Balada Asam Jawa di Tanah Rencong

Balada Asam Jawa di Tanah Rencong
Sisa catatan dari Aceh

Wahyu W. Basjir

Sekitar 25 tahun silam, ada sebatang pohon asam jawa sangat tua, yang tumbuh rimbun menaungi warung nasi pecel ibuku di pinggir jalan Banjarnegara-Bawang. Tepatnya di depan SMPN II Bawang, tak jauh dari rumah orang tuaku. Setiap musim, buahnya selalu lebat dan menjadi sumber kegembiraan anak-anak dusunku. Jika sudah mulai ada masak, maka anak-anak akan ramai berebut memanjat dan menggoyang keras-keras dahan dan rantingnya. Aku dan teman-teman yang tidak cekatan memanjat, berkerumun di bawah pohon, menunggu buah-buah asam yang masak atau mengkal jatuh dari tangkainya. Bertahun-tahun hal itu terjadi, dan kurasa teman-teman seumurku di kampung dulu masih ingat kegembiraan kami saat memanennya.

Pada pertengahan tahun 80-an Pemerintah melebarkan jalan raya karena lalu-lintas yang kian padat. Saat itu pula salah satu sumber keriangan anak kampung seperti aku berakhir. Atasnama pembangunan, pohon asam itu ditebang. Kayunya dibakar untuk memanaskan aspal dalam drum-drum besar yang akan memperhalus jalan raya itu.

Di Banda Aceh, keriangan masa kecil itu hadir kembali dalam ingatanku. Sebabnya sederhana; pohon asam jawa (Tamareindus indica, Linn.) bertebaran di berbagai sudut Banda Aceh. Mulai dari Bandara SIM sampai Lampineung. Mulai dari Tungkup sampai Punge. Di jalan depan rumah kostku, berjajar pohon asam jawa yang baru berumur beberapa tahu. “Pohon-pohon yang tua banyak yang mati setelah tsunami,” kata Oki, teman sekalogus pemilik rumah kost.

Bedanya, di sini tidak pernah kulihat seorangpun memanjat pohon asam jawa, apalagi memungut buahnya yang jatuh ke tanah. Mungkin anak-anak memang tidak lagi melihat ada keriangan yang bisa dinikmati dari pohon-pohon itu. Mungkin mereka lebih senang kebut-kebutan di jalan raya. Mungkin orang tua mereka tidak pernah menggunakannya sebagai bahan pangan maupun obat-obatan.

Semua itu kusebut mungkin karena aku sendiri tidak yakin. Padahal, di salah satu toko buah di kawasan Setui, aku menemukan beberapa kemasan kotak bermerk yang isinya buah asam jawa. Harganya Rp 18 ribu satu kotak. Apakah ada yang membelinya? Aku tidak tahu. Satu hal pasti, buah asam jawa dalam kotak itu diimpor dari Thailand!

Di kampungku, asam jawa disebut asem kamal. Buah itu disebut juga tamarind (Inggris), tamarinier (Perancis), celangi (Sunda) atau asam (Melayu). Buah tropis yang entah berasal dari mana ini berasa asam saat masih muda karena kandungan asam tartarat yang tinggi. Semakin tua, kandungan tartaric acid itu berkurang, sementara kandungan gulanya naik sehingga berasa lebih manis.Buah asam yang matang terdiri atas 40-50% bagian yang dapat dimakan, dan per 100 g berisi: air 17,8-35,8 g, protein 2-3 g, lemak 0,6 g, karbohidrat 41,1-61,4 g, serat 2,9 g, abu 2,6-3,9 g, kalsium 34-94 mg, fosfor 34-78 mg, besi 0,2-0,9 mg, tiamin 0,33 mg, riboflavin 0,1 mg, niasin 1,0 mg, dan vitamin C 44 mg. Biji segarnya mengandung 13% air, 20% protein, 5,5% lemak, 59% karbohidrat, dan 2,4% abu. Menurut para ahli, kandungan bahan kimianya yang kaya membuat buah asam jawa dapat dipakai untuk membuat obat-obatan. Situs PDII-LIPI menyebut setidaknya ada 15 gangguan medis yang dapat dikurangi oleh buah asam jawa muda maupun tua yang diolah dengan berbagai cara.

