Tiga Malam di Budapest
Oleh Bosman Batubara
Di atas kereta yang membawa kita dari Bratislava ke Budapest, secara tidak sengaja kita bertemua dua orang sahabat baru. Adalah sebuah kebetulan. Kita naik kereta dari Hlavná Stanica, Bratislava. “Kamu harus memanjangkan pengucapannya kalau ada hurup a dengan tanda koma di atasnya,” katamu suatu ketika mengajariku. “Oke, harus memanjangkan pengucapan kalau ada hurup a dengan bunga di atasnya. Hlavnaaa Stanica,” jawabku. Kita berada satu ruangan dengan Mario dan Mohammed. Mario berasal dari Hungaria, dia tinggal di sebuah kota kecil di dekat Budapest. Sementara Mohammed berasal dari Irak. Tetapi sebagian besar usianya yang hampir 60 tahun dia habiskan di Amerika Serikat.
Pada awal kita di ruangan itu, agak sedikit canggung. Mario dan Mohammed sudah bercerita ke sana kemari. Yang sempat aku dengar mereka berbicara mulai soal demokrasi, krisis finansial yang melanda Eropa, hingga soal Islam di Timur Tengah. Seru sekali kedengarannya. Sementara kita berdua, seolah terpukau menyimak omongan mereka, cuma diam terpaku. Sesekali kamu memberikan bungkus coklat yang kamu pegang padaku. Aku ambil satu bongkah, aku berikan lagi kepadamu. Berganti-ganti. Hingga akhirnya coklat sebungkus itu habis kita makan, dan aku sudah tak tahan lagi untuk tidak bergabung dalam obrolan mereka. Sepertinya kamu juga demikian, aku bisa rasakan itu dari tatapan matamu.
“Boleh aku gabung dalam obrolannya,” akhirnya aku meledak. Pada awalnya Mario dan Mohammed melihat ke arahku dengan tatapan aneh. Tetapi tak lama kemudian Mario menetralisir suasana, “tentu saja. Kamu dari mana?” tanyanya.
“Aku dari Indonesia. Dan Katka dari Slovakia,” jawabku. “Dan anda darimana?” Dan sejak itulah es di ruangan jadi mencair. Obrolan pun mengalir seperti sungai-sungai berair deras di Bukit Barisan. Tak putus-putus. “Kalau kalian lebih lama di Budapest, ada baiknya mengunjungi kastel itu,” kata Mario suatu waktu sambil menunjuk ke luar jendela kereta yang sedang melaju. Di kejauhan, di puncak sebuah bukit terlihat sebuah kastel tua berdiri anggun dengan latar depan Sungai Danube yang mengalir tenang seperti tak bergerak.
Ketika akhirnya sampai di stasiun kereta di Budapest, Mario menemani kita untuk membeli Budapest Card di salah satu kios kecil di dalam stasiun. Sebelumnya dia juga merekomendasikan beberapa tempat di Budapest yang wajib dikunjungi oleh para pelancong. Dan tentu saja tak lupa pula Mario menyarankan kita untuk mencoba Pálinka, katanya itu salah satu minuman terbaik Hungaria.
Setelah menukarkan uang Euro yang kita miliki ke Forint Hungaria, kita pun keluar dari stasiun kereta Keleti Pályaudvar. “Sebatang rokok di luar sana sepertinya menarik dan kita bisa sedikit mempelajari peta dan buku ini,” katamu sambil mengangkat buku panduan bagi turis di Budapest dan Peta Resmi kota yang baru saja kita peroleh sebagai bagian dari paket Budapest Card.
Hari sudah menjelang malam ketika kita keluar dari stasiun kereta. Di jalanan terlihat orang-orang yang bergegas. Dari bawaannya kelihatan bahwa mereka adalah orang kantoran. Kita terus bergerak. Dan akhirnya menemukan kursi-kursi di tepi jalan raya dengan sebuah gedung berwarna kekuningan di depannya. “Sepertinya aku bakal suka kota ini,” kataku ketika kita duduk di kursi panjang.
“Ya, aku kira kota ini cocok sekali denganmu,” sahutmu.
“Kok kamu bisa mengatakan begitu?”
“Hmmm aku belum terlalu jelas sebenarnya mengapa. Cuma aku merasa bahwa kota ini sangat cocok untukmu. Sekilas aku lihat agak tidak tertib. Seperti hidupmu. Di lain waktu aku lihat sedikit eksotik dibandingkan dengan kota-kota yang lain di Eropa. Ada nuansa masa lalu. Perhatikan warna kota yang seperti karat. Penuh nostalgia. Persis seperti kamu.”
“Jadi menurutmu aku ini eksotis?”
