Señorita

Señorita

oleh: Bosman Batubara

Kita bertemu di sebuah pesta. Seorang teman mengenalkanmu padaku, dan sebaliknya. Lucia, katamu singkat waktu memperkenalkan namamu. Dan aku pun menyebutkan namaku. Kita bersalaman dan bertatapan sebentar. Hanya itu. Berikutnya kita kembali larut dalam suasana pesta. Berbincang dengan teman. Tertawa, dan sesekali meneguk bir.

Menjelang tengah malam pesta di ruangan hampir usai. Rencana berikutnya adalah bergerak ke arah Oude Markt, persisnya ke Mechelsestraat 51, di sana ada sebuah cafe tempat orang-orang Latino berdansa. Villa Ernesto, demikian namanya. Sedikit keluar dari Oude Markt. Tidak semua orang pergi ke Villa Ernesto. Hanya bagi orang-orang yang tertarik saja.

Aku sendiri, pada awalnya tidak terlalu suka berdansa. Apalagi meliuk-liuk bergoyang salsa. Bagiku itu adalah barang baru. Risih sekali rasanya bergoyang seperti itu. Dulu, sewaktu di kampung, jangankan membayangkan suatu ketika akan bergoyang salsa, berjoget di pentas dangdut saja aku jarang sekali. Bisa dihitung dengan jari. Malu rasanya berjoget mengikuti irama dangdut di atas pentas.

Tapi itu beberapa tahun yang lalu. Dan semua sudah berubah sekarang. Sejak tinggal di Leuven aku mulai familiar dengan suasana ini. Sekali dua terasa risih. Maklum, tak ada tradisi seperti itu melekat di badan. Tetapi ketiga, keempat dan seterusnya, sudah biasa saja. Dan tentu saja ditambah dengan meningkatnya kemampuan salsaku. Kadang-kadang, selain menerima training khusus dari teman-teman cewek yang berasal dari Amerika Latin, aku juga menambah jam belajar salsaku sendiri dengan menonton video-video teori salsa di You Tube. Terima kasih untuk teknologi yang telah menyediakan You Tube. Entahlah siapa nama penemunya.

Rumah tempat pesta agak jauh dari Mechelsestraat 51. Butuh sekitar waktu setengah jam berjalan kaki. Oh ya, belakangan ini kalau malam biasanya kami lebih suka berjalan kaki. Bukan apa-apa, tetapi kadang-kadang kalau naik sepeda malah bikin masalah. Katakan saja misalnya masalah parkiran dan kehilangan sepeda. Pada malam hari, seringkali parkiran sepeda penuh. Jadi tidak ada tempat untuk mengunci sepeda pada parkiran yang statis. Maka diparkirlah sepeda di sembarang tempat tanpa terkunci ke parkiran statis. Meski sepeda sudah dikunci, tetapi kadang-kadang tetap hilang. Ada saja orang mabuk yang sedang iseng memindahkan sepeda ratusan meter dari tempat dia diparkir. Susah sekali kan malam-malam harus mencari-cari sepeda? Karena itu belakangan kalau keluar malam hari, biasanya teman-teman lebih suka berjalan kaki. Leuven hanya kota kecil, dalam kurang dari setengah jam kita sudah sampai di pusat kota.

Sepanjang perjalanan, kebetulan kamu berada di dekatku. Adahal sebuah dosa besar tak mengajak perempuan di sebelah kita berbicara. “Jadi kamu dari Kolombia?” tanyaku memulai. Karena sebelumnya dari perbincangan di tempat pesta aku sedikit mendengar bahwa kamu dari Kolombia. “Ya,” jawabmu singkat. “Dari kota mana?” sambungku. “Bogota.” Kamu menjawabnya dengan menyebutkan Bogota sedikit tidak biasa rasanya bagiku.