Di Jawa, buah asam jawa biasa diolah dengan kunyit untuk mendapatkan jamu kunir asem. Tetapi, aku tidak tahu lagi adakah jamu tradisional lain yang juga menggunakan asam jawa. Dan di Banda Aceh, orang mungkin samasekali tidak mengkonsumsi ataupun membudidayakan tanaman buah tersebut. Padahal selain dapat dikonsumsi, asam jawa dapat dibudidayakan dengan nilai jual yang baik. Contohnya, ya beberapa kotak yang kulihat ada di toko di Setui itu.

Di Thailand, tanaman itu dikembangkan secara serius, terutama di kawasan Delta Tengah. Berkat budidaya yang serius, pohon hasil penyambungan sudah bisa berbuah dan dipanen pada usia 3-4 tahun. Di Filipina, buah dari kultivar asam dipanen dalam dua tahap: polong hijau untuk bumbu penyedap, dan polong matang untuk diproses. Buah kultivar manis dipanen dalam dua tahap pula: setengah matang (tahap “maiasebo”) dan tahap matang penuh. Pada tahap setengah matang, kulitnya mudah dikupas; daging buahnya berwarna hijau kekuningkuningan dan konsistensinya mirip daging buah apel. Buah mengkal ini yang paling kusuka sewaktu aku kanak-kanak dulu.

Di Filipina, angka 200-300 kg polong/pohon dianggap hasil yang bagus. Sedangkan di India dan Sri Langka, olahan daging buah per pohon (besar) mencapai 170 kg/tahun; hasil rata-ratanya 80-90 kg. Untuk 100 pohon/ha angka di atas berarti 8-9 ton daging buah olahan per hektar per tahun. Kalau satu kotak 2,5 ons berharga Rp 18 ribu, maka dari lahan satu hektar mungkin dapat diperoleh hasil senilai Rp 648 juta dalam setahun! Mengingat biaya perawatannya yang relatif mudah dan murah, pendapatan dari budidaya asam jawa sebenarnya cukup menggiurkan.

Sambil geleng-geleng kepala membayangkan hal itu, kurasakan keriangan masa kanak-kanak dari buah asam jawa yang kupungut di pinggir jalan tadi.

Memoir: Lebaran Haji bersama BB King, Jimmy Page dan Robert Plant

 Memoir; Lebaran Haji bersama BB King, Jimmy Page dan Robert Plant

Aku mengawali November dengan suasana hati yang baik. Kawan-kawan sekantor yang menyenangkan, suasana kerja yang memberi ruang cukup untuk imajinasi kreatif, hubungan kerja yang casual, mitra diskusi yang sungguh-sungguh dan beberapa lainnya lagi. Tapi akhir bulan itu aku akhiri dengan haru biru; bapak di kampung sakit sangat seriu…s sehingga aku harus buru-buru pulang. Jadilah aku LWOP (leave without pay). Itulah istilahnya, mirip judul film lama Jean-Claude Van Damme, AWOL alias absent without leave.

Desember tentu saja kumulai dengan perasaan takut kehilangan, rasa bersalah dan sebagainya; aku kembali ke Aceh meskipun bapak belum pulih benar, sementara anak-anakku menghendaki aku tinggal lebih lama bersama mereka di Jogja. Pokoknya, selama dua pekan pertama bulan ini I started the days in blue. Dan sampai saat aku membuat catatan ini, aku tahu bahwa kesehatan bapakku tidak pernah cukup stabil. I cross my fingers for him….