“Kok kamu malah cuma menangkap bagian eksotisnya? Berapa kali aku katakan padamu bahwa kamu ini eksotis? Atau kamu hanya ingin agar aku mengulang-ulang mengatakan bahwa kamu ini eksotis? Coba lihat sekelilingmu, semua orang berambut pirang, kamu mungkin satu-satunya yang berambut hitam. Apa itu tidak esksotik namanya? Coba kamu lihat, semua orang berkulit putih kemerahan, kamu berkulit coklat. Apa itu tidak eksotik namanya?”
“Hahahaha…Kalian ini orang-orang Eropa, menganggap orang lain eksotis. Tapi wajar sih, andai kamu di Indonesia kamu juga akan menjadi eksotis. Mungkin kamu akan dengan mudah jadi bintang film di Indonesia. Orang-orang memang selalu begitu ya. Paling senang dengan apa yang tidak dia punya. Aku pikir ini bukan cuma soal rambut, kulit, atau yang fisik-fisik begitu, tetapi juga menyangkut pekerjaan dan sebagainya.”
“Ya, bisa jadi.”
“Oke. Cukup soal eksotisme. Sekarang kita buka peta,” kataku memutus pembicaraan soal eksotisme.
“Hostel kita berada di sekitar statiun metro Astoria. Jadi menurut peta ini kita butuh melewati satu stasiun metro dan kemudian turun.”
Dan ternyata bukan hanya sebatang rokok yang kita habiskan di kursi panjang. Sebatang rokok diikuti oleh satu porsi kentang goreng untuk berdua yang kita beli di dekat stasiun. Satu porsi kentang goreng diikuti sebatang rokok yang lain. Satu batang rokok yang lain diikuti pula oleh satu botol bir. Dan pada akhirnya kita tidak naik metro ke Astoria, tetapi memilih berjalan kaki.
“Dengan berjalan kaki kita akan melihat kota lebih banyak,” katamu. Dan aku cuma mengangguk-angguk setuju.
Agak kseulitan untuk menemukan Hostel Budapest Centre, karena ternyata dia hanyalah sebuah hostel yang sangat kecil. Apalagi pada malam hari. Belakangan kita tahu bahwa Hostel hanya dikelola oleh beberapa orang mahasiswa yang sepertinya bekerja paroh waktu. Pada awalnya kita sempat terkejut, karena menemukan Hotel Budapest Centre yang lumayan besar. “Aku pikir ini bukan hostel yang kita pesan,” kataku.
“Tapi lihat, tulisannya Hotel Budapest Centre,” sambungmu sambil menunjuk-nunjuk ke arah papan nama Hotel Budapest Centre.
“Tapi itu kan Hotel Budapest Centre, bukan Hostel Budapest Centre,” sambungku. Dan ternyata kali ini aku benar, begitu kita tanya resepsionis di Hotel Budapest Centre dia menerangkan kepada kita dimana letak Hostel Budapest Centre. Dan begitu kita keluar dari lobi hotel, setelah beberapa jarak, kita bertatapan dan kemudian tertawa bersama. Dan setelah masuk ke sebuah jalan kecil yang masih di seputaran stasiun metro Astoria, akhirnya kita menemukan sebuah kertas di tembok yang bertuliskan Hostel Budapest Centre.
Dan kembali kita bertatapan dan tertawa. Dan malam itu, kita tertawa tanpa berhenti karena semua kejadian yang kita hadapi seolah-olah sudah diset.
Begitu kita sampai di meja resepsionis Hostel Budapest Centre, seseorang langsung menyambut kita dan menegur dengan sangat ramah, menyalami kita dan kemudian mulai berbicara soal tetek bengek menginap di Hostel. Sebuah kamar kecil, akan tetapi membuat kita terkejut bukan kepalang karena ternyata setelah kita hitung-hitung di kamar kecil berukuran sekitar lima kali enam meter itu ada sebanyak dua belas colokan listrik. Siapa yang tidak tertawa menghadapi situasi begitu? “Aku merasa orang itu mengucapkan ‘selamat, sudah menemukan tempat ini’ ketika menyalami kita,” katamu ketika kita sudah selesai merapikan barang-barang bawaan di lemari kecil di pojok kamar. Dan kembali kita tertawa tanpa kontrol.
Dan malam itu kita tutup dengan memeriksa peta kota dan mulai merencanakan tempat-tempat yang mesti dikunjungi di Budapest. Dalam beberapa trip yang kita lalui, kita memang tidak pernah merencanakan sesuatu sebelumnya. Biasanya hanya pergi, cari peta dan jalan kaki. Beberapa kali tersesat, “tapi kan tersesat itu bagian paling indah dari sebuah perjalanan,” kataku suatu ketika.
