Suara Gelombang Laut Baltik (Kepada Halim Hade)
Oleh Bosman Batubara
Aku masih agak capek begitu memasuki kamar Hostel Frank yang persis menghadap ke Sungai Daugava. Perjalanan selama lebih dua jam dari Brussels ditambah 20 menit di dalam bus dari bandara menuju Hostels, membuatku sedikit tidak konsentrasi. Terlebih-lebih cuaca yang berubah kontras begitu sampai di Riga. Di Brussels, cuaca November masih lumayan hangat. Kadang-kadang sepuluh derajat selsius. Tetapi di Riga sudah hampir di titik nol, jadi lumayan kontras perbedaan cuacanya.
Kita langsung berkenalan begitu aku memasuki kamar hostel. Nasib mempertemukan kita berada di dalam kamar yang sama. Sebagai pejalan, bertemu orang baru secara random, berkenalan, bertukar cerita, adalah hal-hal yang aku sukai. Belakangan aku ketahui namamu Rosel, dan umurmu hampir enam puluh tahun. Aku suka teman yang tua, karena orang tua dapat menceritakan banyak hal kepada anak muda. Tentang kisah suksesnya. Meski aku lebih suka cerita tentang kegagalan. Aku tahu, tidak banyak orang yang menceritakan kegagalannya. Apabila ada seseorang bercerita tentang kegagalan, maka itu mungkin hanyalah satu dari banyak kasus.
“Aku seorang penulis,” begitu kamu bercerita tentang dirimu ketika kita pada akhirnya berada di salah satu pub di bagian tua Kota Riga.
“Kamu menulis apa?”
“Aku menulis buku-buku informasi, seperti perjalanan. Dulu aku seorang arkeolog. Tetapi sekarang aku sudah pensiun dari pekerjaan itu. Jadi aku hanya berjalan-jalan dan menulis buku.”
“Mengapa kamu menulis buku-buku seperti itu? Karena aku pikir buku seperti itu sekarang kurang diminati orang. Sekarang kan sudah ada google. Generasiku bisa bertanya apa saja pada google. Google itu seperti kakek bagiku.”
“Ya, itu betul. Dan tampaknya memang buku sudah tidak akan laku lagi. Dan mungkin toko-toko buku akan segera bangkrut. Pada awalnya dulu aku ingin menjadi penulis fiksi. Tetapi, belakangan aku sadari aku tidak cukup imajinatif untuk menjadi seorang penulis fiksi. Maka aku pilihlah menjadi seorang penulis buku informasi.”
“Tetapi kalau kamu mau kan belum terlambat untuk memulai menulis fiksi. Mungkin kamu tulis satu novel saja, tetapi kalau ia benar-benar berkualitas, maka namamu akan abadi.”
“Hahaha… kamu punya diksi yang bagus untuk urusan tulis-menulis. Apakah kamu juga seorang penulis?”
“Ya, aku ingin jadi penulis. Tetapi aku pikir itu bukanlah hal gampang. Mungkin jauh lebih gampang menjadi seorang sarjana daripada penulis yang baik.”
“Oke, cheers untuk karirmu sebagai penulis. Aku pikir kamu punya bakat itu. Cuma mungkin kamu harus mengasahnya terus.”
“Ya, aku harap begitu. Cheers.”
“Aku suka Balzam Latvia ini,” sambungku setelah bersulang. “Meskipun rasanya sangat kuat dan membuatku mau muntah ketika ia menyentuh lidahku, tetapi beberapa saat sesudahnya rasanya aku ingin satu shot yang lain. Ini kurang lebih seperti makanan pedas. Begitu kamu makan makanan-makanan pedas, maka meskipun kepedasan, agak susah untuk tidak benar-benar memakannya lagi.”
“Hahaha… perumpamaanmu lumayan bagus. Sayang sekali aku tidak tahu bagaimana caranya menikmati makanan pedas, jadi mungkin aku agak susah untuk menangkap idemu dengan baik. Tetapi, kamu tahu, biasanya orang Latvia minum Balzam dengan kopi. Kata mereka itu akan lebih enak. Dan Balzam juga bagus untuk kesehatan, karena dibuat entah dari berapa macam ramuan, aku kurang tahu.”
“Ah, whatever. Aku mau satu shot Absinthe, dan setelah itu kita pulang. Mungkin kita perlu bangun sedikit agak pagi besok karena aku pikir akan butuh waktu bagi kita untuk pergi ke Pantai Jūrmala.” Kataku sambil mengangkat tangan memberi isyarat pada pelayan pub.
