Mencandra nama-nama
Wahyu W. Basjir
Aku lupa apa rujukannya, tetapi pada masa kanak-kanak aku diajari oleh guru ngajiku bahwa nama seorang anak adalah ungkapan doa orang tuanya. Dan memberi nama yang baik adalah kewajiban orang tua kepada anak-anaknya. Maka, muncullah berbagai nama yang mengesankan kegagahan, kecantikan, tampanan, kecerdikan, kebijaksanaan, kemakmuran dan sebagainya.
Aku dan istriku memberi nama anak sulung kami Aulia Fatima, dengan harapan pada saatnya nanti dia bisa menjadi perempuan yang cendekia dan bijaksana. Sahabatku Awalil Rizky memberi nama anak keduanya Muhammad Imam Adli. Katanya, ia ingin anaknya menjadi pemimpin yang adil seperti Muhammad. Selain itu, di antara kita terdapat nama-nama seperti Sulastama Raharja, Hasanudin Abdurakhman, Muzdalifah Laily, Yassir Suhari Abbas, Bambang Nurcahyadi, dan berbagai nama lain yang bermakna harapan penuh kebaikan.
Apakah semua orang tua memberikan nama kepada anaknya dengan niat mendoakan kebaikan? Apakah setiap doa orang tua untuk anaknya melahirkan nama yang baik?
Aku sendiri tidak tahu apakah ayah dan ibuku menyematkan doa khusus pada namaku. Yang pasti, aku sendiri tidak pernah menanyakan arti dan apa doa yang mereka rapalkan melalui namaku itu. Cuma, aku merasa namaku tidak terlalu jelek saat diucapkan maupun didengar. Setidaknya itu yang aku fikirkan saat aku menyimak nama kawan-kawan di masa kecilku seperti Sutarman, Samingan, Ngadiyah, Miskam, Tumihar, Sutimah, Subera, Sawiyah, Ngadiyah, Sulasmi, Musringah, Likun, Turyan, Sumingal, Sukardal dan sebagainya yang kebanyakan hanya punya satu kata dengan tiga suku kata.
Itu yang dulu aku rasakan. Sekarang, di antara ribuan teman –sebagian besar hanya kuketahui namanya– namaku terdengar sangat biasa. Apapun doa yang dirapal orang tua mereka, bagiku nama-nama seperti Irvan Kristanto, Dwi Nastiti Arumsari, Bintang Wisnuwardhani atau Destina Kawanti, terdengar lebih keren daripada namaku. Tapi sudahlah, namaku tidak jelek-jelek amat. Apes-apesnya, namaku bisa jadi bahan guyonan kalau dipleset-plesetkan.
Di antara nama-nama keren mereka, ada satu nama yang akan kupilih kalau saja aku ingin mengganti namaku. Meskipun tidak tahu arti persisnya, nama ini menurutku sangat puitis; Afnan Malay. Sekian belas tahun silam, pemilik nama itu bilang kalau Afnan berarti lukisan yang indah. Tetapi aku tidak tahu apa arti kata Malay yang ada di belakangnya. Seingatku, Malay berarti orang melayu.
Selain Afnan Malay, ada nama yang menurutku sangat indah dan puitis; Arum Kusumaningtyas. Arum berarti harum, wangi, semerbak. Sedangkan Kusumaningtyas adalah paduan dari kusuma (bunga), ing (dalam, atau kata ganti kepemilikan-possesive pronoun) dan tyas (hati, fikiran, perasaan). Secara utuh Arum Kusumaningtyas berarti “bunga hati yang harum semerbak”.
Ada juga nama Clara Hapsary, yang juga indah. Clara, yang kukira berasal dari bahasa Perancis (claire, cler), Inggris (clear) atau Latin (clarus) yang berarti cantik, jernih, terang, bersih. Sedangkan Hapsary adalah bahasa jawa kawi untuk kata bidadari. Jadi, kukira orang tuanya berharap ia tumbuh menjadi Bidadari yang Cantik.
Untuk semua nama indah dan bagus milik teman-teman yang kusadari betapa indah maknanya, aku melafalkan, “Amin.”
::
Kuketahui dari penggalan pengalaman masa kecil, ada persepsi mengenai kepantasan dan kepatutan sebuah nama bagi seseorang. Di masyarakat Jawa, seseorang bisa dianggap mengalami musibah atau keadaan yang tidak mudah karena namanya. Kabotan jeneng, itu istilah untuk seorang anak dengan nama yang secara umum dinilai bagus tetapi sering sakit-sakitan. Pada kasus seperti ini, orang tua si anak kadang memutuskan untuk mengganti nama anaknya, agar tidak sakit-sakitan karena tidak kuat menyandang namanya sendiri.