Kita bangun pada pagi yang benar-benar terlambat. Mungkin karena terlalu capek. Tetapi kita sepakat menyalahkan kamar yang hampir tidak ada sinar matahari masuk. Aku sudah tidak ingat pasti pukul berapa, tetapi kita memulai hari dengan sarapan sekaligus makan siang di salah satu restoran di seputaran Astoria. Dari sana kita bergerak ke arah Király utca, melewai Dohány Synagogue yang konon merupakan synagoge terbesar kedua di seluruh dunia.
“Kamu mau masuk ke Synagoge?” tanyaku.
“Tidak. Aku ingin ke Galeri Seni acb di Király utca,” dan kita pun meneruskan langkah setelah beberapa menit mengamati gedung Synagoge yang terususun dari bata kemerahan.
Seperti yang tertulis di peta, tidak sulit bagi kita untuk menemukan Galeri Seni acb. Cuma kita berdua pengunjung galeri itu. Karena memang ternyata galeri itu bukanlah sebuah galeri yang besar. Di sana kita disambut oleh seorang perempuan yang sudah tidak muda lagi, tetapi masih terlalu muda untuk dipanggil ibu. Mungkin umurnya sekitar 30an tahun. Dia terlihat anggun dan matang. Katalin, demikian perempuan itu memperkenalkan diri. Karena memang tamunya cuma kita berdua, maka dia punya banyak waktu untuk menunjukkan galerinya kepada kita.
Dari Katalin kita tahu bahwa ternyata mereka sering mengadakan pameran-pameran para seniman muda yang masih mencari jati diri. Para seniman seperti itu biasanya belum terlalu komersial. “Aku suka yang ini,” kataku ketika kita berdiri di depan sebuah lukisan kaset yang dengan jelas memperlihatkan pita yang putus.
“Apa yang dapat kamu ceritakan dari lukisan ini,” tanya Katalin.
“Aku merasa bahwa kaset ini berisi sesuatu cerita yang penting. Tetapi ada orang yang tidak ingin cerita penting ini terdengar, maka dia memutus pita kaset. Dan si seniman berhasil menangkap itu dengan sangat bagus,” jawabku.
Katalin tersenyum dan kemudian menjelaskan bahwa pelukisnya berusia 30 tahun. Dua jam lebih kita berputar-putar di dalam galeri kecil itu sambil beberapa kali berhenti di depan lukisan dan mendengarkan Katalin menjelaskan lukisan satu per satu.
“Kamu tahu, sebenarnya aku ingin menjadi kurator,” katamu ketika kita sudah berada di luar galeri sambil bergandengan tangan di sepanjang jalan Bajcsy Zsilinsky. Di salah satu sudut ada sebuah mural yang sangat bagus yang memperlihatkan aktivitas kelas pekerja dan membuatku bercerita tentang Diego Rivera.
“Tapi kan kurator tidak berkarya, hanya mengomentari karya orang lain,” pada akhirnya aku menanggapimu setelah memborbardirmu dengan Diegor Rivera.
“Justru itu, karena aku tidak bisa melukis, makanya aku ingin jadi kurator saja,” jawabmu.
“Oke, do’aku semoga kamu jadi kurator hebat,” sahutku sambil tersenyum ke arahmu.
Hari mulai terlihat gelap. Belum malam sebenarnya. Baru sekitar pukul lima. Tujuan kita berikutnya adalah Restoran Firkáz Café di di Tátra utca. Karena kita tahu, berdasarkan infromasi dari buku panduan, setiap malam di sana pemenang kontes piano untuk musisi yang bermain di bar-bar di Budapest memperlihatkan kebolehannya di resotoran itu.
Restoran Firkáz Café di sekitar Tátra utca tidak terlalu besar. Tetapi penuh dengan nuansa. Di sana kita minum sebotol anggur putih dan makan goulash. Katamu itu salah satu makanan khas Hungaria. Dan yang lebih menyenangkan adalah, meskipun terkesan restoran formal dan berkelas, ternyata harganya tidak mahal dan di dalamnya boleh merokok. Pianis itu terus bermain. Beberapa lagu telah sudah. Setiap kali dia selesai, pengunjung yang hanya sekitar sepuluh orang langsung bertepuk tangan. Karena dia memang bermain baik sekali.
Dari sana kita bergerak ke arah Sungai Danube. Oh ya, menurut Mario, di Hungaria orang menyebut Sungai Danube dengan Duna, sebuah nama yang sudah menyesuaikan diri dengan lidah orang Hungaria. Berjalan pelan di bawah lampu-lampu di tepi Sungai, melewati mulut Margit Hid dan Gedung Parlemen Hungaria yang tersohor itu, pada akhirnya kita masuk ke stasiun metro Kossuth tér. Sepertinya hidup memang sudah diset, karena begitu kita sampai di jalur yang menuju Astoria, di sana sudah ada metro menunggu. Sedikit agak mempercepat langkah, kamu masuk duluan ke dalam metro. Tetapi apa daya, begitu aku mau masuk, pintu metro tertutup. Secara refleks aku menarik badan dan tidak jadi masuk. Dari balik jendela pintu kaca metro yang sudah mulai bergerak, aku lihat bibirmu yang tipis terbuka mengucapkan sesuatu seperti “Astoria”.