“Hmm.. Absinthe? Mengapa kamu memilih Absinthe di antara sekian banyak jenis yang ada di sini?” tanyamu begitu pelayan pub pergi.
“Aku tidak tahu pasti. Tapi rasanya aku sangat suka Absinthe. Aku suka warnanya yang kehijauan. Dan aku kenal pertama kali dengan Absinthe melalui lukisan. Jadi ya, mungkin aku terprovokasi. Bukan hanya soal rasa, tetapi juga soal bagaimana aku tahu Absinthe pertama kali.”
“Ada cerita apa dengan Absinthe?”
Aku diam sejenak, karena kedatangan pelayan pub dengan dua gelas kecil Absinthe. “Kamu tahu Picasso? Tentu saja kamu tahu.”
“Ya, ada apa dengan Absinthe dan Picasso?”
“Picasso punya sebuah lukisan yang bagiku sangat bagus. Judulnya Absinthe drinker. Itu lukisan seorang gadis dengan Absinthe di atas meja. Aku suka warna lukisan itu yang cenderung gelap.”
“Oke, jadi mari bersulang untuk Picasso. Cheers.”
“Cheers.”
Malam berjalan tak terasa. Mungkin karena mabuk atau kecapekan. Aku sadar pada hari berikutnya ketika melihat sinar matahari sudah masuk melalui jendela kaca. Meskipun kamar ini hanya kecil dan berisi beberapa tempat tidur seperti barak, dia dapat menampung delapan orang. Ya, tidur di tempat seperti ini adalah rutinitas dari seorang pejalan dengan anggaran yang ketat. Tetapi orang menjalaninya dengan senang hati.
Begitu bangun, menggerak-gerakkan badan sebentar, ganti celana tidur dengan jeans, aku langsung pakai sepatu. Ini adalah salah satu kebiasaan aneh yang aku dapatkan setelah di Eropa. Hampir pada sepanjang hari pakai sepatu. Di Indonesia pakai sandal sudah cukup. Tetapi di Eropa kemana-mana pakai sepatu. Dan dalam perjalanan seperti ini aku lebih ekstrim lagi, bangun dan langsung pakai sepatu. Soalnya aku tidak bawa sandal, dan agak sungkan juga rasanya menginjak lantai dengan cuaca seperti di Riga. Jadi ke toilet juga pakai sepatu. Sikat gigi pakai sepatu. Mandi? Tidak usah. Itu cuma buang-buang waktu. Tak perlu. Dalam cuaca seperti ini mandi satu kali dalam tiga atau empat hari sudah cukup. Cukup bersihkan badan sekedarnya, dan kemudian semprotan sedikit parfum. Cukup.
Di dapur sudah ramai orang. Enaknya tempat seperti ini, selalu ada ruang-ruang sosial tempat untuk bertemu dengan orang baru. Karena rasanya memang hostel seperti ini hidupnya komunal. Kamar tidurnya beramai-ramai, dapurnya juga beramai-ramai. Kalau mau masak, bisa memakai dapur. Tentu saja bukan masakan yang terlalu serius. Tetapi kalau mau sarapan yang super cepat, tinggal makan apa yang ada di dalam kulkas. Dua potong roti bakar dengan selai buah serta segelas teh, cukup bagiku.
Selesai sarapan aku pergi ke bar hostel. Karena aku lihat banyak orang di sana. Dan ternyata, seperti yang aku duga, orang yang aku cari ada di sana.
“Kamu siap?” tanyamu.
“Ya, lima menit. Aku ambil tas ke kamar dan kita berangkat. Oke?”
“Oke.”
“Kamu bilang tadi malam kamu memiliki ketakutan dengan ketinggian,” katamu ketika kita sudah di dalam kereta menuju Pantai Jūrmala.
“Aku bilang padamu seperti itu?”
“Ya. Mungkin kamu mabuk tadi malam, jadi sekarang sudah lupa.”
“Hahaha… itulah salah satu sebabnya aku suka alkohol. Ya, entah kenapa aku punya acrophobia itu.”
“Tak usah khawatir, banyak orang seperti itu. Aku tahu sebuah menara di Pantai Jūrmala. Kita akan ke sana dan naik tangga sampai ke puncak.”
“Oh, aku takkan melakukan itu. Itu cari penyakit namanya.”
“Bukan. Tetapi kamu harus melawan ketakutanmu.”
