Tomomi
Ia gadis Jepang pertama dan satu-satunya yang pernah membuat aku jatuh cinta. Sejak pertama kali bertemu aku menyukainya. Dia guru bahasa Jepang ku waktu aku belajar di Kuala Lumpur. Saat itu ia masih mahasiswi di Universitas Yokohama, mengambil cuti setahun untuk menjadi guru pada program yang aku ikuti.
Waktu masuk ke kelas ia terlihat sangat canggung, mungkin grogi. Kami murid-muridnya, laki-laki dan lebih tua dari dia. Ini pengalaman pertama dia mengajar. Patutlah bila ia merasa grogi. Sikapnya yanag canggung itu justru membuatnya makin tambah menarik.
Beberapa murid jelas terlihat naksir dia. Tapi tak ada yang berani mendekat. Pada program kami kebetulan ada pelajaran bahasa Melayu dan bahasa Inggris yang tak perlu aku ikuti. Pelajaran bahasa Melayu jelas tidak perlu. Aku satu-satunya yang diperkenankan untuk tidak ikut. “Kalau kau ikut, kau akan mengacau saja.” kata Cik Gu yang mengajar. Adapun bahasa Inggris, aku dan beberapa pelajar yang sudah baik bahasa Inggrisnya tidak perlu ikut. Hanya pelajar yang berasal dari Myanmar, Kamboja, dan Vietnam yang ikut. Dua jam pelajaran seminggu yang kosong ini sering aku manfaatkan untuk mendekati Tomomi.
Aku minta dia memberi pelajaran tambahan dengan alasan aku masih banyak tertinggal. Dia setuju. Kami berdua “belajar” di student lounge sambil mendengarkan musik klasik. Tapi pelajaran privat ini kemudian lebih sering jadi ajang ngobrol. Sebabnya?
“You don’t really need extra lesson. Actually you learn much better than othe students.” komentar Tomomi setelah beberapa kali kami berduaan.
“I’m glad you understand that.” jawabku sambil ketawa ngakak.
Dia tidak keberatan menghabiskan waktunya ngobrol denganku. “You are very smart.” katanya memujiku beberapa kali.
Tapi rasa suka ku pada Tomomi akhirnya harus aku bunuh. Dalam suatu trip santai ke Trengganu yang tadinya aku organisir (waktu itu aku ditunjuk sebagai Student Chairman), saat makan malam aku lihat Tomomi memesan bir. Aku shock. Tidak mungkin gadis pujaanku minum bir! Tidak mungkin aku mencintai dia. Kami terlalu berbeda. Tembok yang memisahkan kami terlalu tinggi. Malam itu juga aku putuskan untuk pergi. Pagi-pagi aku minta diantar sopir pergi ke airport, pulang sendirian dari Trengganu ke Kuala Lumpur. Anak-anak lain melanjutkan trip dengan mobil.
Tomomi sangat terkejut dengan tingkahku. Ketika kembali ke Kuala Lumpur ia menanyakan sikapku. Aku jelaskan sebabnya.
“What is wrong with beer? I drink beer, and I frequently drink beer with my father.” katanya.
“May be there is nothing wrong. Just we are so different.”
Dia tampak sedih. “I’m sorry.” katanya.
“It is not your foul.” jawabku.
Masa-masa berikutnya adalah masa-masa menyakitkan. Aku berusaha sangat keras untuk melupakan Tomomi. Tapi itu sungguh mustahil, karena aku bertemu dia di kelas setiap hari. Berbulan-bulan aku perlukan untuk menyembuhkan luka itu.