Bunga Bank

Bunga Bank
Hasanudin Abdurakhman

 

Riba diharamkan dalam Quran dan hadist. Tak ada masalah soal itu. Pertanyaannya, apakah bunga bank itu sama dengan riba?

Ijtihad itu adalah usaha untuk mengisi ruang kosong, atau gap, antara kehidupan manusia di Arab, pada abad VII, dengan manusia masa kini. Kehidupan pada zaman itu masih sederhana. Maka hukum untuk mengaturnya pun sederhana. Belasan abad kemudian kehidupan menjadi lebih rumit, maka aturan yang dirumuskan pada masa itu tak lagi cukup. Kini diperlukan aturan-aturan tambahan yang baru. Maka dilakukanlah ijtihad.

Ada beberapa cara melakukan ijtihad. Salah satunya adalah qiyas, atau analogi. Sesuatu yang ada pada masa kini dicarikan padanannya pada masa lalu. Keduanya dianggap sama atau sebangun. Hukum ditetapkan berdasarkan kesamaan antar keduanya, dengan mempertimbangkan perbedaannya. Continue reading

Kaisha, Kenshu Genba

Kaisha, Kenshu Genba

Hasanudin Abdurakhman

Atasan di perusahaan tempat saya bekerja dulu adalah seorang lulusan SMA. Dia menjabat sebagai managing director yang bertanggung jawab atas seluruh operasi perusahaan di Indonesia. Presiden direktur yang berkedudukan di Jepang lebih banyak berfungsi formal saja. Sebelum ditugaskan ke sini jabatan dia di kantor pusat adalah deputy factory manager. Di kantor pusat sendiri seluruh kegiatan perusahaan dikendalikan oleh managing director, yang merangkap sebagai presdir anak perusahaan di Indonesia. Presdir di kantor pusat, yang sekaligus adalah pemilik perusahaan, hanya berperan dalam hal-hal yang sifatnya strategis saja.

Beberapa waktu yang lalu saya mendapat kabar bahwa managing director kantor pusat pensiun, dan akan digantikan oleh mantan atasan saya ini. Ini sebuah kejutan, karena ia menyalip beberapa orang lain yang sudah direktur ke posisi puncak, padahal ia sendiri selama ini belum menjadi direktur.

Continue reading

Menjadi Mahasiswa yang Belajar

Menjadi Mahasiswa yang Belajar
Hasanudin Abdurakhman

 

Banyak orang mengeluh sulit mencari kerja. Khususnya bagi lulusan baru yang tidak punya pengalaman kerja. Tidak sedikit yang melamar ke sana sini tapi tak kunjung mendapatkan pekerjaan. Namun dari sisi sebaliknya saya merasakan hal yang juga tak enak. Dari sisi pemberi kerja (perusahaan), saya sering merasa kesulitan mendapat tenaga kerja sesuai dengan yang kami butuhkan.

 

Waktu memimpin sebuah perusahaan manufaktur kecil di Karawang saya punya kebijakan untuk memprioritaskan lulusan baru ketika merekrut karyawan. Pertimbangannya, saya ingin memberi kesempatan seluas-luasnya bagi lulusan baru.  Saya menyediakan diri untuk membimbing dan melatih karyawan, juga memberi kesempatan kepada mereka untuk belajar secara mandiri.

Apa hal terpenting yang saya perhatikan ketika saya menyeleksi calon karyawan? Kemampuan belajar. Prinsip saya, seorang karyawan yang baik dan bisa diandalkan adalah orang yang mampu belajar dan mau terus belajar. Perusahaan akan maju bila para karyawannya adalah orang yang cerdas, kreatif, dan penuh inisiatif. Tapi bagaimana bisa menilai semua itu dari suatu wawancara yang singkat? Meski tidak 100% akurat, hal itu bisa dilakukan.

Continue reading

Tomomi

Tomomi

Hasanudin Abdurakhman

Ia gadis Jepang pertama dan satu-satunya yang pernah membuat aku jatuh cinta. Sejak pertama kali bertemu aku menyukainya. Dia guru bahasa Jepang ku waktu aku belajar di Kuala Lumpur. Saat itu ia masih mahasiswi di Universitas Yokohama, mengambil cuti setahun untuk menjadi guru pada program yang aku ikuti.

Waktu masuk ke kelas ia terlihat sangat canggung, mungkin grogi. Kami murid-muridnya, laki-laki dan lebih tua dari dia. Ini pengalaman pertama dia mengajar. Patutlah bila ia merasa grogi. Sikapnya yanag canggung itu justru membuatnya makin tambah menarik.

Beberapa murid jelas terlihat naksir dia. Tapi tak ada yang berani mendekat. Pada program kami kebetulan ada pelajaran bahasa Melayu dan bahasa Inggris yang tak perlu aku ikuti. Pelajaran bahasa Melayu jelas tidak perlu. Aku satu-satunya yang diperkenankan untuk tidak ikut. “Kalau kau ikut, kau akan mengacau saja.” kata Cik Gu yang mengajar. Adapun bahasa Inggris, aku dan beberapa pelajar yang sudah baik bahasa Inggrisnya tidak perlu ikut. Hanya pelajar yang berasal dari Myanmar, Kamboja, dan Vietnam yang ikut. Dua jam pelajaran seminggu yang kosong ini sering aku manfaatkan untuk mendekati Tomomi.

Aku minta dia memberi pelajaran tambahan dengan alasan aku masih banyak tertinggal. Dia setuju. Kami berdua “belajar” di student lounge sambil mendengarkan musik klasik. Tapi pelajaran privat ini kemudian lebih sering jadi ajang ngobrol. Sebabnya?

“You don’t really need extra lesson. Actually you learn much better than othe students.” komentar Tomomi setelah beberapa kali kami berduaan.

“I’m glad you understand that.” jawabku sambil ketawa ngakak.

Dia tidak keberatan menghabiskan waktunya ngobrol denganku. “You are very smart.” katanya memujiku beberapa kali.

Tapi rasa suka ku pada Tomomi akhirnya harus aku bunuh. Dalam suatu trip santai ke Trengganu yang tadinya aku organisir (waktu itu aku ditunjuk sebagai Student Chairman), saat makan malam aku lihat Tomomi memesan bir. Aku shock. Tidak mungkin gadis pujaanku minum bir! Tidak mungkin aku mencintai dia. Kami terlalu berbeda. Tembok yang memisahkan kami terlalu tinggi. Malam itu juga aku putuskan untuk pergi. Pagi-pagi aku minta diantar sopir pergi ke airport, pulang sendirian dari Trengganu ke Kuala Lumpur. Anak-anak lain melanjutkan trip dengan mobil.

Tomomi sangat terkejut dengan tingkahku. Ketika kembali ke Kuala Lumpur ia menanyakan sikapku. Aku jelaskan sebabnya.

“What is wrong with beer? I drink beer, and I frequently drink beer with my father.” katanya.

“May be there is nothing wrong. Just we are so different.”

Dia tampak sedih. “I’m sorry.” katanya.

“It is not your foul.” jawabku.

Masa-masa berikutnya adalah masa-masa menyakitkan. Aku berusaha sangat keras untuk melupakan Tomomi. Tapi itu sungguh mustahil, karena aku bertemu dia di kelas setiap hari. Berbulan-bulan aku perlukan untuk menyembuhkan luka itu.

Untuk Wisudawan

Untuk Wisudawan
oleh: Hasanudin Abdurakhman

(Tanggal 22 Agustus saya diminta mengisi acara pembekalan wisudawan UGM bersama Rektor dan beberapa orang lain. Materi yang akan saya sampaikan secara garis besar saya rangkum dalam tulisan ini. Secara keseluruhan tulisan ini mengandung beberapa hal yang pernah saya tulis pada tulisan-tulisan lain.)