“Ah, tidak perlu. Aku bisa menyimpan ketakutan itu dan membawanya bersama dalam hidupku. Aku percaya semua orang punya trauma dalam hidupnya dan selalu menyimpannya. Seperti lelaki yang selalu menggenggam luka.”
“Ya, itu betul. Tapi kamu juga bisa melihatnya dari sudut pandang yang berbeda. Melihat ketakutanmu sebagai tantangan. Kalau kamu menyimpan ketakutan, selamanya ia akan merongrong dari dalam. Dan sekali kamu melawannya maka kamu akan terbiasa, dan mungkin tak akan takut lagi menghadapi hal yang sama.”
Aku cuma diam mendengar kata-katamu. Di luar jendela aku lihat beberapa bangunan tua yang sudah retak-retak. Wajah Latvia yang aku suka. Terlihat berbeda dengan ibukota yang disolek. Sedikit keluar dari ibukota, negeri ini menampakkan wajah aslinya. Cuaca yang dingin dan berkabut di luar sana menambah abu-abu suasana.
Aku sadari bahwa gerbong kereta di Latvia ini sangat lebar. Dan menjadi terlihat lebih lebar karena tidak banyak orang di dalamnya. Entah mengapa mereka mendesain gerbong kereta selebar ini. Sebuah cerobong asap yang menjulang tinggi terlihat berlalu di balik jendela kaca. Sempat kulihat asap membuih keluar dari muncungnya di atas sana. Dalam hati aku berkata, ternyata hidup masih berjalan di negeri ini. Pemadangan-pemandangan dengan wajah abu-abu Latvia berganti-ganti di balik jendela. Rumah kayu dengan jendela kaca. Apartemen dengan kaca retak dan terlihat tanpa penghuni. Stasiun kereta kecil dengan satu dua penumpang yang naik kala kereta berhenti. Orang-orang terlihat memakai jaket. Belum terlalu tebal memang, kelihatannya baru dua atau tiga lapis. Mungkin di musim dingin mereka akan pakai baju empat atau lima lapis. Kereta terus melaju. Hingga akhirnya sampai di stasiun bernama Majori. Setidaknya itu nama yang aku lihat tertulis di papan nama di atas stasiun.
“Kita turun di sini,” katamu.
Dan aku cuma ikut saja. Sekitar tiga menit berikutnya kereta sudah berlalu. Aku baru sadar bahwa ternyata stasiun ini terletak di tepi sebuah danau. Tadinya pemandangan ke danau tertutup oleh kereta. Kabut terlihat memutih di atas air danau. Tidak sampai seratus meter jarak pandang. Aku kira. Air danau terlihat tenang, hampir tanpa gerakan. Tak ada angin tak ada perahu. Oh, susana ini bahkan akan sanggup membunuh sepi.
Aku hanya mengikuti langkahmu. Meski sudah tua, aku lihat kamu masih berjalan tegap. Kita berjalan melewati rumah-rumah tua yang kelihatan masih tertutup. Satu dua pelancong yang juga menuju Pantai Jūrmala di Teluk Riga terlihat berjalan. Tak terdengar banyak percakapan atau tawa. Dingin memang hampir membekukan segalanya. Aku tidak bisa membayangkan akan seperti apa tempat ini di musim dingin bersalju yang tak lama lagi akan datang.
“Itu dia menaranya,” katamu menunjuk ke kejauhan, “kamu siap?”
Dari balik pepohonan yang mulai meranggas dengan batangnya yang coklat, di ujung sana aku lihat sebuah menara berdiri.
“Kita bisa naik tangga sampai ke puncak.”
“Apa tidak ada lift di sana?”
“Hahahaha… kamu ini benar-benar mau mudahnya saja. Naik tangga adalah bagian dari tantangan itu. Bagus buat kita. Membakar kalori tubuh di cuaca dingin.”
Oke. Aku akan coba, batinku. Tetapi aku tidak mau melihat puncak menara. Aku cuma akan naik naik dan naik tangga.
“Santai saja dan nikmati,” katamu.
Aku cuma diam. Kita berjalan berjejeran di atas jalan yang disemen dengan warna merah tua. Hutan kecil ini sebenarnya cukup bagus. Di salah satu sudut aku lihat sebuah taman bermain. Ada ayunan, titian keseimbangan, dan beberapa jenis tempat bermain lainnya. Warna yang cerah merah hijau kuning sangat kontras dengan lanskap sekitar yang berwarna coklat didominasi oleh batang-batang pohon yang mulai meranggas dan dedaunan yang sudah gugur di atas tanah.
