KEULETAN SEORANG PEREMPUAN DI RUMAH MAKAN
Oleh Hirmaningsih Rivai
Medan, 19 Februari 2012
Sebenarnya ini kisah lama, sebuah kisah yang ku dapatkan sewaktu perjalanan mengitari Sumatera Utara di ujung tahun 2010 yang lalu. Beberapa orang teman datang dari Pekanbaru untuk berwisata mengitari Sumatera Utara. Berkaitan dengan keterbatasan waktu, maka kami membuat rencana tempat-tempat apa saja yang dikunjungi beserta urutannya. Tentunya tidak semua tempat yang kami kunjungi, sehingga tempat-tempat yang akan didatangi haruslah disepakati oleh semua orang.
Ada satu tempat yang sangat ingin kami datangi yaitu Hill Park di Sibolangit. Disana ada aneka permainan yang penuh tantangan. Kami berangkat dari Medan Shubuh sekali sehingga ketika sampai di sana, Hill Park belum buka. Kami melanjutkan perjalanan ke air terjun Si Piso-Piso di desa Sitongging. Air dari air terjun ini akan mengalir ke Danau Toba. Jalan menuju ke air terjun merupakan jalan setapak menurun seperti anak tangga dan sangat curam. Butuh satu jam lebih untuk turun dan 1,5 jam lebih lagi untuk naik kembali. Kami pun terengah-engah, lebih tepatnya saya deh yang kepoyoh-poyoh. Setelah makan siang, kami pergi mandi di pemandian air panas Sibayak. Tentunya selama perjalanan kami berhenti untuk foto-foto di setiap tempat yang indah dan juga makan jagung di daerah Brastagi. Perjalanan pulang ke Medan, kami singgah lagi ke Sibolangit ternyata Hill Parknya sudah keburu tutup. Kami memang selalu kembali ke Medan, karena teman-teman maunya menginap di Medan. Jadi perjalanan selalu dimulai Shubuh.
Teman-teman masih penasaran dengan Hill Park. Padahal esok hari agendanya adalah ke Prapat ke Danau Toba melalui Siantar. Dalam perjalanan ke Medan kami berembug dan memutuskan malam ini ke Prapat melalui Siantar. Kami berharap pagi sudah menikmati Danau Toba dan ke Pulau Samosir. Siang harus balik ke Sibolangit melalui jalan Brastagi. Kebetulan sopir dari mobil yang kami sewa mengetahui ke dua rute jalan yang berbeda itu. Jadi pukul 22.00 malam kami meluncur ke Prapat. Sampai sekitar pukul 2.30 dini hari. Istirahat di penginapan yang murah namun bersih. Pagi kami sarapan dan mencari kapal yang ke Samosir. Sayangnya kapalnya tidak kunjung penuh sehingga sejam lebih kapalnya mondar-madir mencari penumpang. Target waktu jadi berantakan. Di Pulau Samosir hanya sebentar. Di kapal kami memutuskan akan memesan nasi kotak saja agar bisa makan di mobil. Hal ini untuk menghemat waktu dan mengejar agar bisa sampai sebelum Hill Park tutup. Ketika kami sampaikan ke Pak Sopir, ia menyatakan ok pada rencana kami dan belumlah terlalu lapar.
Kami singgah ke sebuah rumah makan melayu di Prapat. Memesan nasi kotak untuk 7 orang. Anak muda yang melayani kami memanggil seorang bapak yang relative masih muda juga, mungkin sekitar usia 40 tahunan. Anak muda tersebut menyampaikan ke si Bapak bahwa kami pesan makanan yang dikotak. Si Bapak serta merta mengatakan tidak bisa. Bisanya cuma dibungkus saja. Saya mengatakan cuma untuk 7 orang, karena kami mau makan di mobil. Jika dibungkus maka akan sulit menyantapnya. Bapak itu tetap menggelengkan kepalanya dan mengacuhkan kami. Saya mengucapkan terimakasih dan mengatakan: “Maaf tidak jadi.” Tiba-tiba seorang Ibu yang usianya relative sama dengan si Bapak yang sebelumnya melayani pembeli yang lain menghampiri dan menanyakan ke keperlunya berapa kotak. Ketika di jawab cuma 7 kotak, ia tersenyum sembari berkata oh cuma 7 kotak saja ya. Ia mengatakan maukah kami menunggu sebentar. Lalu ia bergegas masuk ke ruangan lain mengambil kertas bahan untuk pembuat kotak, meminta orang yang pertama melayani kami merangkai kotak itu, lalu mengisi kotak tersebut sesuai dengan pesanan kami. Si Bapak yang tadi langsung pergi dari hadapan kami dan cuek saja. Nampaknya si Ibu yang ramah dan gesit tadi adalah istrinya.
Di mobil kami memperbincangkan perilaku si Bapak dan si Ibu tadi. Rumah makannya memang cukup besar, rapi bersih dan ramai. Si Ibu memperlakukan si pembeli dengan ramah, berusaha memenuhi kebutuhan pembeli walaupun cuma 7 kotak. Bahkan menyarankan pilihan lauk dan sayur yang mudah untuk disantap selama perjalanan. Memang situasi saat itu sedang ramai sekali. Mungkin bagi si Bapak kehilangan 7 kotak pesanan tidak menjadi masalah. Bagi si Ibu mungkin setiap pembeli adalah rezeki buatnya. Entahlah. Kami hanya merasa si Ibu lebih gesit dan bersungguh-sungguh dalam usahanya. Bahkan salah satu teman perjalananku berujar, mungkin usaha mereka maju dan berhasil lebih karena sikap dan keuletan istrinya. Bisa Jadi.