Menjelang pertengahan bulan, Manajer HRD meninggalkan surat di mejaku; kontrakku akan diperpanjang, setidaknya sampai pertengahan tahun depan. Aku tidak sepenuhnya gembira dengan itu karena perpanjangan masa kerja di Aceh berarti makin banyak mengurangi waktuku berkumpul bersama anak-anakku, menemani mereka belajar, mengantar ke sekolah, menyiapkan telur dadar jamur atau masak spaghetti kesukaan mereka. Tetapi, aku cukup senang dengan surat itu karena ada tantangan yang belum aku selesaikan selama dua bulan pertama aku bekerja di sini.

Sayangnya, menjelang tutup tahun, hampir tidak ada lagi hal baru yang menyenangkan. Sebaliknya, justru menyebalkan.

Mulai Senin 17 Desember, sebagian orang sudah mulai meninggalkan kantor. Mereka mengambil cuti panjang, sekalian memanfaatkan libur Lebaran Haji dan Natal yang berdekatan. Kantor sendiri menetapkan libur mulai 20-26 Desember. Maka, ada saja kawan yang sudah tidak di kantor sejak pertengahan bulan dan baru akan kembali 2 Januari tahun depan.

Sebenarnya aku ingin pulang, merayakan Lebaran Haji di rumah bersama istri dan anak-anak. Apalagi kami berkurban juga di Jogja. Tetapi, memang tidak ekonomis jika aku harus pulang untuk Lebaran Haji kali ini. Terlebih, tanggal 4 Januari nanti aku berencana menemani istri dan anak-anak liburan di Bogor dan Jakarta. Maka, jadilah aku merayakan Lebaran Haji di Banda Aceh.

Beberapa hari sebelumnya, orang-orang sudah mengingatkanku untuk bersiap-siap karena pada hari meugang, warung-warung biasanya tutup. Dan pada hari lebaran, Banda Aceh akan sepi. Transaksi ekonomi berhenti. Tidak ada orang jualan. Maka, Rabu kemarin aku sempatkan belanja, membeli sekotak sereal, beberapa bungkus biskuit dan sebotol air mineral. Kupikir cukuplah itu.

Dasar bodoh, rupanya aku salah hitung. Kupikir pasti tetap akan ada warung makan yang buka, sehingga aku tidak belanja makanan dalam jumlah yang cukup. Dan Rabu sore, aku terpaksa keliling Banda Aceh, mulai dari Peunayong sampai Ulee Kareng, untuk mencari sepiring nasi, sayur dan satu dua potong lauk. Tidak ada warung makanan buka. Hasilnya, nihil! Memang ada satu yang aku lihat, Bakso Lapangan Tembak di Jl. Tk. Nyak Makam. Tapi, aku sudah tahu bakso ini tidak enak, setidaknya menurut pengalamanku, dan dikonfirmasi beberapa teman sekantor.

Setelah lelah berkeliling akhirnya aku kembali ke Peunayong. Hari sudah lewat maghrib, perasaan dongkol menggumpal. Akhirnya, dengan putus asa aku masuk Intense Audio. Ini satu di antara beberapa toko non-makanan yang buka. Kupikir, kalau memang harus tetap ada di kost karena cari makan di luar pada Lebaran Haji pasti akan sia-sia, aku beli dua keping DVD Video untuk sekadar penghibur diri; Lightning in a Bottle dan No Quarter Unledded.

Keping pertama berisi rekaman pementasan puluhan artis untuk memberi tribute kepada musik blues di Radio City Music Hall, New York pada 7 February 2003. Ada BB King, Natalie Cole, Bonnie Raitt, John Fogerty, Solomon Burke, Neville Brothers, Buddy Guy, Moody Blues, Alison Krauss, Steve Tyler dan Joe Perry, Robert Cray, Shemekia Copeland dan masih banyak lagi. Sedangkan keping kedua adalah video Jimmy Page dan Robert Plant, berisi lagu-lagu Led Zeppelin yang diaransir ulang. Aku membeli CD-nya tahun 1996 dulu, ketika bekerja sebagai reporter di Jakarta.