Salah satu momen yang membuat saya bangga sebagai alumni UGM adalah ketika Sensei (profesor pembimbing) datang kepada saya dan berkata, “Grup riset kita diberi jatah untuk mendatangkan mahasiswa asing dengan beasiswa Monbusho. Kita diberi wewenang untuk memilih siapa saja yang kita anggap pantas dan layak. Seleksi di universitas hanyalah formalitas. Saya limpahkan wewenang itu kepada kamu, dan saya minta kamu memilih alumni UGM untuk kita undang. Ya, alumni UGM seperti kamu. Saya ingin lebih banyak lagi pekerja keras seperti kamu di grup kita.” Sebagai respon, saya kontak adik kelas saya di FMIPA UGM, kemudian dia memenuhi undangan kami. Kini dia sudah selesai kuliah di program doktor dan menjadi dosen di suatu PTN di Jawa Tengah.

Saat itu saya sudah lulus program doktor dan bekerja sebagai visiting researcher di bawah bimbingan Sensei, di Kumamoto University, Jepang. Saat itu sudah enam tahun lebih saya berinteraksi dengan beliau. Masa yang cukup panjang. Saat itu adalah titik diametral bila dibandingkan dengan saat saya pertama kali bertemu untuk mulai kerja riset di bawah bimbingan Sensei.

Kata-kata Sensei yang pertama saya dengar setelah kami berbasa-basi berkenalan adalah, “Tolong kamu kerja keras di sini. Jangan bawa-bawa budaya tropis kamu ke sini.”

“Maksud Sensei bagaimana? Budaya tropis itu apa?” tanya saya tak paham.

“Kalian orang-orang tropis itu kan pemalas. Makanya kalian tertinggal. Lihat kami orang Jepang, Korea, dan Cina. Apa yang kamu lihat di depanmu saat ini, kemajuan ekonomi dan teknologi, semua ini tidak gratis. Kami memperolehnya dengan kerja keras. Tirulah cara kerja kami.”

Tentu saja saya tersinggung dengan ucapan itu. Tapi saya memilih diam. Karena saya tahu, percuma berdebat dengan kata-kata. Perbuatan akan lebih meyakinkan. Maka saya tunjukkan kepada Sensei bahwa saya bukan pemalas. Butuh waktu yang panjang ketika akhirnya dia mengakui kerja keras saya. Dan dia tidak hanya melihat saya sebagai sosok pribadi. Dia memandang saya sebagai alumni UGM. Bahkan, dia memandang saya sebagai orang Indonesia. Kehadiran saya teleh mengubah pandangan Sensei tentang orang Indonesia.

Situasi yang saya hadapi saat pertama kali bertemu Sensei mungkin akan dihadapi oleh banyak orang saat akan mulai sesuatu. Termasuk di antaranya yang baru lulus. Lalu mereka akan menempuh perjalanan untuk membuktikan diri, sampai mendapat pengakuan. Ada yang butuh waktu sangat lama, ada yang lebih singkat. Tapi apapun juga, hanya pekerja keras dan pantang menyerah yang bisa lolos dari tantangan ini.

Kerja keras. Hanya itulah yang saya miliki saat itu. Kebetulan saya bukan mahasiswa yang sangat cerdas. Saya bukan orang brilliant. Menariknya, dalam kultur Jepang tata krama dan kerja keras lebih dihargai ketimbang kecerdasan belaka. Kerja riset itu sendiri, di samping membutuhkan kecerdasan, juga membutuhkan kreativitas. Tapi di atas itu semua, kerja keras memang paling menentukan.

Beberapa bagian dari kerja riset itu mirip kerja rodi. Saya misalnya bekerja dengan alat yang disebut diamond anvil cell, yang mengharuskan saya menempatkan sampel di dalam ruang berdiameter kurang dari 0.3 mm. Di situ kecerdasan tak banyak berperan. Hanya ketekunanlah yang berarti. Berbulan-bulan melatih tangan, barulah hal itu bisa dilaksanakan. Periset lainpun begitu. Ada yang menghabiskan waktu berhari-hari kerja nyaris tanpa henti untuk menumbuhkan kristal. Tidur di laboratorium, makan dan istirahat seadanya adalah hal yang biasa. Tak ada orang lain yang bisa disuruh untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan “sepele” itu. Peneliti sendiri yang harus melakukannya. Justru di situlah kunci sukses seorang peneliti. “Kenkyusha no ude”, hasil kerja tangan setiap peneliti, itulah yang membedakan hasil riset pada akhirnya. Data atau produk yang tak bisa dihasilkan oleh peneliti lain, bisa kita capai. Dalam hal itu intelejensi saja tidak cukup. Kerja keras secara fisik berperan cukup penting. Hasil kerja keras itulah yang secara perlahan mengubah pandangan Sensei tentang saya.

Ada hal lain lagi, yang juga tak terkait banyak dengan intelejensi, yaitu soal jaringan. Suatu hari kami pergi menghadiri seminar di luar kota (Hiroshima). Waktu itu karena saya baru beberapa bulan di Jepang, Sensei mengatur semua hal, termasuk reservasi hotel. Ternyata ketika saya hendak check in di hotel itu, nama saya tidak terdaftar, dan hotel sedang penuh. Melalui pengurus PPI saya cari orang Indonesia yang sedang belajar di kota tersebut dengan maksud minta dipandu mencari penginapan. Tapi akhirnya saya malah diajak menginap di apartemen teman baru tadi. Ketika mendengar pengalaman saya, Sensei geleng-geleng. “Network kalian orang Indonesia, luar biasa.” pujinya. Tidak cuma sekali itu. Di lain waktu, usai seminar di Tsukuba Sensei meminta saya memanggil taksi.

“Tidak perlu Sensei, saya bawa mobil.”

“Ha?? Mobil siapa?”

“Saya dipinjami teman Indonesia. Kebetulan mobilnya sedang tidak dipakai.”

Dia kembali tergeleng-geleng. “Saya yang orang Jepang tidak dapat pinjaman mobil, kamu orang asing kok bisa begitu. Luar biasa.” katanya.

Di masa-masa setelah kejadian di Hiroshima tadi, saya tak lagi tergantung pada Sensei. Saya urus sendiri setiap keperluan riset saya, termasuk urusan perjalanan. Perjalanan adalah bagian penting dari riset, baik dalam rangka seminar maupun melakukan eksperimen di lembaga lain. Tidak cuma itu. Beberapa kali saya pergi presentasi hasil riset ke konferensi internasional dengan dana yang saya usahakan sendiri melalui berbagai research foundation. Adanya dana semacam ini pun tadinya tidak diketahui oleh Sensei, saya yang memberi tahu dia. “Heran saya, kok kamu lebih tahu soal Jepang daripada orang Jepang.” komentar dia.

“Jadilah orang yang independent, jangan dependent.” nasihat Sensei di awal kedatangan saya. Itulah yang kemudian terjadi. Saya tidak menjadi beban, bahkan kemudian mengurangi beban Sensei. Dua tahun berlalu, saat saya tamat program master, saya sudah menjadi semacam asisten bagi Sensei. Saya mengurusi dan merawat peralatan eksperimen, membimbing mahasiswa yang lebih muda (orang Jepang), dan menangani berbagai tetek bengek administrasi.

Ketika pensiun, dalam catatan akhirnya di bulletin kampus, Sensei menyediakan paragraph pertama untuk memuji saya. Sensei mungkin teringat pada kata-kata kasarnya pada pertemuan pertama kami. Dua tiga tahun setelah itu, dia mencoba mengoreksi sikap itu. “Kamu itu seumuran dengan anak saya. Orang tua itu punya sikap, bahwa anak itu biar sudah dewasa sekalipun tetap dipandang seperti anak-anak. Itu namanya oyagokoro (hati orang tua). Saya kadang memperlakukan dan memarahi kamu seperti anak-anak, karena kamu itu anak saya.”

Pada masa selanjutnya, yang terjadi hanyalah ulangan dari hal-hal yang saya tulis di atas. Memasuki dunia industri, saya mulai dari pengetahuan nol tentang segala sesuatu. Belajar, mencoba, adalah hal yang terus saya lakukan hingga saat ini.