“Selamat berjuang. Lawan ketakutanmu anak muda!” katamu memotivasi ketika kita mulai naik tangga. Kamu di depan dan aku di belakang.
Baru satu set tangga dan akan berbelok ke tangga berikutnya, aku sudah mulai gemetar. Bah! Mungkin karena tahu sedang dalam ujian, membuatku malah lebih tertekan. Oke, aku akan sampai di puncak, batinku ketika berbelok ke tangga kedua. Aku memilih berjalan di sisi kanan tangga karena tangga selalu berbelok ke kanan. Dengan demikian aku tidak berada di tepi menara, tetapi di bagian tengahnya. Pelan aku pastikan langkah sambil terus berpegang ke besi pegangan di pinggir tangga. Besi itu putih. Mengkilat. Dan dingin. Aku rasakan telapak tanganku yang tanpa sarung mulai kedinginan. Dalam hati sedikit menyesal mengapa tidak mempersiapkan sarung tangan sebelumnya. Tapi penyesalan itu datang terlambat. Sekarang aku harus berjuang dengan apa yang aku punya. Naik terus.
“Jangan melihat ke bawah terus, nanti kamu bisa semakin ketakutan,” aku dengar suaramu dari atas sana. Aku lihat ke atas. Karena tangga dibuat dari jejaring baja, maka aku bisa melihat bahwa kamu sudah beberapa putaran di atasku. Dan aku juga bisa melihat ke bawah, langsung ke dasar menara. Bangsat desainer menara ini. Mengapa dia tidak merancang anak tangga dari plat baja yang padat? Mengapa harus jejaring baja? Apa dia memang berniat iseng terhadap orang-orang yang takut ketinggian seperti aku? Oke, tak ada waktu untuk mengutukinya.
Entah sudah berapa putaran tangga. Aku naik terus. Telapak tangan terasa semakin dingin. Terutama karena aku terus-terusan berpegangan pada besi putih pegangan di samping kanan. Sekali waktu aku lihat ke luar, sekarang di kejauhan sudah terlihat Teluk Riga yang merupakan bagian dari Laut Baltik. Itu artinya aku sudah lebih tinggi sekarang dari pepohonan. Sekilas aku lihat pucuk-pucuk pohon yang meranggas. Hampir saja aku teruskan pandanganku ke bawah. Tidak. Lihat ke atas saja.
Setelah beberapa putaran, aku berhenti sejenak. Memandang ke kejauhan Laut Baltik. Beruntung kabut mulai berkurang jadi jarak pandang lumayan jauh. Tak satupun kulihat kapal di sana. Bah, laut macam apa ini?
“Ayo, teruskan. Jangan kalah sama orang tua sepertiku,” aku dengar suara dari atas sana.
Aku lihat ke atas, dari balik tangga baja yang menjeruji aku lihat kamu tersenyum. Sekarang senyummu terlihat berbeda. Satu kali terlihat memotivasi. Lain kali terlihat mengejek. Kurang ajar juga orang tua satu ini, batinku. Oke, aku takkan menyerah.
Tiupan angin mulai terasa, tetapi aku rasakan dengan pasti keningku berkeringat. Mungkin karena aktivitas tubuh atau juga karena ketakutan. Atau karena dua-duanya. Dingin di tangan sudah tak terasa. Langkah terasa semakin berat. Kini aku mulai menyesali mengapa aku datang dengan sepatu hampir seberat satu kilogram ini. Coba kalau sepatu yang lebih ringan, mungkin bebanku tidak akan seberat ini. Tetapi, lagi-lagi tidak ada waktu untuk menyesal. Aku lihat ke atas, sekilas sepertinya aku sudah akan segera sampai di puncak menara. Pada saat yang sama aku mulai merasa pusing. Mungkin karena gerakan naik tangga yang terus berputar di satu sumbu pusat. Apa boleh buat, sekarang mata harus dipejamkan sejenak.
“Ayo, minum sedikit lagi semuanya akan beres,” tiba-tiba aku dikejutkan suara asing persis di hadapanku. Aku buka mata. Ada orang lain yang bergerak turun. Bukan cuma kita berdua di menara ini ternyata.
“Terima kasih,” jawabku pendek sambil tersenyum. Orang itu juga tersenyum dan membuat gerakan seperti bertepuk tangan tetapi dalam irama yang sangat cepat. Dan diapun berlalu ke arah yang berlawanan.
