Uematsu Sensei
Hasanudin Abdurakhman
Ketika aku pertama kali bertemu dengannya, aku bahkan tak mengenalnya sebagai orang Jepang. Aku kira dia orang Cina Malaysia. Waktu itu aku baru saja tiba di Kuala Lumpur, dan masuk ke dormitory yang akan aku tempati selama setahun ke depan. Rupanya ada kelambatan dalam persiapan dormitory sehingga saat aku masuk mereka masih harus membenahi banyak hal. Beliau hadir bersama seorang perempuan yang aku duga adalah istrinya. Dia memantau dan memberi saran untuk ini dan itu. Jadi aku langsung mengira dia adalah pengusaha Cina yang memasok barang-barang kebutuhan untuk dormitory kami.
Malam hari ketika aku menghadiri jamuan makan malam penyambutan, barulah aku tahu bahwa dia adalah calon guru bahasa Jepangku. Ia akan mengajar dalam program yang akan aku ikuti selama setahun ke depan. Hal pertama yang dia ajarkan kepadaku adalah cara memanggil orang dalam budaya Jepang. Kami saling memperkenalkan diri dalam bahasa Inggris.
“What’s your name?”
“My name is Hasan, I’m from Indonesia.”
“I’m Uematsu.”
“Oh, Uematsu san….”
“No. Uematsu Sensei. You have to call me sensei, because I’m your teacher.”
Aku mengira setiap orang Jepang dipanggil san di belakang namanya. Baru tahu aku bahwa ada panggilan lain.
Kejadian itu aku alami saat baru bergabung dalam Asian Youth Fellowship (AYF) Program. Ini adalah program beasiswa untuk kuliah S2-S3 ke Jepang. Program ini ditujukan untuk mahasiswa dari 11 negara ASEAN ditambah Bangladesh. Setiap Negara diberi jatah dua mahasiswa, tapi ketika program ini dimulai tahun 1996 hanya dapat dilakukan seleksi di enam negara, dan dari Indonesia waktu itu hanya aku sendiri yang lolos. Jadi jumlah pesertanya hanya 11 orang.
Program beasiswa untuk kuliah ke Jepang biasanya diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan Jepang (Monbusho). Sebenarnya AYF juga begitu, kami para pesertanya akan kuliah dengan beasiswa Monbusho. Bedanya dengan program Monbusho biasa, kepada kami diberikan program tambahan berupa pelatihan bahasa Jepang intensif selama setahun. Pelatihannya pun tidak dilaksanakan di Jepang, tapi di Kuala Lumpur. Penyelenggara program bekerja sama dengan lembaga pendidikan lokal, yaitu Yayasan Pelajaran Mara yang menyediakan fasilitas tempat belajar.
Pagi hari, kami berkumpul di kelas, berpakain rapi, lengkap dengan dasi. Memakai dasi adalah salah satu aturan yang ditetapkan pihak sekolah. Sensei masuk, memulai pelajaran pertama. Aku mengira dia akan menjelaskan panjang lebar tata bahasa Jepang dalam bahasa Inggris. Tapi itu tidak terjadi. Ia menghampiri salah seorang murid.
“Watashi…. Anata…..” katanya. Saat menyebut “watashi” ia menunjuk ke dirinya, dan saat ia mengatakan “anata” ia menunjuk ke murid. Lalu ia minta murid mengulangi. Setiap murid mendapat giliran. Dengan cara itu ia mengajarkan bahwa “watashi” itu artinya saya, dan “anata” artinya kamu.
Selanjutnya ia mulai mengajari kami menyusun kalimat. “Watashi wa Uematsu desu. Anata wa dare desuka.” Kami menjawab sesuai nama kami masing-masing. “Watashi wa Hasan desu.” Satu jam berlalu, kami asyik mengulangi contoh-contoh kalimat Sensei. Dalam satu jam itu kami sudah bisa membuat satu dua kalimat perkenalan. Ya, dalam satu jam itu kami sudah mulai berbicara dalam bahasa Jepang! Sensei tidak mengajari kami tata bahasa, tapi mengajari kami berbicara.
Ada dua orang guru lain yang mengajar kami, keduanya perempuan. Satu orang berumur sekitar 30 tahun, berasal dari sekolah bahasa Jepang yang sama dengan Uematsu Sensei, namanya Adachi. Satu lagi masih sangat muda, berumur 23 tahun. Dia mahasiswa S2 bidang Pendidikan Bahasa Jepang di Yokohama National University, ikut mengajar di program itu sebagai bagian dari kerja praktek. Namanya Kohata. Setiap hari kami belajar dalam enam jam pelajaran, artinya kami akan bertemu dengan setiap sensei selama dua jam. Masing-masing punya keunikan tersendiri.