Dalam video itu, Page dan Plant tampil begitu bagus. Tentu karena aransemen musik yang terasa baru berkat sentuhan instrumen-instrumen tradisional Maroko yang dimainkan oleh artis-artis negeri kawasan Maghribi itu. Dan yang paling menarik penampilan Jason Bonham pada drum. Dia masih sangat muda, tetapi menunjukkan passion yang luar biasa terhadap alat musik itu. Lebih penting lagi, dia adalah anak almarhum John Bonham, penabuh drum LZ yang meninggal awal 80-an. Ada lagi pemain bass Chalie Jones. Aku tidak yakin apakah dia anak John Paul Jones, bassist LZ dulu.

Keputusanku tidak salah. Setelah shalat Ied di masjid dekat kost padi tadi, aku benar-benar kesepian. Tidak ada yang dimakan, tidak ada kawan ngobrol. Yos di kamar sebelah sudah pergi berkunjung ke atasan dan kerabatnya yang ada di Banda Aceh. Untungnya, aku sempat minta air panas kepadanya untuk segelas sereal yang kubeli kemarin. Maka, BB King, Jimmy Page dan Robert Plant menjadi temanku sepanjang hari, melupakan rasa lapar seharian.

Beberapa saat setelah maghrib, istriku menelpon. “Aku baru saja bikin steak dari daging kurban,” katanya. Tiba-tiba, perutku menggelepar…

Banda Aceh, Desember 2007

Sungai di depan rumah kami

Sungai di depan rumah kami
Wahyu W. Basjir

Dibanding masyarakat urban, mereka yang tinggal di desa konon lebih menghargai sungai. Penghargaan itu antara lain dicirikan oleh posisi rumah yang mereka bangun di sekitar sungai. Di berbagai desa yang belum tersentuh industrialisasi, rumah-rumah biasanya dibangun menghadap ke sungai, dengan jamban ada di belakang atau samping rumah. Sedangkan di lingkungan yang sangat urban, seperti daerah sepanjang sungai-sungai di Jakarta, rumah-rumah dibangun membelakangi sungai. Dengan posisi jamban di bagian belakang rumah, praktis tempat pelepasan limbah itu lebih dekat ke badan sungai.

Rumah orangtuaku di Banjarnegara dibangun dengan posisi tradisional yang aku sebutkan di atas; menghadap ke sungai, dengan sumur, kamar mandi dan jamban ada di belakang rumah. Sumur resapan dan septic tank juga ada di belakang rumah, sehingga tidak ada limbah rumah tangga yang dibuang ke sungai. Meskipun sudah mengalami berkali-kali renovasi sejak masih berujud rumah berdinding anyaman bambu puluhan tahun silam, posisi itu tidak berubah.

Cara masyarakat memperlakukan sungai tampaknya ikut menciptakan perbedaan pada kualitas air sungai di desa dan di kota. Sungai di kota biasanya berair lebih keruh atau malah berwarna hitam dan bau. Sedangkan sungai-sungai di pedesaan lebih bersih dan alirannya lebih lancar.

Sayangnya, air yang jernih seperti pada masa kanak-kanakku tidak lagi kulihat di sungai depan rumah ayah. Setiap hari, yang kulihat adalah air berwarna coklat lumpur. Meskipun tidak berbau menyengat, tidak ada lagi ikan-ikan seperti tawes, lele, mujahir yang dulu sering aku dapat hanya dengan beberapa menit memancing.

Dulu, hanya dengan duduk-duduk di jembatan sambil memegang joran pancing pada malam hari, aku bisa membawa pulang empat sampai lima ekor ikan lele yang lumayan besar. Kalau malas memancing, hanya dengan bermodal senter aku bisa “memanen” udang yang biasa naik permukaan menempel di dinding sungai. Dalam seperempat jam setelah shalat maghrib, aku bisa menyediakan udang untuk lauk aku dan adikku.

