Satu Hati Sejuta Cinta

“Nur’Aini binti Ma’run,” kata Tek As, menjawab pertanyaan tentang nama lengkap nenek.

Aku mengeja nama itu, dengan lisanku, dengan hatiku, sesaat sebelum membaca al-Fatihah dan surah-surah lain untuknya. Aku menyebut nama itu, ketika mengucapkan do’a memohon ampunan dan rahmat Allah baginya. Namun karena nama itu terasa asing dihatiku, maka akupun menambahkannya dengan panggilan kesayangan kami, Nenek Angah.

Nenek Angah, begitulah namanya yang akrab bagi kami. Nenek Tengah, begitu maksudnya dalam bahasa Indonesia. Beliau memang berada diurutan tengah anak perempuan, diantara nenek kandungku dan Nenek Etek, yang telah terlebih dahulu berpulang ke rahmat Allah. Sosoknya muncul berkelebat di memoriku, seiring lantunan doa dan ayat suci yang kami sampaikan padanya. Dalam kenanganku, ia bagai tak berubah. Sepanjang aku mengingatnya, ia selalu ramah, penuh perhatian dan kasih sayang, dan sangat energik. Bayangkan, ia masih gesit melayani semua pelanggannya di warung kecil depan rumah, masih mengingat semua nama kami, masih terang pikirannya, masih bisa memperhatikan apakah cucu menantunya terlayani dengan baik di rumahnya, masih ini masih itu, sampai akhirnya hipertensi menghentikannya dari semua rutinitas kesehariannya, pada suatu sujud sholat subuhnya di bulan Mei 2012, pada usianya yang hampir 82 tahun.

Nenek koma. Menurut dokter, ada pembuluh darah di otak yang pecah, akibat hipertensi. Hipertensi. Nenek tidak pernah terlihat mengeluh karena hipertensi. Nenek tidak pernah terlihat terganggu dengan hipertensi. Nenek selalu terlihat sehat dan gesit. Ya, pernah nenek dirawat, tapi karena diare.

Dan mulailah hari-hari panjang penuh do’a dan harapan. Satu-satu anak cucu cicit ponakan dan kerabat mengunjungi nenek di rumah sakit. Menyentuh tangannya, membisikkan kata-kata cinta dan do’a di telinganya. Tangan nenek bergerak, airmatanya menetes, menumbuhkan harap bahwa nenek akan segera bangun dan tersenyum kembali. Namun nenek tak pernah benar-benar bangun kembali. Ia berpulang ke rahmat Allah dalam tidur tenangnya. Kami yakin nenek pulang dengan bahagia, mengetahui kami semua mencintainya dengan sepenuh hati. Satu bulan di rumah sakit, cukuplah menjadi bukti bagi nenek, akan kesetiaan dan kasih sayang anak keturunan dan kerabat padanya, baik yang sempat mengunjunginya di rumah sakit ataupun yang mengirimkan salam dan melantunkan do’a dari jauh baginya.

Bagaimana kami tak sayang padanya. Ia selalu penuh sayang pada semua, bahkan terhadapku, terhadap saudara-saudaraku, yang bukan cucu kandungnya. Terhadap ibuku, yang ‘hanya’ anak kakaknya, terhadap ayahku, terhadap kami semua. Dengan 13 orang anak, 30 orang cucu dan 20 orang cicit kandung, ia masih punya stok kasih sayang yang berlimpah untuk ponakan-ponakannya yang yatim piatu dari kecil, untuk cucu-cucu kakak dan adiknya, untuk pelanggan-pelanggan kecil warungnya, anak-anak SD depan rumah. Panggilannnya selalu terasa manis di telinga dan hangat di hati.

Aku ingat, setiap kali aku datang padanya di masa kecilku, ia selalu menyambutku dengan perhatian yang membuat aku merasa jadi cucu paling disayang. Dan itu tak berubah sampai aku beranjak remaja, lalu dewasa, lalu menikah. Ia menyambut suamiku sebagaimana-kukira-ia dulu memperlakukan ayahku. Sst..Ayahku selalu merasa sebagai menantu Kesayangan. Tentu saja, setelah aku dan saudara-saudaraku dan sepupu-sepupuku /cucu-cucu kandungnya besar, kami tahu bahwa nenek menyayangi kami sama besarnya. Luar biasa, bagaimana nenek bisa menanam cinta di hati kami semua sedemikian rupa, sehingga setiap orang merasa jadi yang tersayang baginya? Ia membuat kami merasa ada, merasa berarti, menjadi seseorang.

Airmataku menetes, mengenangkan betapa sedikit baktiku padanya, pada perempuan hebat yang membuat aku merasa punya nenek walau nenek kandungku telah tiada sejak ibuku kecil. Pada perempuan yang dirumahnya aku dilahirkan, yang membantu ibuku merawat dan menjagaku dan saudara-saudaraku ketika bayi, yang memberikan kami ‘kunjungan nenek’ ketika kami masih kecil dan tinggal di kampung terpencil dari desa terpencil di kecamatan terpencil di kota kecil yang tak dekat dari rumahnya. Pada perempuan yang selalu menyelipkan rupiah ke tanganku dan mengisi tas sekolahku dengan gula, teh, biskuit atau apa saja dari rak di warungnya ketika aku mengunjunginya pada akhir pekan ketika sekolah di kota kabupaten yang jauh dari ayah ibu dan saudara-saudaraku. Pada perempuan yang pada usianya yang ke 78 tahun menempuh perjalanan 11 jam dengan mobil, yang 7 jam diantaranya melewati jalanan yang berkelok-kelok yang membuat perut yang tak terbiasa tergoncang dan mengeluarkan isinya dengan ancaman jalan longsor dan berlubang dan jurang curam, demi menghadiri pernikahanku. Pada perempuan yang hatinya dipenuhi cinta hingga menyayangi kami semua sepenuh hati, tanpa membeda-bedakan kami dari hubungan pertalian darah. Pada perempuan yang membuat aku dan saudara-saudaraku tidak hanya mempunyai seorang nenek, tapi juga mempunyai seorang nambo (kakek) penyayang dan belasan makwo dan etek dan mamak yang menyayangi kami seperti ponakan kandungnya. Semoga sepeninggal nenek, kami semua tetap terikat dalam kasih sayang.

Memeluk pusaranya, aku berbisik dalam tangis haru, “Ya Allah, ampunilah Nenek Angah, sayangilah ia, sebagaimana ia menyayangi anak keturunannya dan kami semua ketika kecil, jadikanlah amal soleh kami sebagai amal jariah baginya, tempatkanlah ia bersama orang-orang soleh disisi-Mu, amin.”

Alfatihah ma’a shalawat!

13Juni12,

Mengutip kenanganku dan saudara-saudaraku dan sepupu-sepupuku, special thanks for Dinda Devita..