Harimau Sumatra
oleh Bosman Batubara
Taing membuka pelan jendela dapur yang terbuat dari kayu. Udara segar beraroma hutan tropis langsung menerpa masuk ke dalam rumah. Sedikit gerimis rasanya. Ia dapat merasakan kelembaban udara dan beberapa butir semburan air mendarat di mukanya. Seperti biasanya ia berada di dapur lebih dulu dari Ibunya yang memiliki zikir yang panjang di surau. Sementara ia, begitu sholat Subuh selesai, maka setelah do’a yang tidak begitu panjang, segera kembali ke rumah.
Membuka jendela yang menghadap ke arah Bukit Barisan di belakang sana, menikmati kesegaran udara dingin hutan tropis di pagi yang masih remang, adalah menunya hampir tiap pagi. Begitu ia membuka jendela, berhenti sejenak, memandang keluar sana, selalu ia lakukan. Termasuk pagi itu. Gadis itu sangat antusias memandangi pagi remang di luar sana. Setengah berharap setengah takut.
Dalam satu bulan ini ia sudah kehilangan dua orang yang ia cintai. Pertama, ia kehilangan Bapaknya yang meninggal karena sakit tua, dan kedua ia kehilangan Anak namborunya yang telah menjadi temannya sejak kecil. Bagi gadis-gadis Mandailing, anak namboru adalah salah satu bagian dari hidup mereka. Anak namboru adalah anak laki-laki dari saudara perempuan bapak. Dalam posisi Taing, maka anak namborunya itulah yang kemungkinan besar akan jadi jodohnya. Dalam tradisi Mandailing, seorang gadis yang menikah dengan anak namborunya adalah baik belaka, karena dengan demikian mereka dapat merekatkan kembali hubungan kekeluargaan.
Tidak seperti meninggalnya sang Bapak yang relatif mendadak dan jelas kejadiannya, maka hilangnya sang Anak namboru sedikit misterius. Tidak ada yang tahu kapan dan kemana dia persisnya pergi, kalau memang ia pergi; kapan persisnya ia meninggal, kalau ia memang meninggal. Tidak ada kuburannya. Masih misteri.
Taing sendiri tidak percaya, tetapi gosip yang beredar adalah Anak namborunya itu hilang karena dimakan harimau. Dia mendengar gosip itu dari salah seorang temannya ketika mereka mandi di Sungai Batang Gadis. Menurut si teman itu, sudah beredar kabar dari mulut-kemulut di Kampung mereka tentang hal itu.
Adapun detailnya, setelah si Bapak meninggal, karena masih penasaran, maka arwahnya kembali ke dunia. Tetapi tidak dalam bentuk manusia, melainkan dalam bentuk harimau. Dan orang-orang menyebutnya harimau jadi-jadian. Si Anak namboru menghilang karena dimakan harimau jadi-jadian itulah.
Meskipun tidak percaya, Taing hanya diam saja. Tidak ada gunanya membantah gosip pikirnya. Biarkan saja, toh sebaliknya, tidak terbukti juga kebenaran bahwa si Anak namboru telah dimakan oleh harimau jadi-jadian yang merupakan jelmaan Bapaknya itu.
Angin dingin disertai butiran gerimis pelan menerpa mukanya. Kesegaran merasuk seketika. Ia memandang keluar sana. Cahaya mulai datang. Gelap malam masih tersisa walau tak sepenuhnya lagi menguasai cakrawala. Meski masih kabur, Taing sudah dapat melihat bayangan-bayangan di dalam remang pagi itu.
Di kejauhan di bawah pohon karet di tepi hutan, ia melihat sebuah bayangan bergerak di dalam gelap. Antara ingin tahu, sedikit takut, dan mungkin karena terpengaruh oleh gosip yang sedang beredar, ia mengikuti gerakan bayangan itu. Sesosok tubuh besar bergerak pelan, melengos masuk ke arah hutan, dan kemudian menghilang di balik gelap hutan dan lebat semak-semak di bawah pohon-pohon karet itu.
