Dekují Nicol
Oleh Bosman Batubara
***
“Jadi namamu Nicol?” tanyaku setelah melihat sekilas ke badge yang tergantung di bajumu.
“Ya.”
“Kamu belajar apa?”
“Ekonomi dan Bisnis.”
Sambil diam aku amati gerak-gerikmu yang menyuguhkan bir dalam gelas besar di meja di hadapanku. Sore itu secara random, setelah mengunjungi Museum Nasional di seputaran Wenceslas Square, aku berhenti di Café Svatého Vácalava di Václavské Nám. Ini adalah hari kelimaku di Republik Ceko. Badan sudah terasa sangat capek setelah empat hari sebelumnya kuisi dengan sebagian besar berjalan kaki. Aku sudah kehilangan moral dan semangat untuk berjalan kaki lagi. Betis rasanya sudah mau meledak. Suatu ketika pernah kuraba, keras sekali. Mungkin betis para pemain bola sekeras itu.
Sehabis meletakkan gelas bir berukuran setengah liter di hadapanku, kamu menatap sambil tersenyum. Tipis sekali senyuman itu. Aduhai, aku percaya tatapan dan senyuman itu akan membuat semua laki-laki jatuh cinta tanpa alasan. Merasa mendapat angin, aku lanjutkan.
“Besok aku akan pulang ke negeriku. Aku tidak kenal kamu. Tapi aku suka melihatmu. Maukah kamu membagi alamatmu buatku? Nanti akan kukirimi kartu pos dari negeriku.”
Diam sejenak.
“Tapi malam ini kamu masih di Prague?”
“Ya.”
“Oke. Dua jam lagi waktu kerjaku habis. Kita bisa jalan-jalan seputar kota kalau kamu mau.”
“Serius?”
“Ya.”
“Oke. Sehabis bir ini aku akan pergi ke Museum Komunis. Tapi dalam dua jam berikut, aku akan ada di tempat ini lagi.”
Kembali tersenyum, kali ini lebih lebar, dan bergerak masuk menuju restoran. Dengan tatapan aku ikuti langkahmu, hingga hilang ditelan pintu restoran. Kuangkat gelas setengah liter dan meneguk bir tak henti, hingga hampir tinggal setengah saja. Ketika meletakkan gelas besar di meja kayu, aku jadi teringat seorang teman dari Vietnam. Katanya mereka punya tradisi campancan, begitu dia menyebutnya, entah aku menulisnya secara benar atau salah, karena rasanya setiap kata dalam Bahasa Vietnam selalu saja tak masuk akal antara bagaimana ia ditulis dan bagaimana ia diucapkan. Campancan adalah meneguk apa yang ada di gelasmu dengan sekali angkat. Hingga ludes. Tapi aku bukan orang yang terlalu kuat minum bir. Apalagi ini di Prague dengan gelas setengah liter yang legendaris. Mustahil orang seperti aku melakukan campancan. Tidak apa-apalah. Sebut saja setengah campancan. Dan sekitar lima menit berikutnya, setengah campancan yang lain membuat gelasku jadi kosong.
Setelah membayar bir, aku kenakan kaca mata hitam yang tadinya aku cantolkan di kaos oblong, dan meneruskan berjalan sepanjang Václavské Nám. Prague di musim panas ini ramai sekali. Di atas trotoar pecahan Granodiorit persegi yang ditata apik, para pejalan seperti tak pernah putus. Dari Václavské Nám, aku berbelok ke kanan, menuju Na Pŕíkope nomer 10, karena di sanalah Museum Komunis berada.
Aku ingin menulis soal Prague dengan tema Museum Komunis inilah. Rasanya ide ini agak menggelitik. Karena di negara yang dulunya penganut komunis, sekarang komunis telah dimuseumkan. Jadi mungkin sudut pandang itu akan menarik untuk dicermati.