Begitulah. Ketika kita mulai sesuatu, mungkin orang tak melihat kemampuan kita. Mungkin kita diremehkan. Untuk menjawabnya kita hanya perlu menunjukkan hasil kerja. Dan untuk mencapai hasil kerja yang baik, tak hanya dibutuhkan kemampuan profesional atau hard skill. Tapi juga dibutuhkan kemampuan lain, yang biasa disebut soft skill. Dan kemauan untuk bekerja keras, mencoba terus, tanpa kenal menyerah. Dalam banyak hal, kita mungkin harus mengerjakan pekerjaan sepele yang sepertinya tak penting. Seperti saya harus kerja rodi dalam riset. Itupun harus kita kerjakan.

Orang yang merasa mentereng karena ia seorang sarjana dan karenanya tidak perlu lagi mengerjakan pekerjaan sepele, besar kemungkinan akan jadi orang yang gagal. Soerang sarjana baru punya sangat sedikit bekal. Ia masih perlu belajar lebih banyak lagi, termasuk dari hal-hal yang kelihatannya sepele.

.

Fajar di Dermaga

Fajar di Dermaga 

oleh: Hasanudin Abdurakhman

Ketika memilih untuk menerima lamaran Karim empat tahun yang lalu Limah tidak berfikir untuk jadi ibu rumah tangga. Hanya ibu rumah tangga, yang sehari-harinya hanya perlu mengurus rumah, masak, serta merawat anak. Limah sudah biasa bekerja mencari nafkah. Waktu keluarga Karim melamar pada neneknya di kampung, Limah berusia 15 tahun, sedang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di kota. Ia memutuskan untuk kembali ke kampung dan menikah karena ia tahu, jadi pembantu tak akan pernah mengubah nasibnya. Ia ingin punya suami, dan bersamanya ia berjuang mengubah nasib.

Limah tak pernah menyangka Karim akan melamarnya. Orang tua Karim cukup berada dan terpandang. Ayahnya seorang tengkulak kopra. Ia membeli kopra dari petani di kampung, lalu mengangkutnya dengan kapal motor miliknya untuk dijual ke kota. Kini kabarnya ia tak cuma berbisnis kopra. Ia mulai mengembangkan usahanya dengan membuka usaha penggergajian kayu yang cukup besar di kampung lain.

Di samping itu Ayah Karim juga pengurus mesjid kampung yang sering memberi khutbah Jumat maupun hari raya. Karim sejak kecil sering dilibatkan ayahnya pada urusan mesjid. Sejak berumur sepuluh tahun ia sudah jadi muazin. Karim juga cukup tampan. Dengan semua itu tak sulit bagi Karim untuk mendapatkan istri dari keluarga lain yang berada dan terpandang.

Entah mengapa pilihan Karim jatuh pada Limah. Mungkin Karim jatuh cinta pada Limah sejak kecil. Rumah mereka memang berdekatan. Karim hanya setahun lebih tua dari Limah. Sejak kecil mereka sering main bersama.

Limah memutuskan untuk menikah bukan karena lamaran itu datang dari keluarga Karim yang berada dan terpandang. Ia hanya menginginkan seorang suami, seorang lelaki. Seorang pemimpin. Limah tumbuh tanpa lindungan seorang lelaki. Ayah dan emaknya mati oleh wabah kolera saat ia berumur dua tahun. Sejak itu Limah dibesarkan oleh neneknya dalam kemiskinan. Saat Limah berumur dua belas tahun, neneknya meninggal. Hidup Limah tertolong karena ada yang kebetulan membutuhkan pembantu rumah tangga di kota. Di usia itu ia mulai bekerja sebagai pembantu rumah tangga.

Di hari-hari pertama sebagai istri Karim dilalui Limah dengan suka cita. Meski sesungguhnya Limah merasakan banyak kecanggungan. Ia canggung dengan makanan lezat yang sehari-hari dapat ia makan. Ia bahkan canggung duduk semeja dengan keluarga Karim. Biasanya ia makan di sudut dapur di rumah majikannya. Itupun setelah semua orang di rumah itu makan. Bukan makan bersama. Limah juga canggung dengan pakaian bagus yang ia kenakan.

Hari-hari di rumah Karim tak begitu melelahkan. Ia hanya membantu pekerjaan rumah Emak Karim. Itupun bersama saudara jauh Karim yang ikut tinggal di rumah itu. Boleh dikata tak banyak pekerjaan yang mesti dilakukan oleh Limah. Mungkin begitulah seharusnya seorang menantu di keluarga berada.

Tapi tak lama Limah bisa menikmati semua itu. Ia merasa ada yang salah dengan pernikahan ini. Ia tak menemukan seorang lelaki pemimpin pada sosok Karim. Karim bukan pemimpin, bukan pekerja keras. Ia memang bangun sangat pagi. Sebelum subuh Karim sudah bangun, mandi, lalu pergi ke mesjid. Di situ ia salat malam dan mengaji hingga subuh tiba, saat dia kemudian mengumandangkan azan. Pulang dari mesjid Karim makan pagi, lalu pergi tidur lagi. Karim tak bekerja. Jarang sekali dia membantu ayahnya.

Ayah Karim juga jarang bekerja. Ia lebih banyak di rumah atau di mesjid untuk beribadah. Ayah Karim memang sudah cukup uzur. Di samping itu dia punya karyawan yang mengurus usahanya. Tapi Karim tidak uzur. Dalam fikiran Limah, dia harus bekerja.

Beberapa bulan di rumah keluarga Karim barulah Limah paham. Karim memang merasa tak perlu bekerja. Untuk apa bekerja? Karim anak tunggal. Semua milik ayahnya akan diwarisinya kelak. Karim merasa nyaman dengan itu semua. “Kita harus mensyukuri semua ini, Limah. Karena itulah aku banyak-banyak beribadah.”begitu penjelasan Karim suatu ketika. Karim memang tekun beribadah. Lebih tekun dari ayahnya.

Limah tak bisa membantah Karim. Kadang ia merasa keterlaluan. Ia hidup berkecukupan. Suaminya bukan lelaki jahat. Karim seorang ahli ibadah. Mengapa Limah masih merasa tak puas? Limah kadang merasa ketidakpuasannya itu tak patut. Tapi ia juga risau.

Limah ingin seorang suami yang pemimpin, yang membangun hidupnya dengan tangannya sendiri. Bukan benalu yang seumur hidup menumpang makan dari orang lain. Karim harus dipisahkan dari induknya, ia harus berhenti menyusu. Limah mengajak Karim pindah, punya rumah sendiri. Karim sontak menolak.

“Apa perlakuan ayah dan emakku padamu tak patut?” tanya Karim tak paham.

“Bukan itu.” jawab Limah. “Aku ingin rumah tangga kita mandiri.”

Emak Karim lebih keberatan lagi. Ia merasa Limah terlalu banyak menuntut pada anak kesayangannya. “Rupanya kebaikan kami selama ini tak membuatmu senang, Limah. Hidup macam apa lagi yang kau inginkan?” katanya pedas.

Ayah Karim sepertinya lebih paham. Ia memerintahkan Karim mengelola salah satu kebunnya yang belum jadi benar. Di atas tanah kebun itu sudah berdiri rumah sederhana, yang sudah ada saat kebun ini dibeli oleh ayah Karim. Dengan perbaikan di sana sini rumah itu jadi layak dihuni sebuah keluarga baru.

Berumah sendiri ternyata tak membuat Karim berubah. Ia tetap Karim yang lama, yang enggan bekerja. Ia lebih suka berlama-lama di mesjid untuk beribadah. “Harta tak akan kita bawa mati, berapapun banyaknya kita punya.” kata Karim. “Hanya pahala amal ibadah yang membawa kita ke akhirat.”