Sesaat ia bengong, tetapi karena bayangan itu telah hilang, Taing melanjutkan aktivitas paginya dengan potongan memori tentang bayangan tubuh besar yang melengos di kegelapan pagi menari-nari di dalam imajinasinya. Ia mulai menyusun kayu bakar di tungku batu. Mengambil serat-serat batang karet hasil deresan. Serat-serat itu sangat bagus untuk memancing nyala api karena bercampur dengan getah yang telah mengering. Hanya dengan satu batang anak korek api, maka serat-serat kayu yang terekatkan dengan getah itu akan menyala dengan cepat, dan menjadi pemantik yang sangat bagus untuk menyalakan api yang lebih besar pada kayu bakar di tungku batu. Ia siapkan panci besar dan mulai menjerang air. Seperti lazimnya tiap pagi.
Panci penuh berisi air sudah terjerang di atas tungku. Ia mengambil jepitan kawat yang tergantung sekira satu meter di atas tungku batu. Beberapa potong daging yang mereka dapatkan pada hari raya Kurban beberapa hari sebelumnya kelihatan terjepit dengan posisi sederhana di antara kawat-kawat. Daging-daging itu mulai mengeras. Mungkin karena terkena asap dan suhu panas di atas tungku selama beberapa hari. Meski mengeras, tetapi baik bagi-daging-daging kurban itu, karena kalau tidak diletakkan di sana, maka ia akan membusuk digerogoti bakteri. Panas dari perapian serta asap kayu bakar telah mengawetkannya dan membuat daging-daging kurban itu bertahan agak lama.
Ia ambil satu potong daging dari jepitan, dan kembali melangkah ke arah jendela kayu yang masih terbuka. Di dalam remang pagi, ia kembali mencari-cari. Berharap akan melihat lagi bayangan sosok besar yang tadi sudah melengos pergi. Harapannya terkabul, karena matanya langsung tertumbuk pada sepasang bola mata yang terlihat seperti lampu di remang pagi. Itu dia, pikir Gadis itu.
Ia lemparkan potongan daging itu ke luar jendela. Dan sesaat kemudian sosok tubuh besar terlihat bergerak di dalam remang menuju ke arah potongan daging. Karena posisinya yang sudah semakin dekat dengan jendela, sekarang Gadis itu dapat melihat dengan lebih jelas. Tubuh belang itu terlihat gagah berjalan di pagi hari. Gerimis agak turun merapat, tetapi tubuh besar itu tidak terlihat basah. Atau mungkin karena pagi yang masih terlalu remang sehingga Taing tidak dapat melihat bulu-bulu belangnya yang agak basah. Semoga tidak kedinginan di luar sana, batinnya.
Harimau itu sekarang sudah berada persis di depan keratan daging Kurban. Gadis itu mengamatinya dari jendela. Di depan keratan daging ia berhenti, dan menatap ke arah si Gadis. Tatapan mereka beradu. Oh, aku mengenal sorot mata itu, pikir si Gadis. Tetapi ia bukan sorot mata milik Bapakku seperti yang banyak digosipkan orang. Bukan. Bukan. Dia bukan jelmaan Bapakku. Tetapi sorot mata siapa? Rasanya akrab, tetapi aku tak tahu itu milik siapa.
Di remang pagi yang gerimis, si Gadis melihat sekilas. Harimau diam hanya gerakan tipis di sekitar kumis. Matanya terlihat sedikit memicing, tidak mengurangi rasa kagum si Gadis. Mata itu begitu bening ternyata. Seakan pemiliknya seperti mau mengatkan sesuatu. Andai mata bisa bicara, mungkin ada seribu kata yang akan menghambur dari mata bening Harimau itu. Si Gadis diam memandangi. Harimau itu menyeringai, taringnya yang runcing terlihat kuat. Dan sesaat kemudian ia memagut keratan daging kurban dari tanah. Mengunyahnya sekali dua, kemudian berbalik badan. Dan kali ini bukan melengos, tetapi menghambur ke dalam hutan. Berlari. Seperti anak-anak yang menghambur ke pangkuan ibunya dan hendak mengadukan sesuatu. Hilang di balik pohon-pohon karet dan lebat belukar. Dan pagipun berjalan sewajarnya bagi si Taing.