Hampir dua jam aku habiskan di Museum Komunis, mengambil beberapa foto, membaca beberapa keterangan yang tersedia, dan tentu saja tak lupa meminta tolong kepada pengunjung yang lain untuk mengambil fotoku sendiri di bawah simbol palu-arit yang terletak di ruang interogasi di dalam museum.
Bergegas aku kembali melangkah menuju Václavské Nám, karena sudah dua jam lebih sejak kamu bilang dua jam lagi waktu kerjamu habis.
Di kursi yang aku tempati sebelumnya, kulihat kamu duduk begitu saja dan tersenyum melihat kedatanganku.
“Oke, aku datang.”
“Aku ambil tas dulu ya.”
Sesaat kemudian kamu bergerak ke dalam restoran, dan sekitar lima menit sesudahnya keluar dengan ransel kecil di punggung. Kamu mendekat,
“kamu mau kemana?”
“Aku tidak punya ide lagi, rasanya aku sudah menyinggahi tempat-tempat yang menurut orang bagus di Prague, dan kamu kan yang tahu kota ini, jadi aku ikut sajalah.”
“Besok pesawatmu jam berapa?”
“Jam enam lewat sepuluh pagi.”
“Wah, berarti kamu harus ke bandara tengah malam, karena kamu tidak akan mungkin mengejar pesawat sepagi itu dari kota. Tram pertama besok sepertinya sekitar pukul lima,” begitu kamu menjelaskan sambil mulai melangkah di trotoar.
“Oke,” kataku sambil juga mengayun langkahku mengikutimu.
“Jadi bagaimana dengan Museum Komunis?”
“Ya, lumayan lengkap. Ada banyak benda-benda yang berhubungan dengan kelas pekerja dipajang di sana.”
“Oya?”
“Ya, ada sekop, ada sepeda tua, dan juga fragmen mesin-mesin tua.”
“Kenapa kamu pergi ke Museum Komunis? Kan ada banyak Museum di Prague?”
“Karena aku mau menulis soal itu. Lagipula aku sudah mengunjungi Museum Nasional. Aku suka Museum itu, terutama blok Paleontologinya. Ada banyak binatang yang diawetkan. Dan fosil besar yang digantung di langit-langit itu bagus sekali.”
“Jadi kamu penulis?”
“Sebutan yang terlalu megah sebenarnya. Aku bukan penulis profesional. Hanya menulis ketika aku suka. Aku masih kuliah, sama seperti kamu. Cuma kalau aku tertarik sesuatu, biasanya aku menulisnya.”
“Kamu tertarik dengan Komunis?”
“Ya, sebagai pelajaran sejarah sangat menarik, meski pada akhirnya sama saja.”
“Sama saja, maksudnya?”
“Nicol, menurutku komunis dan kapitalis sama saja. Yang berkuasa tetap lupa kepada mereka yang tak berdaya. Mungkin ada bedanya, meski sangat tipis.”
“Apa?”
“Rezim komunis ingin menyulap semua orang jadi produsen, sementara rezim kapitalis mau menjadikan kita semua sebagai konsumen.”
“Wah, aku tak tahu. Apa yang kamu tulis? Artikel?”
“Ya, sebagian besar. Sekali dua menulis cerita pendek.”
“Kamu tahu, Museum Komunis itu ide awalnya datang dari seorang seniman Amerika. Aku tidak tahu siapa namanya, seseorang mengatakan kepadaku seperti itu.”
Aku diam sesaat mendengar penjelasanmu. Kita terus melangkah. Di kejauhan terlihat atap gedung National Theatre Prague yang berwarna kuning emas.
“Ceritamu membuatku kehilangan semangat untuk menulisnya.”
“Hahaha,.. Kamu masih bisa menulis sesuatu yang lain. Banyak yang bisa ditulis soal Prague.”
“Yah, mudah-mudahan aku menemukan tema yang lain. Atau mungkin aku akan menulis tentang kamu saja.”