Lik Fachrudin, tetangga yang rumahnya cuma seratus meter dari rumah ayahku, mengganti nama anaknya Supriyanto yang sakit-sakitan dan sering jatuh dari pohon. Aku sendiri tidak tahu, kenapa nama itu dianggap terlalu berat disandang, jika dibandingkan dengan nama barunya. Supriyanto yang seumuran denganku, berganti nama menjadi Sugeng Santoso setelah melalui ritual syukuran dengan bubur sumsum warna merah dan putih. Walaupun namanya agak berlebihan, karena Sugeng adalah sinonim dari Santoso, sejak pergantian nama itu ia memang jarang sakit dan badannya tumbuh lebih cepat.
Selain Sugeng –formerly known as Supriyanto–, ada lagi Joko Purnomo. Ia juga seperti Sugeng; sering sakit-sakitan, demam tinggi dan setep (stuip). Tapi, ia tidak pernah jatuh dari pohon karena memang tidak bisa memanjat pohon. Uniknya, bukannya mendapat nama baru yang lebih bagus, setelah ganti nama, ia adalah Turas yang artinya sama dengan kata kuras. Menurut selentingan, nama itu dipilih karena Pak Marwito ingin “menguras habis” semua kesialan yang menimpa anaknya. Dan, entah bagaimana terjadinya, sejak ganti nama, ia sehat, tumbuh normal seperti teman-temannya, dan tidak pernah demam dan kejang-kejang lagi.
Sama seperti Supriyanto, Jokopun senang dengan nama barunya meskipun sama sekali tidak terdengar keren. Mungkin karena ia mengerti doa apa yang disematkan oleh ayah-ibunya pada nama Turas itu.
::
Di kampungku yang kecil, selain nama asli, ada nama paraban atau panggilan. Nama paraban ini terbentuk dengan berbagai cara. Bisa hanya dengan memotong satu-dua suku kata pada nama aslinya seperti Sutarman menjadi Tarman. Ada yang dibentuk dengan asosiasi pada bentuk tubuh, warna kulit dan sebagainya. Mistam, yang berbadan pendek dan gemuk mendapatkan nama paraban Bendu. Kusmiyati, teman perempuan seuranku juga, mendapat nama panggilan Bawon. Setahuku, bawon adalah jatah gabah yang diterima oleh seorang buruh panen padi yang dihitung berdasar total berat gabah basah yang berhasil ia kumpulkan. Sampai sekarang, setelah Bawon menghadap Tuhan meninggalkan suami dan dua anaknya, aku tidak tahu mengapa dia mendapat paraban itu.
Misdianto, yang pada masa kecil kulitnya bersisik, sampai dia akil baligh mendapat paraban Lawuk (ala tur blewuk, alias jelek dan kusam). Anehnya, Misdianto samasekali tidak tersinggung karena paraban itu meskipun ia tahu kulitnya memang bersisik dan dia merasa “tidak bersinar” di antara teman-teman sebayanya.
Ada lagi nama paraban yang diberikan oleh teman sebaya dari kebiasaan mereka saling meledek tanpa menimbulkan amarah. Karsono, yang sejaik 20 tahun lalu bekerja sebagai teknisi jaringan pada sebuah perusahaan kontraktor listrik, mendapat paraban Muhroni. Muhroni sendiri adalah nama tetangga Karsono yang lama sekali mengidap gangguan jiwa. Anak Pakdheku, mendapat nama panggilan Jaeni. Mirip dengan Muhroni, Jaeni pengidap gangguan jiwa yang sering melintas di depan rumah Pakdhe.
Selain dari cara-cara di atas, nama paraban juga bisa dibentuk dengan menunjuk pada kekhususan tertentu yang melekat pada pemilik nama. Nama paraban semacam ini biasanya diberikan kepada orang-rang yang secara kebetulan memiliki nama yang sama, tinggal berdekatan atau sering bergaul bersama.
Di SDku dulu, ada dua nama Suratman, yang kebetulan juga tinggal berdekatan. Bedanya, yang satu bertubuh kurus, sedangkan satunya lagi bertubuh gempal dan terhitung pendek. Untuk yang kurus, ayahku yang menjadi Kepala Sekolah memberikan tanda A pada nama belakang Suratman. Jadilah ia Suratman A. Sedangkan satunya lagi yang pendek gempal bernama Suratman B. Di luar sekolah, mereka juga dipanggil dengan tambahan A dan B itu. Tetapi, di rapor mereka huruf A dan B yang menjadi penanda itu tentu saja tidak dicantumkan.
Nha, ini yang paling sering membuatku geli tiap kali mengenangnya. Di dusunku ada tiga nama Sutarji. Dua dari mereka adalah orang tua dari teman-temanku. Sutarji pertama adalah ayah Samingan, Sutarji yang kedua adalah ayah dari Suwarti. Sutarji yang terakhir jauh lebih muda, amsih tinggal bersama orangtuanya.
Sutarji pertama memiliki pohon duku besar di depan rumahnya. Untuk menyebutnya, orang-orang biasa menyebutnya Tarji Duku. Sedangkan ayah Suwarti, karena pekerjaannya, disebut Tarji Jahit.
Dan, yang terakhir, tentu mudah menebak alasan para tetangga memberinya paraban Tarji Munyuk.