Uematsu Sensei kami pandang sebagai sosok yang kami segani. Berumur sekitar 50 tahun lebih, ia tampak matang sebagai seorang guru. Pada kelas Adachi Sensei kami agak lebih santai, karena dia masih muda. Sedangkan Kohata Sensei, umurnya lebih muda dari kami semua, dan dia cantik.
Namun kesan angker pada Uematsu Sensei segera sirna. Suatu hari di kelas Adachi Sensei seorang murid agak nakal membuat contoh kalimat. “Uematsu Sensei wa omoi desu.” (Uematsu Sensei itu berat). Dengan keterbatasan kosa kata ia hendak meledek, bahwa Uematsu Sensei itu gendut. Kami sekelas tertawa. Jam pelajaran berikutnya giliran Uematsu Sensei. Ia mulai dengan menirukan kalimat tadi. Rupanya Adachi Sensei melaporkan kelucuan pada kelas sebelumnya. Kami sempat mengira Uematsu Sensei akan marah. Tapi kemudian ia tertawa terbahak-bahak. Itu adalah momen yang mencairkan hubungan kami dengannya.
Suatu hari di kelas dia bertanya, “Do you like wearing necktie?” Semua murid menggeleng. “Then, take it off.” Ia mulai dari dirinya sendiri, melepas dasi. Kami semua menirunya. Sekal itu aturan di kelas kami berubah, kami tak perlu lagi pakai dasi.
Seminggu berjalan, pelajaran mulai terasa sulit. Banyak kata-kata baru yang harus dihafal. Hiragana dan katakana juga harus diingat. Beberapa murid mulai keteteran, termasuk aku. Satu dua murid rupanya pernah belajar bahasa Jepang sebelumnya. Ada yang kursus 3 bulan, bahkan ada yang pernah berkunjung ke Jepang selama beberapa minggu. Mereka mendominasi kelas, dan aku merasa tertinggal. Kudatangi Uematsu Sensei di ruang guru, untuk protes.
“You’re going too fast, I can’t follow you. Please slow down.”
“OK, OK.” jawabnya sambil tertawa. Ia terlihat tak serius menanggapi protesku.
“Some students has started learning Japanese before entering this program. You have to consider this, so you don’t make them benchmark for the progress of the class.” lanjutku.
“You worry too much. Calm down.” jawab Uematsu Sensei.
Aku keluar kelas dengan dongkol karena merasa protesku tak ditanggapi serius. Tapi dia benar. Seminggu kemudian, saat aku mulai menguasai cara membaca dan menulis hiragana dan katakana, aku tak lagi ketinggalan. Pelajaran selama tiga bulan yang pernah ditempuh oleh beberapa murid ternyata bisa kami lewati dalam waktu kurang dari dua minggu. Kini aku yang mulai mendominasi kelas. Nilai-nilai tes harian dan mingguanku selalu teratas. Dan aku juga paling aktif berbicara di kelas.
Di sebelah ruang kelas ada student lounge. Kami biasa duduk di situ saat istirahat. Ada satu set pemutar CD, TV, dan pemutar video. Sensei menyediakan banyak CD musik klasik dari berbagai komposer. Aku suka memutar CD itu, menikmati musiknya di sela-sela jam pelajaran. Sesekali Sensei ikut bergabung duduk di situ.
“Suki desuka?” tanyanya dalam bahasa Jepang.
“Hai, suki desu. Kirei desune.”
“Soudesuyo. Kurasiku wa kirei desu.”
Meski dengan kosa kata yang terbatas, Sensei selalu meladeni kami dalam bahasa Jepang. Ia tak lagi mau berkomunikasi dalam bahasa Inggris. Uniknya, ia selalu bisa mengungkapkan hal-hal yang sulit dengan kosa kata sederhana.
Semakin hari beban pelajaran makin tambah berat, khususnya bagi beberapa murid. Ada yang mulai tampak stress. Di kelas juga mulai terlihat kesenjangan. Aku berada di depan, selalu paling dulu paham pelajaran baru. Kemudian di bawahku ada mahasiswa Filipina, Bangladesh, dan Vietnam yang cukup baik penguasaannya. Lalu di bawahnya ada satu mahasiswa Vietnam, dan dua dari Kamboja yang selalu terlihat keteteran. Bukannya mengendorkan tekanan, Sensei justru menambahnya. Ia memberi banyak sekali PR. Kami harus menuliskan berbagai pola kalimat. Itu harus dikerjakan malam hari. Sangat melelahkan. Aku lagi-lagi protes.
“PR terlalu banyak. Saya tidak perlu 10 kalimat untuk memahami satu pola kalimat. 5 kalimat sudah cukup.”
“OK, kalau begitu kamu cukup kerjakan separuhnya.” jawab Sensei santai.