Limah tak membantah Karim. Percuma. Karim benar dalam setiap kata yang dia ucapkan. Itulah yang diajarkan agama, Limah tahu itu. Tapi dia juga tahu bahwa sikap Karim tak betul. Hanya saja dia tak tahu cara membantah atau membetulkan sikap itu. Sesekali mereka kehabisan belanja karena kebun yang belum jadi ini tak banyak benar hasilnya. Limah berharap kekurangan itu menyadarkan Karim. Sayangnya Karim kembali berdalil. “Barang siapa yang bertakwa pada Allah, Dia akan menjadikan baginya jalan keluar, dan rezekinya datang dari sumber yang tak ia duga.” Jalan keluar itu memang ada, lagi-lagi dari ayah Karim. Lebih tepat lagi dari emaknya. Karim merasa itulah ganjaran atas ibadahnya.

Limah mencoba cara lain. Ia bekerja sendiri. Ia bekerja di kebun, menebas rumput, menggali selokan. Bahkan ia menebang pohon. Berharap Karim malu. Tapi itupun tak mengubah Karim.

Karim bahkan bergeming saat ayahnya jatuh miskin. Usaha penggergajian kayu ternyata gagal. Ayah Karim ditipu orang. Hartanya habis untuk membayar hutang yang dibuat oleh penipu itu. Yang tersisa hanya sebidang kebun tempat di mana rumahnya berdiri. Ayah Karim sudah merasa uzur untuk membangun kembali usahanya. Ia hanya ingin hidup seadanya dari hasil kebun, yang tak cukup banyak untuk dibagi pada keluarga Karim. “Semua ini ujian dari Allah. Setelah kesulitan akan datang kemudahan.” Karim berdalil lagi.

Kesulitan mulai terasa saat bantuan dari emak Karim tak lagi mengalir lancar. Tapi Karim tetap Karim yang berdalil, bukan Karim yang bekerja. “Ada sahabat Rasul ahli ibadah. Ia tak bekerja, hanya beribadah. Saat ia pulang ke rumah, penggiling gandumnya bergerak sendiri, mengeluarkan gandum. Tiada henti, sampai sahabat tadi menyentuh penggiling itu.” katanya mengutip sebuah riwayat.

Limah mulai tak peduli pada dalil-dalil Karim. Ia bekerja keras. Ia bekerja lebih keras saat dia sadar bahwa dia sedang hamil. Dia berharap dia celaka karena terlalu keras bekerja, agar Karim sadar. Tapi Karim tetap berdalil. Limah kembali bekerja tak lama setelah ia melewatkan empat puluh hari seusai melahirkan. Bayi merahnya ia letakkan di atas daun kelapa, bernaung pohon saat ia bekerja. Sementara Karim tekun di mesjid.

Kesabaran Limah akhirnya sampai pada batasnya. “Ceraikan aku, Bang.” pintanya saat bayinya berumur lima bulan. Karim menolak. Tapi Limah tak peduli. Ia memilih untuk pergi meninggalkan Karim. Akhirnya Karim pun tak kuasa menahan. Ia menjatuhkan talak.

Hari masih gelap saat Limah turun dari rumah. Di punggungnya tergantung bungkusan kain batik berisi beberapa helai bajunya dan baju anaknya. Dalam gelap ia berjalan menuju dermaga di muara kampung, tempat ia akan naik kapal menuju ke kota. Limah tak ingin banyak orang kampung tahu soal perceraian dan kepergiannya. Matahari baru menyembul di ufuk timur saat kapal dari kecamatan datang, menjemput penumpang yang hendak ke kota.

Sepanjang perjalanan kapal menuju kota Limah seperti memutar kembali cerita hidupnya. Masih terbayang saat-saat bahagia saat dia naik pelaminan bersama Karim. Ia bukan tak sayang pada Karim. Karim yang selalu lembut pada Limah dan anaknya. Beberapa kali ia menyesal telah membuat keputusan untuk meninggalkan Karim. Tapi bayangan Karim yang selalu berdalil membuat Limah kembali tegar.

Limah yakin pada tujuannya. Ia tak ke kota untuk jadi pembantu. Ia akan berdagang sayur. Selama bekerja sebagai pembantu dulu ia sering disuruh belanja ke pasar. Di situ dia kenal dengan beberapa pedagang sayur, dan sedikit banyak dia belajar dari mereka. “Menjual sayur tak sulit, aku pasti bisa.” Limah meyakinkan dirinya.

Dirabanya stagen yang melilit pingangnya. Di situ tersimpan harta berharga satu-satunya milik Limah. Sebuah gelang peninggalan emaknya. Gelang itu hendak dia jual untuk modal berdagang sayur. Limah tak tahu berapa hasil yang akan dia dapat penjualan gelang itu. Yang ia tahu hasilnya tak akan cukup untuk menyewa rumah tempat tinggal. Tapi Limah tak peduli. “Aku akan tidur di pasar seperti pedagang lain.” tekadnya. Sejenak ia merasakan kegetiran saat teringat bahwa anaknya masih bayi dalam gendongannya. Anak itu berhak tidur di tempat yang lebih layak, bukan di tengah gunungan sayur di pasar. “Maafkan Emak ya nak.”

Genap sehari semalam sudah sejak Limah meninggalkan rumahnya, meninggalkan Karim. Kapal yang ia tumpangi sudah merapat di dermaga. Limah teringat saat ia naik ke dermaga ini lima tahun yang lalu. Saat itu dia masih seorang gadis kecil. Kini ia menggendong bayi di pelukannya. Mesin kapal sudah dimatikan, tapi telinga Limah masih berdengung akibat mendengar raung mesin kapal sehari semalam.

Perlahan Limah naik ke dermaga, menuju mesjid terdekat untuk salat subuh. Di situ Limah hendak menunggu sampai hari terang, saat toko-toko sudah buka. Ia akan mencari toko emas untuk menjual gelangnya.

Limah membasuh mukanya di tempat wudu. Sejuk menyapu wajahnya. Ia sedikit menggigil saat mencuci kaki. Ia menoleh ke dermaga tempat ia naik tadi, berlatar fajar yang mulai menyingsing. Limah menatap dermaga berselimut fajar itu. Ada sedikit rasa khawatir dalam hatinya. Hanya sedikit. Selebihnya adalah keyakinan. Keyakinan bahwa hari-hari esok akan cerah, secerah harapan yang dijanjikan fajar itu.

Epilog: Haji Kecil Pulang Kampung

Epilog: Haji Kecil Pulang Kampung

“Mou, dame da! Dame! Kimi wa dame da. Hakase ni naran. Zettai naran. Indonesia he kaere!!” Sensei mengucapkan itu dengan muka merah padam karena marah. Lalu ia keluar ruangan sambil membanting pintu keras-keras. Aku berdiri terpaku di depan layar yang memantulkan slide Power Point dari note book yang teronggok di atas meja di depanku.

Dadaku terasa sesak, rasanya berat benar untuk sekedar menarik sebuah nafas pendek. Kata-kata Sensei tadi masih bergaung di telingaku. Aku sungguh tak suka dengan apa yang dia ucapkan. Aku tak pernah suka dengan apa yang diucapkan Sensei saat marah. Tapi aku lebih tak suka lagi saat sadar bahwa perkataan Sensei itu benar. Seperti kata dia, aku memang tak pantas jadi doktor. Lebih baik segera pulang ke Indonesia sekarang, membuang semua mimpi yang aku bangun selama puluhan tahun.

Kagayama, associate professor muda dan seorang perempuan masih duduk di salah satu kursi yang mengelilingi ruang seminar ini. Dia menatapku iba. Tatapan itu membuat aku semakin menderita. Perempuan cantik yang saat ini sedang menatapku itu berumur persis sama denganku. Aku lahir seminggu lebih dulu dari dia. Tapi lihatlah. Ia seorang associate professor. Tentu saja ia sudah doktor, sudah sejak dulu. Adapun aku, masih berdiri di sini, menghadapi ujian, dan seperti kata Sensei tadi, sepertinya aku akan gagal. Gagal dalam ujian, gagal menjadi doktor. Dan aku harus pulang dengan tangan hampa.

