Love what you do
Hasanudin Abdurakhman
Mengerjakan sesuatu yang kita sukai tentu menyenangkan. Karenanya dalam memilih pekerjaan umumnya orang akan mencari pekerjaan yang dia sukai. Tapi dalam kenyataan tak semua orang bisa menemukan pekerjaan yang dia sukai. Pada situasi itu hanya ada satu pilihan, yaitu (mencoba) menyukai apa yang kita kerjakan.
Sejak kecil saya suka pelajaran Matematika dan IPA. Nilai saya untuk mata pelajaran itu selalu bagus. Ketika SMA lebih khusus lagi saya menyukai pelajaran Fisika. Karena itulah saya memilih untuk melanjutkan kuliah ke jurusan Fisika.
Tapi Fisika yang saya hadapi saat SMA ternyata berbeda dengan yang saya hadapi saat kuliah. Mulai tahun kedua saya mulai mengalami kesulitan dalam pelajaran. Banyak topik yang gagal saya pahami. Aljabar vektor yang merupakan salah satu alat untuk memahami Mekanika Kuantum terlalu rumit buat saya. Otomatis saya juga keteteran saat mendalami Mekanika Kuantum. Padahal topic-topik Fisika tingkat lanjut semua berbasis pada Mekanika Kuantum.
Terus terang saya sempat frustrasi dengan dunia Fisika, lalu mencari „pelarian“ di dunia aktivitas ekstrakurikuler. Di sini suasananya lebih menarik. Dan yang penting, saya tidak harus berhadapan dengan dunia abstrak seperti ruang vektor atau ruang kuantum. Kala itu tak jarang orang mengira saya mahasiswa Fisipol.
Tapi ada saatnya saya harus berhenti dengan keasyikan itu. Memasuki tahun ke 6 kuliah saya sadar bahwa saya harus lulus. Kasihan orang tua yang sudah membiayai kuliah saya. Tak ada pilihan, saya harus kembali ke Fisika. Saya mulai mencari topik skripsi. Kebetulan ada dosen yang baru selesai S2 di UI, dan dia dibimbing oleh seorang profesor tamu dari Jepang. Saya memilih untuk mengerjakan topik yang sama dengan dosen tersebut, di bidang Fisika Zat Padat.
Waktu itu saya membutuhkan kristal untuk bahan eksperimen, dan kristal itu tidak tersedia di Indonesia. Saya beranikan diri menyurati profesor Jepang tadi untuk minta bantuan. Berhasil. Dia mengirimi saya 3 potong kristal. Lalu saya membuat alat untuk keperluan eksperimen, mencari sendiri alat ukur di berbagai laboratorium di UGM dan Batan. Dosen pembimbing saya nyaris tak melakukan apa-apa. Semua saya kerjakan atas inisiatif saya sendiri.
Dalam waktu enam bulan saya berhasil menyelesaikan skripsi. Banyak mahasiswa yang terhambat di situ hingga bertahun-tahun. Saya sadar bahwa saya bisa melakukan itu bukan karena saya pintar di bidang Fisika. Modal utamanya tidak di situ, tapi pada ketekunan saya. Itu ditambah dengan kemampuan saya menulis, yang memang cukup baik. Hasilnya, skripsi saya diterima nyaris tanpa koreksi dari pembimbing, dan saya lulus kuliah.
Lepas dari bangku kuliah saya mencoba berkarir sebagai logging engineer di lapangan minyak. Saya menyukai pekerjaan ini. Basisnya adalah ilmu Fisika, tapi bukan yang rumit dan abstrak seperti Mekanika Kuantum. Pekerjaannya sendiri menantang, di alam terbuka, dan penuh bahaya. Cocok untuk laki-laki yang punya jiwa petualang.
Tapi saya tak suka lingkungan kerjanya. Tak ada manusia di situ. Cuma segelintir. Saya adalah mantan aktivis yang punya kawan seantero Yogya. Waktu itu belum ada HP atau internet seperti sekarang. Terisolasi di pedalaman Sumatera Selatan sana adalah siksaan luar biasa. Akhirnya saya keluar dari pekerjaan ini. Saya kemudian menjadi dosen, pekerjaan yang sejak lama jadi cita-cita saya.