Begitulah, sungai di depan rumah ayah menjadi sumber penghidupan yang tidak terlalu jelek bagi aku dan keluargaku, sebagaimana juga bagi teman-temanku dan keluarga mereka.

Lebih dari itu, sungai juga menjadi tempat bermain yang menyenangkan dan murah. Dan aku masih ingat betul, bagaimana aku menjadi bocah yang sangat menikmati sungai itu.

Dulu, aku hampir selalu pulang dengan membonceng sepeda ayah yang juga guru di SDku. Setelah melalui jalan yang naik turun, kami akan sampai ke sungai yang mengalir lewat depan rumah ayah. Saat itulah awal kesenangan selepas sekolah untuk bocah kampung seperti aku.

Sesampai kami di sungai, ayah akan menghentikan sepedanya dan membiarkan aku turun. Dan sesaat kemudian aku sudah telanjang bulat, sementara baju dan celana aku gulung lalu aku jepitkan di boncengan sepeda ayah. Bersamaan dengan ayah yang mengayuh sepedanya menyusur jalan sepanjang sungai menuju rumah, aku berenang mengikuti arus yang membawaku pulang.

Sudah pasti, ayah lebih dulu tiba di rumah karena aku selalu asyik bermain di sungai, saat aku berenang sendiri ataupun bersama teman-teman kecilku. Setelah puas bermain, aku naik dari sungai tepat di depan rumah. Dalam keadaan telanjang bulat, aku biasanya tidak langsung masuk rumah untuk mengambil handuk. Aku lebih suka berjemur di halaman sambil melihat air menetes dari tubuhku.

Saat berjemur itupun sering aku gunakan untuk bermain-main, terutama kalau aku kebelet kencing. Jika aku merasa kepengin kencingm, aku akan mencari gundukan debu halus yang cukup untuk membentuk gunung kecil. Setelah gunung debu itu terbentuk, aku menekan puncaknya yang runcing dengan siku sehingga terbentuk semacam lubang kawah yang bertepi bundar. Di lubang kawah itulah aku kencing.

Air kencing yang meresap di lubang kawah itu, aku tahu, akan membentuk lapisan tanah yang basah dan lebih lengket dengan ketebalan tertentu. Setelah lapisan itu terbentuk, aku kemudian mengorek bagian bawahnya yang tidak basah sehingga kudapat wajan kecil dari tanah yang basah oleh air kencingku. Wajan kecil itu biasanya aku kumpulkan di bawah pohon jeruk bali yang ada di depan rumah. Setelah itu, barulah aku masuk ke rumah dan berpakaian seadanya.

Di hari libur atau Minggu, aku tidak pernah bermain jauh-jauh dari sungai itu. Seperti kebiasaan anak-anak kampung, meskipun punya sumur aku lebih suka mandi di sungai itu. Airnya jernih dan bersih, dan bisa bermain sepuasnya. Lagipula, dengan berlama-lama berenda di air, daki di tubuh jadi lebih mudah lepas sehingga aku tidak pernah mandi dengan menggunakan sabun. Tidak jarang, aku dan teman-temanku saling bergantian menggosok punggung dengan batu yang kami dapat dengan menyelam ke dasar sungai. Kalau tidak dengan batu, ya dengan rumput yang tumbuh di dinding sungai. Persis seperti cara memandikan kerbau. Meski tidak pernah memakai sabun, seingatku, tidak ada satupun di antara aku dan teman-temanku yang panuan atau sakit gatal-gatal.

Boleh dibilang, mandi beramai-ramai di sungai itu menjadi saat yang paling menyenangkan bagiku dan teman-teman kecilku. Laki-laki ataupun perempuan, kami tidak sungkan untuk sama-sama telanjang bulat, berlarian di pinggir sungai kemudian beramai-ramai terjun ke air. Kadang-kadang kami bertanding menyelam, dengan salah satu dari kami menjadi pemberi aba-aba sekaligus wasit yang menentukan siapa pemenangnya di antara kami.