“Hasan san. Cobalah duduk sejenak, minum air putih, tenangkan pikiran. Kata-kata Sensei tadi jangan diambil hati. Hasan san pasti bisa.” Kagayama menghiburku dengan kata-kata lembut, sambil berusaha tersenyum. Tapi matanya tak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. Aku tak berusaha membantah kata-katanya, meski aku sangat tak setuju dengan apa yang dia ucapkan. Demi menghormati sikap simpatik Kagayama, aku menuju kulkas di ruang sebelah, mengambil sebotol air dingin dan menuangkannya ke dalam gelas, lalu kembali ke ruang seminar dan duduk minum air dingin itu. Sedikit ada rasa nyaman saat air dingin mengguyur tenggorokanku, Tapi rasanya sedikit kesejukan itu jauh dari cukup untuk mengimbangi sesak yang menghantam dadaku.

Sesak itu sebenarnya sudah aku rasakan sejak masuk ke ruangan ini sejam yang lalu. Hari ini aku harus latihan presentasi untuk ujian akhir program doktorku, yang akan berlangsung lusa. Aku harus presentasi di depan dewan profesor penguji di Tohoku University, kampus tempat aku terdaftar sebagai mahasiwa. Saat ini aku masih berada di Kumamoto University, tempat Sensei, profesor pembimbingku bekerja. Dia tadinya bekerja sebagai associate professor di Tohoku University sebelum pindah ke sini untuk menjadi professor. Besok aku harus menempuh 2 jam perjalanan dengan bis menuju Fukuoka, dari situ naik pesawat ke Sendai selama kurang lebih dua jam, lalu satu jam lagi naik bis ke pusat kota. Lusa pagi aku akan menjalani ujian.

Latihan ini entah sudah yang keberapa kali. Aku tak ingat. Presentasiku sendiri sudah beberapa kali berlangsung. Dalam program doktor ini aku pertama kali harus presentasi di depan dewan penguji sebelum mulai program. Di situ aku harus menjelaskan apa yang hendak aku teliti selama tiga tahun ke depan, mengapa hal itu perlu diteliti, apa arti pentingnya, serta rencana kasar program riset yang harus aku tempuh. Setelah itu aku harus menyampaikan laporan kemajuan saat aku duduk di pertengan tahun kedua program doktorku. Lalu tiga bulan yang lalu aku menghadapi ujian tahap akhir bagian pertama. Saat itu aku menyerahkan draft disertasi dan mempresentasikan isinya. Di situ dewan penguji memberi masukan-masukan yang dianggap perlu untuk memberi sentuhan akhir pada program risetku, dan atas masukan itu aku melakukan berbagai eksperimen, serta berbagai analisa data tambahan.

Kini aku sedang menghadapi ujian yang paling penting, yaitu ujian tertutup yang terakhir. Kalau aku lulus dalam ujian ini, aku harus menuntaskan penulisan disertasi. Setelah ini aka nada ujian terbuka. Konon ujian terbuka ini tinggal formalitas. Artinya tidak ada orang yang tidak lulus jadi doktor kalau ujian tertutup sudah dia lampaui. Tapi itu konon kabarnya. Kenyataannya mungkin berbeda. Bisa saja ada yang tidak lulus. Dan kini aku tidak punya kemewahan memikirkan apakah ujian terbuka itu sekedar formalitas atau bukan. Aku sedang menghadapi tiang gantungan. Vonis sudah dijatuhkan Sensei tadi: kamu tidak bisa jadi doktor!

Aku sama sekali tak menganggap kata-kata Sensei tadi main-main atau ancaman kosong. Lima tahun sekolah di Jepang membuat aku tahu bahwa para sensei itu adaalah kami sama, dewa. Di tangan merekalah nasib mahasiswa berada. Senseilah yang menentukan apakah seorang mahasiswa lulus atau tidak, bahkan dapat pekerjaan atau tidak. Lima tahun berada di bawah bimbingan Sensei yang ini membuat aku tahu bahwa aku memang tidak mengerti apa-apa tentang Ilmu Fisika, bidang studi yang aku tekuni lebih dari sepuluh tahun belakangan ini. Setiap presentasi yang aku buat, baik dalam seminar rutin di grup riset, laporan kemajuan penelitian, seminar pada pertemuan ilmuwan Fisika seluruh Jepang, serta berbagai presentasi dalam rangka ujian doktorku, sering berakhir dengan marah-marahnya Sensei karena presentasiku mengecewakan. Aku banyak gagap dalam menjawab berbagai pertanyaan.

“Parah benar kamu ini. Hal sederhana dan mendasar seperti ini saja pun kamu tidak bisa menjelaskan.” cela Sensei selalu. Sederhana menurut Sensei, tapi tidak sederhana bagiku. Sebenarnya prestasi risetku tak buruk. Banyak data penting yang sudah aku hasilkan. Dari data itu aku sudah berhasil menerbitkan beberapa makalah di jurnal internasional yang menjadi syarat utama untuk lulus doktor. Ini bukan perkara mudah, banyak mahasiswa yang masuk tahun ketiga tanpa satu terbitan makalah sama sekali. Namun masalahku adalah, aku hanya mampu melihat data milikku, serta makalah-makalah yang sudah aku terbitkan sebagai potongan-potongan cerita. Aku kesulitan merangkumnya menjadi cerita yang utuh dan menarik.

“Dewan penguji itu ingin berdiskusi. Setelah melihat deretan data kamu, mereka ingin tahu lebih banyak, ingin melihat bagaimana kumpulan data itu kamu susun menjadi sebuah bangunan yang indah. Tapi yang bisa kamu sajikan kepada mereka hanyalah tumpukan batu bata.” Kritik Sensei itu benar-benar aku rasakan. Aku tidak punya gambar bangunan milikku. Karenanya aku tak bisa menunjukkannya kepada dewan penguji. Aku memang tak pantas jadi doctor.

Kuletakkan gelas air dingin yang tadi aku bawa dan kini sudah kosong, aku tarik notebook ke depanku. Aku pelototi lagi satu per satu slide presentasiku. Tapi aku tak tahu harus berbuat apa. Aku lihat slide itu dari halaman pertama, kedua, ketiga, seterusnya hingga halaman terakhir. Lalu aku kembali lagi melihat halaman pertama. Tapi semua itu tak mengubah apa-apa. Aku tetap bingung, tak tahu apa yang harus aku lakukan. Di seberangku Kagayama duduk membaca sebuuah buku, tapi sikapnya mulai menunjukkan bahwa dia sudah merasa tak nyaman.

Pintu ruang seminar terkuak, sosok Sensei muncul di sana. “Perbaikin segera slide-slide presentasi kamu, pertajam isinya. Kagayama san, tolong dia. Kalau kamu tidak berhasil membuatnya bagus, saya tidak bisa berbuat apa-apa di depan dewan penguji. Saya tidak akan membela kamu karena tak mungkin. Jadi saya serahkan sepenuhnya keputusan kepada mereka.” Setidaknya kali ini Sensei tidak bicara dengan suara tinggi, dan muka tak merah padam. Saat itu sudah pukul tujuh malam, Sensei langsung pulang setelah member perintah itu. Dua jam berikutnya aku habiskan bersama Kagayama, menerima saran-saran perbaikan dia. Lalu tiga atau empat jam berikutnya aku habiskan untuk melakukan revisi sesuai hasil diskusi dengan Kagayama tadi. Saat semuanya aku anggap usai malam sudah mulai beranjak menuju pagi. Aku naiki sepedaku, pulang ke apartemen.