“Wow… akan menulis tentangku?”
“Ya, mungkin saja. Sebuah cerpen tentangmu untuk mengenang Prague dan perjumpaan kita.”
“Amazing!!! Jadi aku bakal jadi karakter dalam cerita itu?”
“Kenapa tidak Nicol?” sambutku, sambil melirik langsung ke matamu. Aku lihat bola mata kebiruan itu berbinar.
“Dekují.”
“Prosim.”
“Kamu bisa Bahasa Ceko?”
“Cuma dua kata itu, terima kasih dan terima kasih kembali. Bahasa kalian terlalu patah-patah. Aku punya beberapa teman dari Ceko dulu, setiap kali mereka berbicara dalam Bahasa Ceko, bagiku semuanya hanya bla bla bla… Oh ya, aku tahu satu kata lagi, Slivovicé. Dulu seorang teman membawakan oleh-oleh Slivovicé buatku. Kadar alkoholnya tinggi sekali. Katanya lebih dari 50 persen.”
“Hahaha… aku pikir tiga kata itu cukup buatmu.”
Aku cuma melirikmu sambil tersenyum. Kita terus melangkah. Kali ini berbelok menyusuri Sungai Vltava. Sekilas kulihat air sungai yang berwarna sedikit kehijauan. Paling-paling mengalami eutrofikasi, terlalu banyak alga karena nutrient yang melimpah di Sungai ini. Di kejauhan lampu-lampu di Charles Bridge mulai terlihat. Tandanya malam mulai turun, meski hari masih terlihat terang. Sekilas aku lihat di jam yang menggantung di salah satu tiang lampu, waktu sudah hampir pukul sepuluh.
“Aku tahu sebuah pub yang bagus di tepi Sungai. Cuaca sedang bagus. Kalau hujan mereka tutup, karena tempat itu terbuka tanpa atap.”
“Oke, ikut saja.”
“Di depan sana,” katamu sambil menunjuk sebuah ke depan, ke arah menara Vyśehrad.
Di tengah langkah aku sempatkan mengambil foto Charles Bridge dari kejauhan. Beruntung kamera pinjaman ini lumayan bagus, jadi aku bisa mengambil foto dari jauh.
“Bagus sekali,” kataku sambil menunjukkan foto yang baru saja kuambil kepadamu.
“Beberapa tahun yang lalu mereka mengganti batu-batu pada jalan di jembatan itu, jadi batu yang ada di jembatan itu bukan batu asli lagi.”
“Tidak apa-apa. Tetap bagus,” sahutku. Menjelang menara, kita berbelok dan turun ke bantaran Sungai.
“Mengapa kamu mau menemaniku?” tanyaku ketika kita sudah duduk di kursi pub yang menghadap ke Sungai Vltava.
“Karena kamu terlihat lelah.”
“Apa hubungannya?”
“Karena kamu lelah maka tenagaku pasti lebih kuat, andaikan kamu mau berbuat jahat.”
“Jadi kamu curiga aku akan berbuat jahat padamu?”
“Tidak. Karena selain karena kamu terlihat lelah, alasan berikutnya aku percaya kalau kamu orang baik.”
“Dekují Nicol.”
“Prosim.”
“Na zdravie,” kataku sambil mengangkat gelas besar setengah liter.
“Aha, ternyata kamu tahu kata yang lain.”
“Ya, tiba-tiba saja jadi ingat. Mungkin karena bir Ceko…,”
“Bagaimana bisa?”
“Bisa saja. ,…dan juga mungkin karena ada cewek Ceko. Kata orang semua kemungkinan bisa terjadi di Prague.”
“Hahaha… oke, aku sebut kamu sekarang mahir berbahasa Ceko. Dan, ceritakan padaku soal negerimu.”
“Yah… di Indonesa kami punya belasan ribu pulau, aku tidak tahu berapa persisnya.”