Bagi aku dan teman-temanku, mandi dan bermain disungai bersama-sama laki-perempuan seperti itu tidak ada tabunya. Setidaknya sampai kami lulus SD. Beberapa dari kami, termasuk aku, bahkan masih sering mandi telanjang bulat di sungai itu, meskipun sudah duduk di SMP. begitupun teman-teman seumurku yang perempuan. Hanya saja, kebiasaan itu langsung berhenti setelah kami yang laki-laki dikhitan dan yang perempuan mengalami menstruasi pertama. Sejak itulah, semuanya menjadi tidak biasa.

Khitan dan menstruasi, ternyata membawa berbagai macam tabu bagi kami yang laki-laki maupun yang perempuan. Kami dianggap sudah cukup dewasa sehingga tidak lagi pantas untuk membiarkan alat kelamin kami masing-masing dilihat orang. Sejak itu pula, aku berinteraksi dengan teman perempuanku sedusun yang dulu biasa mandi telanjang bersama, secara berbeda.

Setelah dewasa, entah bagaimana ceritanya, tidak ada satupun dari teman seumuranku yang dulu itu saling menikah atau pernah pacaran. Aku sendiri tidak pernah tertarik –sebagai lelaki kepad aperempuan yang sama aqil baligh– kepada salah satu dari teman perempuan sepermandianku. Padahal, beberapa kawan SMA bilang dua-tiga tetanggaku adalah gadis yang cantik dan ayu.

Ketika ditanya, kenapa tidak tertarik kepada salah satu gadis sedusunku, aku tidak bisa menjawab samasekali. Apakah karena aku sudah terbiasa melihat mereka telanjang bulat, begitu pula sebaliknya? Wallahualam bissawab.

Mencandra nama-nama

Mencandra nama-nama
Wahyu W. Basjir

Aku lupa apa rujukannya, tetapi pada masa kanak-kanak aku diajari oleh guru ngajiku bahwa nama seorang anak adalah ungkapan doa orang tuanya. Dan memberi nama yang baik adalah kewajiban orang tua kepada anak-anaknya. Maka, muncullah berbagai nama yang mengesankan kegagahan, kecantikan, tampanan, kecerdikan, kebijaksanaan, kemakmuran dan sebagainya.

Aku dan istriku memberi nama anak sulung kami Aulia Fatima, dengan harapan pada saatnya nanti dia bisa menjadi perempuan yang cendekia dan bijaksana. Sahabatku Awalil Rizky memberi nama anak keduanya Muhammad Imam Adli. Katanya, ia ingin anaknya menjadi pemimpin yang adil seperti Muhammad. Selain itu, di antara kita terdapat nama-nama seperti Sulastama RaharjaHasanudin AbdurakhmanMuzdalifah Laily, Yassir Suhari AbbasBambang Nurcahyadi, dan berbagai nama lain yang bermakna harapan penuh kebaikan.

Apakah semua orang tua memberikan nama kepada anaknya dengan niat mendoakan kebaikan? Apakah setiap doa orang tua untuk anaknya melahirkan nama yang baik?

Aku sendiri tidak tahu apakah ayah dan ibuku menyematkan doa khusus pada namaku. Yang pasti, aku sendiri tidak pernah menanyakan arti dan apa doa yang mereka rapalkan melalui namaku itu. Cuma, aku merasa namaku tidak terlalu jelek saat diucapkan maupun didengar. Setidaknya itu yang aku fikirkan saat aku menyimak nama kawan-kawan di masa kecilku seperti Sutarman, Samingan, Ngadiyah, Miskam, Tumihar, Sutimah, Subera, Sawiyah, Ngadiyah, Sulasmi, Musringah, Likun, Turyan, Sumingal, Sukardal dan sebagainya yang kebanyakan hanya punya satu kata dengan tiga suku kata.