Saat aku tiba istriku sedang terbangun, menyusui anak kami Sarah, yang saat itu berumur 4 bulan. Istriku tampak sangat lelah. Ia menyusui anak kami sambil setengah tertidur. Nyaris tak bergerak saat aku mencium pipinya, ia hanya membelai rambutku sekilas, sekedar menunjukkan bahwa ia sadar aku menciumnya. Aku tak ingin menganggunya lebih lanjut. Segera aku berwudhu, salat Isya, lalu tidur. Besok jam sepuluh pagi aku harus melakukan perjalanan penting.
Ujian yang aku takutkan berlangsung dua hari berikutnya. Tak banyak perubahan. Aku tetap tergagap di sana sini, kesulitan menjawab pertanyaan dari dewan penguji. Seperti kata Sensei, mereka tak mengajukan pertanyaan mengada-ada untuk menguji. Mereka hanya ingin tahu lebih jauh, bagaimana hubungan suatu fakta dengan yang lain, Mereka ingin menikmati indahnya bangunan yang aku hasilkan, tapi yang bisa aku tampilkan hanyalah bangunan bopeng dengan lubang menganga di sana sini. Sepertinya mendengarkan presentasi dan berdiskusi denganku sungguh melelahkan buat mereka, karena mereka tak bisa menikmatinya. Ujian selesai, Sensei melepasku pulang ke hotel dengan senyum sinis. Aku tak begitu peduli kali ini.

Esoknya aku dan Sensei kembali ke Kumamoto. Sensei terbang dari Sendai menuju Osaka, lalu berganti pesawat menuju Kumamoto. Sedangkan aku, demi menghemat ongkos, terbang ke Fukuoka, kemudian melanjutkan perjalanan dengan bis ke Kumamoto. Tapi aku senang, karena dengan begitu aku tak perlu bersama Sensei. Tiba di Kumamoto nanti sekitar jam satu siang, aku berniat langsung pulang ke apartemen, memeluk istri dan anakku.
Tapi aku bertemu dengan sebuah kebetulan yang celaka. Di dalam bis kota yang membawaku pulang aku bertemu dengan Sensei. “Segera mampir ke kampus, benahi lagi data kamu yang kemarin banyak dikritik penguji. Saya tunggu hasilnya besok pagi.” Begitu perintah sang dewa. Mati aku. Buyarlah harapan untuk segera memeluk anak istri. Dengan gontai aku turun dari bis di depan kampus, segera menuju meja kerjaku untuk melaksanakan perintah Sensei. Ketika semua itu usai, hari sudah menjelang pagi lagi. Pulang sejenak untuk berganti baju dan istirahat seadanya, pagi hari aku kembali ke kampus untuk lapor kepada Sensei.

Hari itu hampir setengah hari aku berada di kamar kerja Sensei, berdiskusi di ruang yang penuh asap rokok. Sensei tak pernah berhenti merokok. Lalu pertemuan ditutup dengan informasi: naskah akhir disertasi harus diserahkan dua minggu lagi. Maka dua minggu itu adalah dua minggu yang nyaris tanpa pulang ke apartemen menemui anak dan istriku, tanpa tidur pula. Aku seperti sudah pergi jauh dari anak istri, tak tahu bagaimana kabar mereka. Pun mereka tak tahu kabarku. Aku sedang berada di alam lain yang tak memungkinkan kami saling berkomunikasi. Berat rasanya meninggalkan bayi mungilku dan istri cantikku. Istriku tentu lebih berat lagi karena ia harus mengasuh anak sendiri. Tak ada lagi peluk cium manis saat aku pulang sejenak ke aprtemen untuk berganti baju. Yang ada tinggal protes dan tangis istriku. Semua itu harus aku abaikan. Kupingku aku tutup, mata aku butakan. Dengan wajah tanpa perasaan aku selalu bergegas kembali ke kampus, menjauh dari istri dan anakku.

Ujian terbuka yang berlangsung dua minggu setelah tenggat waktu penyerahan naskah disertasi berlangsung tak berbeda dengan ujian-ujian sebelumnya. Ujian kali ini dihadiri oleh hampir semua profesor dan associate di departemen tempat aku belajar, ditambah siapa saja yang mau hadir. Aku melihat wajah-wajah kecewa, tak puas. Tapi aku sudah tak peduli. Aku lakukan apa yang aku bisa, terserah bagaimana hasilnya.
Usai ujian aku tak berani bertanya kepada Sensei tentang hasil ujian.

Pikiranku kini Cuma satu: pulang. Aku sudah membeli tiket sekali jalan untuk kami bertiga. Aku akan pulang, bertemu Emak. Membawa anak dan istriku, memperkenalkan bayi kami. Hanya itu yang kupikirkan. Bagaimana setelah itu? Entahlah.

Waktu aku duduk di penghujung tahun pertama program dokor dan baru pindah dari Sendai ke Kumamoto, suatu hari Sensei memanggilku. “Kamu kalau selesai doctor apakah harus segera pulang ke Indonesia?” tnya Sensei ketika itu.

“Tidak juga.” jawabku. “Sebenarnya saya ingin mencari kesempatan untuk ikut program post-doctoral.” Program post-doctoral adalah program riset bagi dokto baru, jangka waktunya selama satu hingga dua tahun. Banyak universitas dan lembaga riset menawarkan program itu dengan gaji yang lumayan menarik.

“Kalau begitu nanti kamu ikut program post-doctoral di sini, di bawah saya selama dua tahun, ya.” pinta Sensei. “Universitas ini punya dana untuk membiayai program itu.”

“Tapi saya ingin ke Eropa. Perancis, Jerman atau Belanda.” Sebenarnya sejak dulu aku ingin ke Eropa. Aku ingin kuliah master dan doktor di sana, namun Jepang menawarkan beasiswa lebih dahulu. Aku memilih untuk mengambil yang sudah lebih pasti.

“Boleh, kamu boleh ke Eropa setelah dua tahun bekerja dengan saya.” Tak ada gunanya membantah Sensei lagi. Tanpa persetujuan dia aku tak akan bisa lulus doktor. Tanpa rekomendasi dia aku tak akan bisa masuk program post-doctoral. Kini tentu aku ingat dengan semua janji itu. Tapi bagiku itu masa lalu. Tak terpikir lagi soal post-doctoral. Aku toh akan pulang tanpa gelar doktor.

Seminggu menjelang keberangkatan Sensei memanggilku ke ruangannya. Dia tersenyum. “Baru saja tadi saya mendapat telepon dari Tohoku. Hari ini dewan guru besar bersidang. Kamu dinyatakan lulus program doktor. Selamat!” Aku tak percaya dengan apa yang aku dengar. Sejenak aku terdiam tak mampu berkata apapun. Lalu aku tersadar, segera aku menunduk member hormat pada Sensei.

“Terima kasih atas bimbingan selama ini.”

“Gokuro sama deshita.” jawab Sensei. Itu sebuah ucapan yang biasa diucapkan orang Jepang untuk menghargai jerih payah seseorang. “Segera kamu ke administration office untuk mengurus berkas post-doctoral kamu.”

“Apakah saya juga diterima untuk program post-doctoral?”

“Secara resmi masih akan disidangkan. Tapi tak usah khawatir, karena saya sudah membahasnya dengan dekan.”

Bergegas aku keluar dari ruangan itu, mencari tempat untuk sujud syukur. Selebihnya aku hanya mengambil formulir di administration office, lalu segera pulang untuk memeluk istri dan anakku.

Minggu terakhir itu aku jalani dengan penuh gairah. Dua tiga hari aku harus lembur membuat proposal riset selama program post-doctoral, tapi suasana kerja sudah berbeda seratus delapan puluh derajat dengan suasana bulan lalu. Kemudian, di suatu pagi buta di akhir bulan Agustus, di penghujung musim panas, bertiga kami bertolak menuju Fukuoka. Transit dua hari di Kuala Lumpur, aku memberi seminar motivasi kepada adik-adik kelas pada program beasiswa yang membiayai kuliahku, di mana saat itu mereka sedang menjalani pelatihan bahasa Jepang. Sejenak aku memandu istriku melancong di kota itu, lalu kami meneruskan perjalanan ke Jakarta.
Di Jakarta kami disambut dengan sukacita oleh keluarga istriku. Lalu dua hari kemudian kami melanjutkan perjalanan ke Pontianak, kotaku. Deru pesawat berdenging di teingaku saat aku menjauh darinya, lalu bertiga kami menuju ruang kedatangan tempat saudara-saudara dan kemenakanku menunggu. Tak sabar aku segera membebaskan diri dari kerumunan sanak saudara yang masih rindu, aku giring mereka masuk mobil. Aku ingin segera menemui Emak.