Untuk mengurangi ketegangan, Sensei menyuruh kami pergi. Sebagai ketua kelas (aku dipilih karena aku satu-satunya yang paham bahasa Melayu) aku diminta mengatur perjalanan keluar kota. Memakai mobil milik sekolah kami dan dua guru perempuan pergi ke kota-kota di sekitar Kuala Lumpur untuk rekreasi. Pernah pula kami adakan pertandingan ping pong. Saat ada yang ulang tahun, kami selenggarakan pesta kecil. Semua itu selain untuk keakraban, juga untuk mengurangi beban stress. Sensei juga pernah berpeluh-peluh memberi pijatan refleksi kepada setiap muridnya.
Tujuh bulan berlalu, kami tiba di akhir tahun, di mana kami harus ikut ujian Japanese Language Proficiency Test Level 2. Pelajaran di kelas separuhnya sudah berisi berbagai latihan soal. Semua tegang, khawatir tidak lulus. Ancamannya, kalau tidak lulus tidak boleh pergi ke Jepang. Hari yang kami khawatirkan itu akhirnya tiba. Diantar 3 sensei kami pergi tes. Setelah itu kami kembali belajar, meneruskan sisa program yang masih tersisa selama 3 bulan.
Dalam masa itu diselenggarakan lomba pidato bahasa Jepang tingkat nasional Malaysia. Sensei menawarkan kepada kami untuk ikut. “Kalian tidak akan diikutkan dalam pertandingan karena ini khusus untuk warga Malaysia. Kalian hanya akan ikut sebagai peserta tamu.” Aku bersama mahasiswa dari Vietnam mengajukan diri untuk ikut serta. Aku memilih topik tentang kamera, yang waktu itu baru kubeli. Sensei membimbing kami menulis naskah pidato.
Ketika membaca naskah pidatoku pada kalimat pertama, Sensei sangat terkesan. Tapi kemudian ia mencibir. “Kalimat pertamamu sungguh alami. Tapi pada kalimat selanjutnya, kamu sudah berlagak macam dosen yang serba tahu, dan menganggap pendengarmu tak tahu apa-apa.”
Lalu Sensei membimbingku menuliskan pidato dalam bahasa sederhana, dengan aliran alami, tapi bermakna dalam. Dengan menjadikan kamera sebagai simbol, aku menceritakan keadaan kami peserta program AYF, datang dari berbagai latar belakang, dengan minat yang berbeda-beda, tapi berkumpul untuk suatu tujuan. Ketika judul pidatoku disampaikan oleh MC di acara lomba, sebagian orang tertawa mendengarnya. Judul pidatoku terdengar sangat kanak-kanak. “Watashi wa atarashii kamera wo kaimashita.” Saya membeli kamera baru.
Aku ingat betul. Para juri, yang salah satunya adalah Direktur Japan Foundation Kuala Lumpur, mendengar pidatoku dengan seksama. Dan aku lihat ia seperti terpesona pada kalimat di akhir pidatoku, yang merupakan penegasan dari keseluruhan simbol yang hendak kusampaikan. Setelah itu dia bertanya panjang, dalam bahasa yang sudah tak lagi bisa kupahami. Kurasa ia sudah salah mengira bahwa bahasa Jepangku sudah sangat mahir. Padahal untuk peserta sebelumnya kudengar pertanyaan yang diajukan sangat sederhana. Kulihat di belakang Sensei menepok jidatnya. Walhasil, pembawa acara harus menerjemahkan pertanyaan untukku ke dalam bahasa yang lebih sederhana.
Menjelang akhir program hasil tes diumumkan. Dari sebelas peserta di kelas kami, hanya dua yang lulus. Aku dengan nilai tertinggi, dan mahasiswa Bangladesh di bawahku. Kami semua tegang. Bayangan kegagalan berangkat ke Jepang menghantui semua yang tak lulus. Tapi Sensei menghibur kami.
Ia menulis evaluasi panjang lebar, dia kirim ke Japan Foundation dan Kementerian Luar Negeri yang menjadi penanggung jawab program. Ia dengan tegas mengatakan bahwa kegagalan kami adalah wajar, karena waktu yang tersedia sangat sempit. Kelulusan dua peserta bagi Sensei adalah pencapaian luar biasa. Akhirnya penyelenggara bersikap lunak. Kami semua boleh berangkat ke Jepang!
Saat lulus dari program, aku sudah berencana menikah, sebelum berangkat ke Jepang. Sebagai kata perpisahan, Sensei menulis pesan di belakang ijazahku.
“人間は一人で生まれ、一人で死ぬ。だからこそ生きているときには二人で。ご結婚おめでとうございます。“
“Manusia itu lahir sendirian, dan mati sendirian. Karena itu selama hidup harus berdua. Selamat atas pernikahanmu.”
Terkahir kali aku bertemu Sensei, saat aku sudah lulus doktor. Sengaja aku mampir ke Kuala Lumpur untuk mengunjungi peserta AYF, memberi kuliah untuk menyemangati mereka. Sensei saat itu sudah tidak mengajar di program itu. Ia menjadi guru di University of Malaya. Malam hari ia mengundnagku makan. Kami berbincang lama.