Itu yang dulu aku rasakan. Sekarang, di antara ribuan teman –sebagian besar hanya kuketahui namanya– namaku terdengar sangat biasa. Apapun doa yang dirapal orang tua mereka, bagiku nama-nama seperti Irvan KristantoDwi Nastiti Arumsari, Bintang Wisnuwardhani atau Destina Kawanti, terdengar lebih keren daripada namaku. Tapi sudahlah, namaku tidak jelek-jelek amat. Apes-apesnya, namaku bisa jadi bahan guyonan kalau dipleset-plesetkan.

Di antara nama-nama keren mereka, ada satu nama yang akan kupilih kalau saja aku ingin mengganti namaku. Meskipun tidak tahu arti persisnya, nama ini menurutku sangat puitis; Afnan Malay. Sekian belas tahun silam, pemilik nama itu bilang kalau Afnan berarti lukisan yang indah. Tetapi aku tidak tahu apa arti kata Malay yang ada di belakangnya. Seingatku, Malay berarti orang melayu.

Selain Afnan Malay, ada nama yang menurutku sangat indah dan puitis; Arum Kusumaningtyas. Arum berarti harum, wangi, semerbak. Sedangkan Kusumaningtyas adalah paduan dari kusuma (bunga), ing (dalam, atau kata ganti kepemilikan-possesive pronoun) dan tyas (hati, fikiran, perasaan). Secara utuh Arum Kusumaningtyas berarti “bunga hati yang harum semerbak”.

Ada juga nama Clara Hapsary, yang juga indah. Clara, yang kukira berasal dari bahasa Perancis (claire, cler), Inggris (clear) atau Latin (clarus) yang berarti cantik, jernih, terang, bersih. Sedangkan Hapsary adalah bahasa jawa kawi untuk kata bidadari. Jadi, kukira orang tuanya berharap ia tumbuh menjadi Bidadari yang Cantik.

Untuk semua nama indah dan bagus milik teman-teman yang kusadari betapa indah maknanya, aku melafalkan, “Amin.”

::

Kuketahui dari penggalan pengalaman masa kecil, ada persepsi mengenai kepantasan dan kepatutan sebuah nama bagi seseorang. Di masyarakat Jawa, seseorang bisa dianggap mengalami musibah atau keadaan yang tidak mudah karena namanya. Kabotan jeneng, itu istilah untuk seorang anak dengan nama yang secara umum dinilai bagus tetapi sering sakit-sakitan. Pada kasus seperti ini, orang tua si anak kadang memutuskan untuk mengganti nama anaknya, agar tidak sakit-sakitan karena tidak kuat menyandang namanya sendiri.

Lik Fachrudin, tetangga yang rumahnya cuma seratus meter dari rumah ayahku, mengganti nama anaknya Supriyanto yang sakit-sakitan dan sering jatuh dari pohon. Aku sendiri tidak tahu, kenapa nama itu dianggap terlalu berat disandang, jika dibandingkan dengan nama barunya. Supriyanto yang seumuran denganku, berganti nama menjadi Sugeng Santoso setelah melalui ritual syukuran dengan bubur sumsum warna merah dan putih. Walaupun namanya agak berlebihan, karena Sugeng adalah sinonim dari Santoso, sejak pergantian nama itu ia memang jarang sakit dan badannya tumbuh lebih cepat.

Selain Sugeng –formerly known as Supriyanto–, ada lagi Joko Purnomo. Ia juga seperti Sugeng; sering sakit-sakitan, demam tinggi dan setep (stuip). Tapi, ia tidak pernah jatuh dari pohon karena memang tidak bisa memanjat pohon. Uniknya, bukannya mendapat nama baru yang lebih bagus, setelah ganti nama, ia adalah Turas yang artinya sama dengan kata kuras. Menurut selentingan, nama itu dipilih karena Pak Marwito ingin “menguras habis” semua kesialan yang menimpa anaknya. Dan, entah bagaimana terjadinya, sejak ganti nama, ia sehat, tumbuh normal seperti teman-temannya, dan tidak pernah demam dan kejang-kejang lagi.