Di rumah Ude Dol Emak berada. Ke situlah kami menuju. Saat mobil tiba aku gendong anakku turun, aku gandeng tangan istriku masuk ke rumah. Aku dapati Emak sedang duduk di lantai di ruang tengah. Emak. Rambutnya sudah putih semua. Pandangan matanya lurus ke depan, tampak kosong. Dua kali stroke membuat sebagian ingatan Emak hilang.

Segera aku berikan anakku ke istriku, aku bersimpuh di hadapan Emak, mengambil kedua tangannya, menciumnya. Lalu aku peluk Emak, dan aku bersujud meletakkan kepalaku di atas pangkuannya. Kemudian aku bangkit duduk kembali. Aku ambil kedua telapak tangan Emak, aku tempelkan di kedua pipiku. Terasa benar kelembutan tangan ini. Kedua tangan inilah yang memandikan aku, menggosok pipi dan badanku di hari pertama aku hendak masuk sekolah dulu. Aku genggam dekap erat kedua punggung tangan Emak dengan telapak tanganku, sedang telapak tangan Emak tetap menempel di pipiku.

“Mak, aku dah balik. Aku dah selesai sekolah, Mak. Haji kecil Emak sudah berhasil mengejar cita-cita.” ucapku dalam tangis.

“Alhamdulillah. Allahu Akbar.” jawab Emak sambil menangis pula. “Kini Emak tinggal menunggu satu lagi: Kau menjadi haji yang sebenarnya.”
“Insya Allah, Mak. Insya Allah.” Lalu aku ambil anakku dari gendongan istriku. Aku tarik istriku lebih dekat ke Emak. Aku peluk mereka bertiga.

Prolog: Haji Kecil

Prolog: Haji Kecil 

Hasanudin Abdurakhman

Aku sangat menyukai panggung kecil itu. Jangan bayangkan sebuah pentas. Tak ada
apa-apa di situ. Hanya aku. Duduk di tengah kerumunan orang, di sebuah kenduri.
Orang-orang memandangku dengan kagum. Karena sebelumnya mereka sudah pernah
melihat aku melakukannya. Jadi mereka sudah kagum sebelum aku mulai lagi.

Ku tarik napasku pelan. Tak ada gugup, karena aku sudah terbiasa. Lalu aku
mulai. “Allahuma inna nas’aluka salamatan fi diin…………..”

Ya aku mulai membaca doa. Itulah pertunjukanku di panggung kecil itu. Mungkin
kau akan heran, apa pula istimewanya orang membaca doa sampai perlu dikagumi.
Nah, itulah kau. Kau tak tahu siapa aku. Aku anak berusia empat tahun. Sudah
pandai baca doa. Di kampungku, orang tua pun tak banyak yang pandai baca doa.

Aku sebenarnya tak pernah belajar baca doa. Emak lah yang sebenarnya sedang
belajar, baca doa selamat. Ia belajar dari sebuah buku berhuruf Arab-Melayu,
dibimbing oleh Ayah. Nah, Ayahku imam mesjid. Dia banyak hafal doa-doa. Doa
selamat, doa arwah, bahkan doa yang panjang macam doa rasul pun dia hafal.

Emak belajar, mebaca doa itu keras-keras. Tiap lepas magrib dia membaca doa itu,
mencoba menghafalnya. Ayah duduk di samping, membetulkan bacaan Emak kalau dia
keliru. Tapi tak selalu begitu. Kadang Ayah mengajar Emak sambil berbaring di
tempat tidur, melepas lelah. Ayah sering begitu. Kalau mengajari kami mengaji
dia juga tak selalu duduk di samping kami. Dari atas tempat tidur dia mendengar,
lalu membetulkan kalau bacaan kami keliru. Sepertinya Ayah hafal apa yang kami
baca.

Begitulah, hari-hari aku mendengar Emak belajar membaca doa. Tanpa aku sadari
aku yang lebih dahulu hafal. Emak terkesima.

Kalau ada kenduri aku selalu ikut Ayah. Ayah selalu diundang, karena dia imam
mesjid. Tak ada dia mungkin tak ada kenduri. Karena dia lah yang membaca doa.
Ada orang lain, satu dua orang yang juga bisa. Tapi orang kampung biasanya lebih
suka meminta Ayah membaca doa.

Di suatu kenduri, Emak juga ikut. Ayah duduk di ruang depan, bersama banyak
hadirin yang laki-laki. Para perempuan biasanya duduk di ruang dalam. Kadang
sambil membantu menyiapkan hidangan yang hendak dikirim ke ruang depan. Aku
duduk di dekat Emak. Tak kuduga akan Emak minta sesuatu padaku.

“Bacalah doa.” pintanya.

Terkejut aku. “Apa? Doa apa?”

“Doa. Doa selamat yang sudah kau hafal itu.“

Aku pikir Emak memintaku menggantikan Ayah. Dan itu tak patut. Tak patut anak
kecil membaca doa. Tapi Emak menatap mataku, dan berkata sekali lagi, “Bacalah
doa tu.”

Aku patuh. Lalu aku baca doa selamat itu.

“Allahumma inna nas’aluka salamatan fi diin……….”

Aku baca pelan-pelan. Emak tersenyum. Aku suka melihat senyum itu. Aku lanjutkan
bacaan dengan suara lebih keras. Orang-orang di sekitarku mulai sadar bahwa aku
sedang membaca doa. Mereka yang tadinya larut dalam berbagai perbincangan,
sontak diam, mendengarkan bacaanku. Aku makin semangat. Aku baca doa yang
panjang itu sampai selesai.

“Aduh pintarnya……..“ seorang ibu di dekatku memuji.

“Iya, pintar benar. Awak yang tua ini pun tak pandai berdoa.”

“Betul. Kalah kita oleh budak kecil ni.”

Sekarang aku tahu mengapa Emak menyuruhku baca doa.

Begitulah berulang-ulang. Di setiap kenduri, Emak menyuruhku baca doa. Dan
orang-orang memuji. Tak hanya memuji. Orang-orang memberiku uang. Sepuluh dua
puluh rupiah. Bahkan ada yang memberi seratus. Senang betul aku. Selanjutnya
Emak tak perlu lagi menyuruhku. Orang-orang biasanya langsung memintaku. Aku
turuti permintaan mereka. Aku suka duduk di tengah panggung itu, dengan
orang-orang duduk di sekeliling, mendengar aku membaca doa.

+++
Ayah dan Emak senang betul kalau aku diminta membaca doa. Dan Emak tahu, di
kenduri orang akan mencari aku. Meminta aku duduk di tengah-tengah, lalu aku
membaca doa. Emak tak mau anaknya tampak lusuh. Dia belikan aku baju bagus. Juga
peci bagus. Lengkaplah aku, duduk di panggung dengan peci yang bagus.

Ah, aku harus ceritakan ini. Emakku seorang pedagang. Ia berdagang baju, kain
sarung, batik. Juga obat, bedak. Macam-macam lah. Semua yang tak dijual di toko
Cina di kampung kami dijual Emak. Hampir tiap bulan Emak pergi ke kota untuk
membeli barang dagangan. Lalu menjualnya di kampung.

Maka tak sulit bagi Emak untuk membelikan baju untukku. Teluk belanga kecil,
warna putih. Juga kain sarung berukuran kecil. Lengkap dengan peci kecil. Hampir
tak ada anak di kampung yang punya itu. Mereka semua memakai sarung orang
dewasa, yang tentu saja terlalu besar untuk mereka. Hanya aku yang pakai sarung
kecil, yang pas benar untukku.

Kelak Emak menambah sesuatu yang membuatku makin senang. Peci haji. Peci putih,
yang biasanya hanya dipakai oleh pak haji. Ayah, meskipun imam mesjid tak
memakai peci itu, karena belum haji. Tapi aku memakainya. Alangkah senangnya.
Sejak itu orang tak lagi memanggil namaku saat meminta aku membaca doa. Pak Haji
Kecil, itulah panggilanku.
“Pak Haji Kecil, mari duduk di sini, baca doa untuk kami.”