Kamu darimana?” demikian kamu balik bertanya. “Aku dari Indonesia.” Kembali diam. Cuma dari percakapan pendek itu aku langsung sadar bahwa Bahasa Inggrismu tidak terlalu baik, logat Spanyolnya sangat terasa di telinga. Memang demikianlah sepertinya para penutur Bahasa Spanyol. Dengan cepat dapat diidentifikasi andaikan tidak ditanyapun berasal darimana. Terutama dari caramu menyebutkan Bogota, terdengar benar-benar lain.

Sebenarnya aku sedikit mabuk pada waktu itu. Pesta, tentu saja penuh dengan alkohol. Dan sekarang ada perempuan Kolombia di samping. Amboi…

Apa kabar Sungai Magdalena?” tanyaku asal menyambung pembicaraan.

Aku tahu pada waktu itu kamu melihat ke arahku dengan reaksi terkejut. Tentu saja aku pura-pura santai dan terus berjalan. Pasti kamu sedikit terkejut karena aku tahu soal Sungai Magdalena. Sambil tetap menatap lurus ke depan dengan kedua tangan kumasukkan ke dalam kantong sweaterku di bagian perut. Agak lama, baru kemudian aku dengar kamu malah balik bertanya.

Jadi kamu tahu Sungai Magdalena?

Yeah… aku cuma tahu Sungai Magdalena lewat novel. Aku belum pernah ke sana. Tetapi rasanya aku sangat akrab dengan Kolombia.

Novel apa?

Kamu tahu Gabriel Garcia Marquez?” sekarang aku yang balik bertanya.

Tahu. Aku baca bukunya yang, aduh aku tak tahu dalam Bahasa Inggris apa terjemahannya, agak susah.

Kamu bisa menyebutkannya dalam Bahasa Spanyol,” jawabku sambil terus berjalan tanpa merubah posisi.

Cien años de soledad.

One Hundred Years of Solitude?” sambungku.

Yaaaa…Jadi kamu baca juga?

Ya, aku baca banyak buku karangan Marquez. Tapi aku paling suka yang Living to Tell the Tale.”

“Oh ya, mungkin Vivir para contarla,” sambungmu sambil menyebutkan judul buku itu dalam Bahasa Spanyol.

Yeah, aku tidak tahu Bahasa Spanyolnya.

Begitulah semuanya dimulai. Kita terus berjalan ke arah Villa Ernesto. Meski sudah malam, tetapi itu Cafe tetap padat dengan pengunjung. Di dalam musik Latino membahana. Cafe penuh dengan orang yang bergoyang. Kita bersalsa ria sebentar. Aku tidak terlalu pandai bersalsa, katamu suatu ketika. Ah aku tak percaya, tidak mungkin rasanya ada perempuan Latino yang tidak bisa bersalsa. Memang terbukti benar dugaanku. Meski kamu bilang tidak terlalu pandai bersalsa, tetapi toh kayaknya badanmu tetap saja bergerak-gerak mengikuti irama musik.

Tidak sampai setengah jam kita bersalsa. Lantai dansa penuh sesak. Mahasiswa memang paling senang dengan tempat ini. Dansa suka ria. Tertawa. Bir. Sesekali ciuman. Uh, seharusnya hidup memang begitu. Tidak terlalu banyak memikirkan permasalahan sosial seperti kelaparan dan krisis air. Apalagi politik taik kucing. Tapi apa boleh buat, tidak mungkin juga selama hidup semuanya adalah pesta kan? Semuanya itu membuat kita memutuskan pindah ke lantai dua. Di sana bukan tempat dansa. Ada kursi-kursi dan meja-meja untuk duduk dan mengobrol. Setelah memesan masing-masing satu gelasStella Artois, akhirnya kita menuju lantai dua.