Sama seperti Supriyanto, Jokopun senang dengan nama barunya meskipun sama sekali tidak terdengar keren. Mungkin karena ia mengerti doa apa yang disematkan oleh ayah-ibunya pada nama Turas itu.

::

Di kampungku yang kecil, selain nama asli, ada nama paraban atau panggilan. Nama paraban ini terbentuk dengan berbagai cara. Bisa hanya dengan memotong satu-dua suku kata pada nama aslinya seperti Sutarman menjadi Tarman. Ada yang dibentuk dengan asosiasi pada bentuk tubuh, warna kulit dan sebagainya. Mistam, yang berbadan pendek dan gemuk mendapatkan nama paraban Bendu. Kusmiyati, teman perempuan seuranku juga, mendapat nama panggilan Bawon. Setahuku, bawon adalah jatah gabah yang diterima oleh seorang buruh panen padi yang dihitung berdasar total berat gabah basah yang berhasil ia kumpulkan. Sampai sekarang, setelah Bawon menghadap Tuhan meninggalkan suami dan dua anaknya, aku tidak tahu mengapa dia mendapat paraban itu.

Misdianto, yang pada masa kecil kulitnya bersisik, sampai dia akil baligh mendapat paraban Lawuk (ala tur blewuk, alias jelek dan kusam). Anehnya, Misdianto samasekali tidak tersinggung karena paraban itu meskipun ia tahu kulitnya memang bersisik dan dia merasa “tidak bersinar” di antara teman-teman sebayanya.

Ada lagi nama paraban yang diberikan oleh teman sebaya dari kebiasaan mereka saling meledek tanpa menimbulkan amarah. Karsono, yang sejaik 20 tahun lalu bekerja sebagai teknisi jaringan pada sebuah perusahaan kontraktor listrik, mendapat paraban Muhroni. Muhroni sendiri adalah nama tetangga Karsono yang lama sekali mengidap gangguan jiwa. Anak Pakdheku, mendapat nama panggilan Jaeni. Mirip dengan Muhroni, Jaeni pengidap gangguan jiwa yang sering melintas di depan rumah Pakdhe.

Selain dari cara-cara di atas, nama paraban juga bisa dibentuk dengan menunjuk pada kekhususan tertentu yang melekat pada pemilik nama. Nama paraban semacam ini biasanya diberikan kepada orang-rang yang secara kebetulan memiliki nama yang sama, tinggal berdekatan atau sering bergaul bersama.

Di SDku dulu, ada dua nama Suratman, yang kebetulan juga tinggal berdekatan. Bedanya, yang satu bertubuh kurus, sedangkan satunya lagi bertubuh gempal dan terhitung pendek. Untuk yang kurus, ayahku yang menjadi Kepala Sekolah memberikan tanda A pada nama belakang Suratman. Jadilah ia Suratman A. Sedangkan satunya lagi yang pendek gempal bernama Suratman B. Di luar sekolah, mereka juga dipanggil dengan tambahan A dan B itu. Tetapi, di rapor mereka huruf A dan B yang menjadi penanda itu tentu saja tidak dicantumkan.

Nha, ini yang paling sering membuatku geli tiap kali mengenangnya. Di dusunku ada tiga nama Sutarji. Dua dari mereka adalah orang tua dari teman-temanku. Sutarji pertama adalah ayah Samingan, Sutarji yang kedua adalah ayah dari Suwarti. Sutarji yang terakhir jauh lebih muda, amsih tinggal bersama orangtuanya.

Sutarji pertama memiliki pohon duku besar di depan rumahnya. Untuk menyebutnya, orang-orang biasa menyebutnya Tarji Duku. Sedangkan ayah Suwarti, karena pekerjaannya, disebut Tarji Jahit.

Dan, yang terakhir, tentu mudah menebak alasan para tetangga memberinya paraban Tarji Munyuk.