? Sehingga perusahaan kita dapat diperhitungkan dalam percaturan dunia, masuk dalam Forbes, Business Week dan sebagainya.
Ya. Kita bisa.
Ya. Kita mampu.
Ditengah realita sistem negara yang bobrok, ijinkan saya untuk masih optimis.
Dan lagu ‘the power of the dream’ nya Celine Dion mengalun mengiringi tulisan ini,
There’s nothing ordinary
In the living of each day
There’s a special part
Every one of us will play
Feel the flame forever burn
Teaching lessons we must learn
To bring us closer to the power of the dream
As the world give us its best
To stand apart from all the rest
Its the power of the dream that brings us here
12 Oktober 2011
Dalam Garuda Denpasar-Jakarta
-gadis kecil dengan jutaan mimpi-