“Wah, di sana pasti seperti liburan setiap hari. Apakah itu dekat Bali?”
“Hahaha… Bali itu salah satu pulau di Indonesia.”
“Oh ya, maaf. Aku baru tahu. Na zdravie buat Indonesia.”
“Na zdravie buat Ceko,” dan gelas kembali beradu di udara.
“Tunggu sebentar,” katamu begitu meletakkan kembali gelas setengah liter, “aku mau pesan lagu buatmu.”
Aku cuma diam, dan melihatmu melangkah mendekati musisi yang dari tadi telah membawakan beberapa lagu. Beberapa saat, kamu kembali datang. Gitaris itu melirik sekilas ke arah kita. Tersenyum. Aku balas dengan senyum, meski tak tahu artinya. Ah, barangkali memang kita tak perlu tahu arti senyum. Cukup secara sederhana dibalas dengan senyum saja. Aku melirikmu. Dan kamu tersenyum. Aku lihat rambut pirangmu sedikit bergerai tertiup angin yang datang dari arah Sungai Vltava. Gitaris itu mulai memainkan gitarnya. Petikan melodi mengalun. Aku tahu nada itu. Dan dia mulai bernyanyi, “Times have changed and times are strange, here I come but I ain’t the same, Mama, I’m coming home…,” Kita diam hingga Mama I ‘m Coming Home-nya Ozzy Osbourne itu selesai.
“Oh, Dekují…Nicol, kamu menyentuh hatiku.”
“Enjoy Prague man,” balasmu sambil tersenyum.
“Yeah, cuma satu jam lagi aku harus ke bandara. Waktu seperti berlari di sini.”
“Itu karena kamu punya waktu yang indah.”
“Sangat. Satu gelas lagi.”
“Oke,” katamu. Sambil melambai ke arah pelayan kamu mengacungkan tanda victory.
Sekira tiga menit, pelayan bar datang dengan dua gelas bir. Tak butuh waktu lama, gelas kita sudah sama-sama kosong. Dan setelah membayar minuman secara terpisah, kita sudah kembali ada di trotoar, bergerak menuju statiun tram yang kelihatan di ujung sana. Di kejauhan Charles Bridge terlihat cantik sekali dengan latar belakang Prague Castle.
“Aku suka kota ini Nicol. Kamu beruntung tinggal di Kota secantik ini. Menurutku lebih cantik dari Paris. Apa sih artinya Prague?”
“Kata temanku Prague artinya langkah memasuki sesuatu. Kalau ada pintu, di lantai biasanya ada garis bekas pintu dimana kita bisa mengenali batas antara dalam dan luar. Nah, langkahmu melewati garis itulah Prague.”
“O, jadi sekarang aku sedang berada pada langkah memasuki sesuatu?”
“Persis.”
“Aku harap semua di depan sana lebih baik. Minimal aku punya titik tolak yang indah malam ini. Kamu tahu Lailatul Qadar?”
“Tidak.”
“Di tempatku orang percaya ada satu malam dalam setiap tahun yang lebih baik dari seribu malam. Bagiku kebaikanmu adalah Lailatul Qadar.”
“Jadi aku lebih baik dari seribu malam?”
“Ya.”
Kembali kulihat kamu tersenyum. Kali ini matamu sedikit menyipit, hampir terpejam.
“Itu tram datang.”
“Oke Nicol, sekali lagi Dekují,” dan satu kecupan di kening menutup perjumpaan kita. Di belakangku tepat tram telah berhenti.
“Tulis cerita tentangku.”
“Pasti,” dan aku pun seperti meloncat memasuki tram. Tidak banyak penumpang di stasiun ini. Pintu tertutup perlahan, seperti tram yang juga mulai bergerak perlahan. Dari balik kaca jendela aku lihat kamu melambaikan tangan.
Leuven, Juli 2011
aha… selain full pengetahuan, banyak gombalnya……