Apa boleh buat, aku harus menghabiskan beberapa menit tanpamu menunggu metro berikutnya. Dan ketika aku turun dari metro di stasiun Astoria, kamu sudah ada di sana. Kita langsung berpelukan seolah-olah kita tidak bertemu berabad-abad lamanya.
Hari kedua kita habiskan dengan berjalan kaki di seputar Kastel Buda di puncak bukit. Dari sana kita bisa melihat kota Budapest di bagian bawah sana. Termasuk gedung parlemen yang terlihat manis di tepi Sungai Duna. “Ternyata metro lewat di bawah Sungai Duna,” katamu ketika kita melihat peta dan menemukan bahwa jalan metro memotong Sungai Duna.
“Oh, pantas eskalatornya turun jauh sekali, aku pikir mereka harus membangun terowongannya berpuluh-puluh meter di bawah Sungai Duna,” sahutku.
“Aku benar-benar jatuh cinta dengan Budapest,” kataku ketika kita berada di Pulau Margaret keesokan harinya. Pulau Margaret sebenarnya hanyalah sebuah gosong sungai di tengah-tengah Sungai Duna, tetapi tangan-tangan kreatif mengubahnya menjadi sebuah taman yang indah.
“Apa yang membuatmu jatuh cinta?”
“Aku tidak tahu persis, cuma rasanya kamu benar bahwa kota ini memang cocok untukku. Aku merasakan aura kota yang hampir sama dengan Yogyakarta, sebuah kota di Indonesia. Di Yogyakarta aku merasa nyaman sekali. Rasanya kota berupa gudang orang-orang kreatif yang selalu ingin mencipta. Tadinya aku pikir Prague adalah kota terbaik, tetapi sekarang aku jatuh cinta pada Budapest.”
“Ah, kamu itu. Selalu jatuh cinta pada kota baru.”
“Ya, dan rasanya aku selalu mencinta dengan sepenuh hasrat.”
“Hahaha… kamu memang intense lover,” katamu, dan aku rasakan hangat kedua telapak tanganmu di mukaku.
“Forever,” jawabku sekenanya.
Dari Pulau Margaret kita melanjutkan menyeberangi Sungai Duna melalui Margit Hid. Hari menjelang sore. Lagi-lagi, seperti sudah diset, kita persis berada di seberang Gedung Parlemen ketika mereka mulai menyalakan lampu-lampu di Gedung itu. Pada awalnya, ketika lampu belum dinyalakan, gedung itu terlihat berwarna putih kemerahan. Tetapi tatkala lampu-lampu dinyalakan dan hari mulai gelap, gedung itu berubah menjadi berwarna keemasan yang membias pada Sungai Duna. Sepasang turis dengan aksen Amerika lewat di depan kita dan menawarkan diri untuk mengambil foto kita dengan latar belakang Gedung Parlemen dan Sungai Duna. Tentu saja.
Dan pada akhirnya tak terasa, hari ketiga di Budapest usai sudah. Di kereta menuju Bratislava, kembali kita mendapatkan seorang kenalan baru. Kali ini seorang Pemuda Perancis. Lagi-lagi mulutku tidak tahan untuk tidak mengajaknya berbicara. “Kami punya dua botol Pálinka, kamu mau minum bersama kami?” tanyaku membuka percakapan.
“Tentu saja,” jawabnya. Dari obrolan kita jadi tahu bahwa dia berasal dari Paris dan sedang dalam liburan di Eropa Tengah. Katanya dia sedang dalam perjalanan menuju Prague untuk bertemu pacarnya yang tinggal di sana. Dua botol Pálinka habis sudah. Hlavná Stanica sudah di depan sana. “Oke kita sampai,” katamu.
“Kita, sudah di Hlavnaaa Stanic?,” tanyaku sambil mengambil tas dan melambai kepada si Pemuda Perancis.
“Ai ai ai…, kamu mengucapkannya dengan sempurna baby,” jawabmu sambil melangkah ke luar ruangan di gerbong kereta. Suaramu terdengar sangat indah dan aku rasa penuh dengan kebahagiaan. Dan sekilas aku lihat Pemuda Perancis itu tersenyum. Mungkin dia juga merasakan keindahan dan kebahagiaan dalam suaramu itulah.
Leuven, November 2011