Kepalaku terasa semakin pusing. Dan dunia mulai berputar. Tak ada jalan lain, aku harus duduk di tangga sekarang. Naik atau turun tampaknya sama saja, efeknya paling cuma rasa pusing yang akan semakin sangat. Hampir lima menit aku memejamkan mata.
“Aku mau turun saja, sudah cukup,” teriakku ke arah atas.
“Hahaha.. kau ini anak muda. Kamu telah memulainya. Jangan tinggalkan sesuatu terbengkalai dalam hidupmu,” aku dengar balasan. Kali ini aku tak melihat ke atas atau ke bawah. Cuma terus memejamkan mata. Karena lama duduk, aku mulai merasa kedinginan.
“Aku kedinginan. Aku bisa mati di atas sana.”
“Kamu cuma butuh lima putaran lagi untuk mencapai puncak.”
“Lima putaran itu sangat banyak.”
“Terserah. Tetapi penting mungkin aku katakan padamu. Dulu aku mengawali jadi penulis fiksi. Tetapi aku tidak melanjutkannya. Aku tidak menuntaskan pekerjaan yang sudah aku awali. Akhirnya aku sekarang berakhir begini, menjadi penulis buku-buku sampah.”
“Jangan bilang begitu. Apa yang kamu tulis itu bukan sampah. Toh buku-buku informasi juga ada gunanya.”
“Hahaha…, kita sama-sama tahu kalau kamu cuma basa-basi.”
Aku diam. Benar juga dia, karena tadinya aku mengatakan itu untuk membesarkan hatinya.
“Ya, memang mungkin ini tidak ada hubungannya dengan kehidupanmu nanti. Ya, cuma naik menara dan melawan ketakutanmu. Kamu bebas memilih. Mau kembali turun atau teruskan naik. Toh, dalam segala hal pada akhirnya kamu harus memilih.”
Dalam dingin tiba-tiba sebuah potongan memori datang dengan jelas di dalam kepalaku. Masa kecil di kampung di Bukit Barisan sana. Segerombolan anak-anak sedang memanjat pohon. Hanya seorang anak kecil yang tidak memanjat pohon dan melihat dari bawah.
“Ayo naik,” begitu teriakan dari atas pohon.
“Tidak. Aku di bawah saja.”
“Kamu harus naik. Nanti bagaimana kalau datang babi hutan yang mengamuk? Dia bisa menyerangmu.”
“Aku bisa lari berbelok-belok. Babi hutan kan cuma bisa berlari lurus.”
“Ayolah. Coba sekali. Pohon yang banyak cabangnya lebih mudah.”
“Lalu, bagaimana?” Tiba-tiba suara dari atas membuyarkan layar memori dari dalam kepala.
“Oke, aku datang!” sahutku.
Aku langsung membuka mata dan berdiri. Menatap ke atas. Sekarang aku dapat melihat puncak menara. Dengan berpegang ke besi putih pegangan aku terus bergerak berputar. Sekarang aku bisa mendengar gelombang lemah Laut Baltik. Sangat lemah. Sayup-sayup hinggap di telinga.
“Ayo, tinggal dua putaran lagi,’ kembali aku dengar suara dari atas. Kali ini semakin keras, mungkin karena jaraknya semakin dekat.
“Ya, aku tahu. Jangan teriak-teriak lagi. Diam saja.”
Dan aku terus bergerak. Dingin, suara gelombang, lutut gemetar, sepotong imaji masa kecil di tengah hutan tropis Bukit Barisan, sekarang semuanya bercampur aduk tak tentu. Aku terus bergerak. Ya, tak ada yang bisa menghentikanku sekarang, batinku. Tidak ketakutan. Tidak dingin. Tidak suara lemah gelombang Laut Baltik. Tidak gemetar. Dan tidak bayang-bayang masa lalu. Tidak. Aku terus merengsek naik. Tak peduli dengan putaran dan semua.
Hingga akhirnya samar aku lihat bayangan seseorang berdiri di depanku dengan latar belakang Laut Baltik yang memutih di kejauhan sana. Aku merasa hangat. Orang itu memelukku.
“Selamat. Kamu berhasil melawan ketakutanmu sendiri.”
Aku hanya diam. Masih dalam tatapan yang nanar aku tersenyum. Suara gelombang itu sekarang, meski perlahan, terdengar sangat jelas.
Leuven, November 2011