Bekerja sebagai dosen sungguh menyenangkan saya. Saya suka mengajar dengan berbagai aspeknya. Tapi menjadi dosen membuka „hubungan lama“ saya dengan Fisika yang memusingkan itu. Saya berusaha menghindar. Ketika mendapat kesempatan untuk kuliah S2 ke Jepang saya sengaja memilih Fisika Terapan dengan niat agar tak lagi berurusan dengan Mekanika Kuantum. Celakanya tanpa saya kehendaki saya malah mendapat profesor pembimbing yang topik penelitiannya di bidang ilmu dasar, bukan terapan. Lebih parah lagi saya harus meneliti bahan organik. Padahal sejak SMA saya sangat benci pada Kimia Organik.
Lagi-lagi saya tak punya pilihan. Saya harus belajar dan melakukan eksperimen di bidang yang tak saya sukai. Sudah kepalang basah, saya harus hadapi itu dengan tekun, meski banyak hari-hari harus saya lalui dengan dimaki-maki oleh professor saya, karena saya tidak mampu memahami atau menjelaskan sebuah persoalan. Itu karena basis saya di bidang Mekanika Kuantum dan Fisika Zat Padat memang lemah.
Tak cuma masalah pemahaman. Juga ada hambatan fisik. Salah satu eksperimen yang harus saya lakukan dalam penelitian adalah mengamati karakter material di bawah tekanan tinggi. Saya menggunakan alat yang disebut diamond anvil cell. Alat ini terdiri dari dua potong intan yang digunakan untuk menjepit sebuah pelat logam. Pelat itu dilubangi sehingga di dalamnya tercipta sebuah ruang. Ke dalam ruang itulah dimasukkan sampel yang hendak diamati, ditambah media cair penerus tekanan dan serpihan kristal ruby untuk mengukur tekanan. Saat kedua potong intan itu ditekan, ruangan tadi akan mengecil dan terciptalah kondisi tekanan tinggi.
Saya menggunakan istilah ruang, tapi ini ruang yang sungguh kecil! Diameter lubang hanya 0.3 milimeter. Untuk memasukkan benda-benda tadi saya menggunakan lidi yang di ujungnya saya ikatkan benang wol yang sangat halus. Ujung benang wol itu saya gunakan untuk mengangkat dan menggeser benda-benda itu. Ukuran benda serta lubang sangat kecil sehingga tak mungkin semua itu dilakukan dengan mata telanjang. Seluruh pekerjaan itu dilakukan dengan panduan pengamatan visual di bawah mikroskop.
Saya punya masalah fisik. Tangan saya tidak stabil. Sering gemetaran. Tremor, kata dokter. Tapi saya harus memasukkan beberapa benda yang sangat kecil dan rapuh ke dalam sebuah lubang yang sangat kecil pula. Luar biasa sulit.
Ada tiga bulan yang saya lalui untuk berlatih menggunakan alat itu. Tiga bulan terus menerus, tiap hari saya mengulang hal yang sama. Tiap hari gagal, saya mulai lagi. Lagi dan lagi. Setelah tiga bulan itu barulah saya mulai menghasilkan data eksperimen.
Begitulah. Dengan terseok-seok akhirnya saya bisa menyelesaikan studi hingga meraih gelar doctor. Bahkan kemudian saya berkarir selama 4 tahun sebagai peneliti tamu di Jepang. Kadang saya heran sendiri, kok saya bisa jadi doktor bahkan profesor tamu di Jepang.
Sejak masih kuliah S1 saya tidak berminat untuk bekerja di dunia industri. Saya tak suka. Saya tak suka pada jadwal yang tetap, harus masuk jam sekian, pulang jam sekian. Saya juga tak suka bekerja di bawah orang, disuruh-suruh. Saya suka pekerjaan yang independen, di mana saya menentukan apa yang harus saya lakukan.
Tapi lagi-lagi saya harus menghadapi itu. Karena berbagai alasan saya harus memulai karir di dunia industri. Tak terasa sudah lima tahun saya berkarir di dunia ini. Sejauh ini saya menikmatinya.
Kawan. Dalam hidup ini sering kita harus melakukan hal-hal yang tidak kita sukai. Tapi pengalaman saya mengajarkan bahwa kita pun bisa melakukan hal-hal yang tadinya tidak kita sukai. Bahkan kita kemudian bisa menyukainya.
If you cannot do what you love, try to love what you do. Itulah resep saya.
setuju….
love what you do now
how about do what you love?
Luar biasa……salut atas ketekunannya, Mas. Smoga menjadi motivasi dan inspirasi untuk orang banyak.