Di bawah remang cahaya lampu cafe, aku menyadari bahwa kamu memiliki wajah yang khas. Aku tidak tahu seperti apa, tetapi begitu melihatmu aku langsung saja teringat sama Remedios. Ah, mungkin memang otakku ini sudah sepenuhnya diinvasi oleh Gabriel Garcia Marquez. Apapun yang berhubungan dengan Kolombia, aku sudah susah keluar dari bingkai yang dibangun Marquez. Kurang ajar. Tetapi, wajahmu memang khas Latina. Sumpah!!!

Ceritakan padaku tentang Kolombia.

Apa yang kamu mau tahu dari Kolombia.

Ya, apapunlah.” Sebenarnya aku cuma mau memberikan ruang padamu untuk berbicara. Sebab aku pernah merasakan pada awal-awal di Leuven dulu soal betapa susahnya hidup ketika Bahasa Inggris kita hanya pas-pasan. Aku yakin, alkohol akan membuatmu lebih santai dan tak terlalu peduli dengan bagaimana kamu ber-Bahasa Inggris. Hidup seperti terpenjara, apalagi langsung terjun dalam pergaulan internasional yang menuntut itu. Meski aku pada waktu itu sudah melewati prasyarat mengenai Bahasa Inggris, tetapi tentu saja aku butuh waktu untuk bisa berekspresi dalam Bahasa ini. Toh dia bukan bahasa ibuku. Dan, karenanya aku tahu persis posisimu ketika itu. Kamu hanya butuh banyak mempraktikkannya. Cepat atau lambat, masalah itu pasti selesai juga. Jadi aku tahu kalau kamu butuh pendengar yang budiman.

Pada akhirnya, dugaanku tidak meleset. Aku dengar sendiri kamu berbicara. “Aku masih kesulitan dengan Bahasa Inggris. Di Kolombia tidak banyak orang yang ber-Bahasa Inggris. Semuanya dalam Bahasa Spanyol.

Tidak usah khawatir. Hampir semua orang mengalami hal itu. Aku juga kesusahan kok dulu pada awalnya. Tetapi cepat atau lambat kamu akan menyesuaikan diri. Paling-paling butuh waktu dua atau tiga bulan,” sambutku berusaha meyakinkanmu. “Toh, Bahasa Inggris bukan bahasa ibumu.

Ya, aku harap demikian.

Ternyata pengakuan itu meruntuhkan semua batas. Atau mungkin alkohollah yang bekerja. Dengan lebih lancar kemudian kamu bercerita banyak hal soal Kolombia. Soal Sungai Magdalena yang sekarang mengalami pencemaran. Soal transportasi bus bernama Trans-Millenia di Bogota yang aku rasa mengilhami pembangunan proyek Trans-Jakarta. Dan, hingga akhirnya sampai arsitektur. Ya, ketika kamu berbicara tentang arsitektur, semuanya seperti hidup. Soal bangunan. Soal isme dalam arsitek mulai dari yang dari jaman capek hingga yang kontemporer. “Yeah… Lucia, kamu memang Sang Arsitek,” kataku suatu ketika. “Aku benar-benar ingin pergi ke Lille, sebab aku pernah punya tugas di kampus dulu soal Lille.

Dan malam itu dengan berjalan kaki kita pulang ke asrama. “Jadi kesepakatannya adalah, aku belajar Bahasa Inggris dari kamu, dan kamu bisa belajar Bahasa Spanyol dariku,” katamu suatu ketika pada sepanjang jalan. “Oh jelas, kenapa tidak?” jawabku. Dan malam itu kita berpisah di depan gedung asramamu, karena kita tinggal di gedung yang berlainan. Satu ciuman palsu mengakhiri. Aku sebut ciuman palsu karena ciuman itu memang palsu. Suara cup keluar dari bibir, sementara yang bersentuhan cuma pipi. Buenos noches Señorita. Gracias.

***

Beberapa hari kemudian aku menerima sms darimu, “hola, aku tidak melakukan apa-apa seharian. Aku baru saja putus dengan pacarku.

***

Upssss!!!

[]

Leuven, Oktober 2011

One thought on “Señorita

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s