***
“Duduklah!”
“Ya Tulang.”
“Aku merasa umurku sudah tidak akan panjang lagi,” demikianlah lelaki tua itu memulai percakapan. Di kursi di depannya seorang anak muda duapuluhan terlihat menyimak. Seolah tidak mau melewatkan satu patah kata, atau satu gerakan tubuh pun dari orang tua yang ada di depannya.
“Tulang akan mengajarkan dua hal padamu. Ini adalah rahasia kaum laki-laki keluarga kita. Aku mendapatkannya dari mendiang kakekmu. Ibumu tidak tahu hal ini.”
Diam sesaat.
“Kita sekeluarga punya kawan dekat. Dia selalu menjaga kita. Menjaga padi-padi kita dari serangan babi hutan. Menjaga kolam ikan di sawah dari serangan berang-berang dan para pencuri. Dan menjaga agar kandang ayam-ayam kita di kebun tidak didatangi oleh musang.”
Tak ada reaksi dari pemuda dua puluhan. Lelaki tua itu kemudian meneruskan, kau harus selalu membaca mantra-mantra ini pada bulan purnama di batu loncatan yang menghubungkan dua tepi sungai di hilir kampung kita. Salah seorang laki-laki dalam keluarga kita harus melakukannya. Kalau tidak kawan ini akan berbalik menyerang kita. Karena saat ini akulah yang mengemban tugas ritual ini, maka kalau nanti aku mati dan tidak ada penerus, maka ia akan memakan si Taing, satu-satunya darah dagingku sendiri.
Bersilalah di batu besar di bibir sungai menghadap ke batu besar di seberang sana sambil membaca dua mantra ini. Mantra pertama kau lafalkan lebih dulu, baru kemudian mantra kedua. Jangan terbalik atau hanya melafalkan mantra pertama.
Batuk yang kering menghentikan Lelaki tua itu. Setelah batuknya mereda, ia meneruskan, apakah kau ada pertanyaan sejauh ini?
“Apa yang akan terjadi kemudian di batu loncatan? Apakah aku akan meloncat dari seberang sini ke seberang sana?”
“Aku tidak bisa menjelaskannya padamu. Ada banyak hal yang tidak bisa kita jelaskan di atas dunia ini, dan seseorang hanya akan mengerti kalau ia mengalaminya. Termasuk tradisi keluarga kita. Dulu aku memiliki pertanyaan yang sama terhadap mendiang kakekmu. Dan jawaban yang seperti kusampaikan kepadamu ini pulalah yang aku terima. Dan setelah mengalami sendiri apa yang terjadi kemudian, aku dapat mengerti lebih jelas tentang semua ini.”
Si anak muda duapuluhan diam. Kali ini ia hanya menatap berharap. Seperti memelas malah. Inilah mantra pertama, lanjut si Lelaki tua dan kemudian ia mengangkat tangan mengisyaratkan agar si anak muda mendekatkan telinga ke mulutnya. Mereka duduk merapat. Lelaki tua itu membisikkan mantra pertama ke telinga si anak muda duapuluhan.
Batuk yang lebih kering menyerang lagi. Dan kali ini jauh lebih kering terdengar daripada sebelumnya. Tubuh tua itu tergoncang-goncang oleh batuknya sendiri. Ia menarik tubuhnya. Punggungnya terlihat mencari sandaran kursi. Anak muda duapuluhan mencoba memeluknya, dan mengarahkan punggung tua itu menemui sandaran kursi dengan posisi baik.
Mereka saling bertatapan. Anak muda itu merasakan tubuh tua itu agak menengang. Dan sesaat kemudian, dengan mata yang masih menatap ke arahnya, dia merasakan tubuh tua itu mengendur. Semakin mengendur. Dan akhirnya tidak ada aktivitas sama sekali. Tidak ada denyut nadi. Lelaki tua itu meninggal dalam pelukannya. Tinggallah ia kini memikul tanggungjawab. Harus bersemedi di batu loncatan pada bulan purnama yang akan datang. Dengan hanya satu mantra di dalam kepalanya.
Leuven, Maret 2011