+++
“Pintar betul budak, ni”

“Tak usah heranlah. Ayahnya pintar.”

“Kelak kalau besar mesti dia juga akan pergi sekolah ke kota, macam
abang-abangnya.“

Itulah omongan orang di sekitarku yang sering aku dengar, usai aku membaca doa.
Abangku memang sekolah di kota. Tak banyak orang kampung kami yang sekolah,
apalagi sampai ke kota. Umumnya anak kampung kami hanya sekolah sampai kelas dua atau tiga. Sesudah itu dia sudah cukup umur untuk diajak bekerja di ladang atau
kebun kelapa. Jadi tak perlu sekolah. Hanya sedikit yang mau sekolah sampai
tamat kelas enam. Dan hampir tak ada yang menyambung ke SMP. Karena kalau
menyambung harus ke kecamatan atau ke kota.

Aku tahu kalau kelak aku tamat SD aku akan menyambung ke kota. Emak sudah
berjanji pada kami anak-anaknya. Semua akan menyambung. “Biar nanti kalian bisa
jadi pegawai.” begitu kata Emak.

Aku suka benar membayangkan kalau kelak aku sekolah ke kota. Sesekali aku pernah
ikut Emak ke kota. Aku suka sekali. Banyak mobil, becak, honda. Semua itu tak
ada di kampung kami. Karena itu tak banyak anak kampung yang pernah melihatnya.
Aku pernah melihatnya berkali-kali. Jadi aku sering bercerita kepada anak-anak
kampung tentang ini.

Tapi aku ingin melihat lebih. Di kampung kami ada beberapa orang haji. Kalau
hendak pergi haji mereka mengundang kenduri. Tentu, aku Pak Haji Kecil juga
hadir, dan membaca doa. Kelak kalau mereka pulang dari haji, mereka juga
mengadakan kenduri lagi. Di situ nanti banyak cerita tentang perjalanan haji.
Yang aku dengar, orang perlu ke kota untuk pergi haji. Dari situ terus naik
kapal terbang ke Jakarta. Lalu ke Mekah. Di Mekah inilah haji dilaksanakan.

“Mak, aku ingin ke Mekah.“ kataku suatu hari pada Emak.

“Bagus lah tu. Kelak Haji Kecil ini pasti jadi haji besar.”

“Bukan cuma naik haji, Mak.”

“Dah tu, nak apa?”

“Aku nak sekolah, Mak. Lepas SD di sini, nanti ke kota. Lepas tu ke Jakarta.
Lalu nyambung sekolah ke Mekah.“

Emak tersenyum senang.

“Tentu-tentu. Anak Emak yang pintar ini mesti sekolah tinggi.”

Sejak itu, usai membaca doa, aku selalu menceritakan rencana itu kepada semua
pendengarku. Aku akan sekolah tinggi, sampai ke Mekah!

Pak Mansur, Guru yang tak Dikenang

Pak Mansur, Guru yang tak Dikenang
Hasanudin Abdurakhman

Badannya kecil dan kurus. Mukanya juga kecil, runcing, dihiasi kumis tipis. Ia suka tersenyum menyeringai. Sungguh tak menyenangkan melihat senyum itu. Terlebih setelah terlebih dahulu tahu siapa pemilik wajah dan senyum itu. Dia adalah Pak Mansur, salah satu guruku saat sekolah di Madrasah Tsanawiyah. Cerita tentang Pak Mansur tak pernah berupa cerita penuh inspiratif, tentang seorang guru yang cerdas dan baik hati. Pak Mansur adalah kebalikan dari semua cerita yang baik-baik tentang guru.

Ia guru kesenian, sebuah mata pelajaran yang sering dianggap tak penting. Karenanya kalau tak ada yang bisa, siapapun boleh mengajar mata pelajaran itu. Pak Mansur bukanlah seniman. Ia bahkan tak mengerti sama apapun tentang seni. Maka ketika ia mengajar kesenian, ia membawa buku dan menyuruh kami menghafal isinya. “Andante adalah bla bla bla. Adagio adalah bla bla bla.” Aku bukan tak suka menghafal, aku jago dalam hal ini. Pelajaran Quran dan Hadist adalah pelajaran hafalan. Setiap minggu kami disuruh menghafal beberapa ayat serta hadist beserta isinya. Menghafal ayat dan hadist sungguh menyenangkan bila kau sedikit mengerti bahasa Arab. Dalam banyak hal, menghafal ayat dan hadist memperkaya pengetahuan bahasa Arabku dengan berbagai kosa kata dan bentuk kalimat baru. Tapi hafalan yang disodorkan Pak Mansur sungguh tak ada manfaatnya. Aku benar-benar harus menghafal gerombolan kata-kata, tepat sampai ke titik koma, tanpa paham sedikitpun maknanya.

Tapi itu belum seberapa. Pak Mansur ini bukan pribadi yang menyenangkan. Ia suka menghina murid yang bodoh: murid yang tak mampu menghafal pelajarannya. Ia sering menghukum, bahkan memukul. Tapi pada saat yang sama dia juga membenci anak-anak yang pintar. Berbagai cara ia lakukan untuk memojokkanku ketika tak berhasil membuat aku terhukum oleh hafalan. Akhirnya, meski cemerlang dalam pelajaran lain, nilai mata pelajaran kesenianku tak pernah beranjak dari angka 6 atau 7.

Semua murid memandang buruk pada Pak Mansur. Bahkan sebelum kami masuk sekolah itu kami sudah memandangnya buruk. Kebetulan abangku sekolah di madrasah ini, dua tahun di atasku. Banyak dari kami yang begitu. Kami sudah mendengar cerita tentang Pak Mansur dari abang-kakak, sebelum kami masuk. Yang tak punya abang atau kakak sekolah di sini segera tahu tentang keburukan itu di hari pertama mereka masuk. Dalam gunjingan itu anak-anak tak lagi menyebutnya Pak, melainkan Si Mansur.

Saat aku kelas tiga, ada Rusli temanku yang cukup badung. Badannya tinggi besar. Waktu itu dia sudah masuk sasana tinju, menjadi petinju amatir. Suatu hari, entah karena apa, ia marah besar pada Pak Mansur. Ia lalu menghajarnya. Sebuah pukulan telak menghantam perut Pak Mansur, sampai tubuhnya melengkung menahan sakit. Kami segera melerainya. Rusli pun tampaknya tak berani bertindak lebih jauh dari itu. Aku sempat terenyuh melihat kondisi Pak Mansur. Tapi simpati itu segera sirna. Kuliah wajah Pak Mansur tetap angkuh saat berlalu dari situ.

Aku mengira Rusli akan dikeluarkan karena perbuatannya itu. Tapi ternyata tidak. Rupanya guru-guru lain pun tak berpihak pada Pak Mansur.

Kini, saat aku dewasa, aku selami lagi sosok Pak Mansur. Ia mungkin hanyalah seorang dengan bakat yang sangat minim. Tak ada keahlian selain baca tulis. Tak ada kelebihan. Bahkan ia mungkin tak diberi berkah yang cukup memahami bagaimana ia harus bersikap terhadap orang lain. Bagaimana menjadi sosok yang menyenangkan.

Ia menjadi guru bukan karena pintar, melainkan karena tak ada orang lain lagi yang mau mengambil pekerjaan itu. Pada sisi lain, ia juga tak punya pilihan lain untuk hidup, selain menjadi guru. Ah, aku lupa menegaskan bahwa Pak Mansur adalah guru honorer, bukan pegawai negeri. Dan setahuku ia tak diangkat jadi pegawai, tak ada yang mengusulkan dia untuk diangkat. Juga tak pernah ada yang mengusulkan guru tetap untuk pelajaran kesenian yang tak penting itu.

Aku bahkan kesulitan mencari manfaat apa yang pernah aku peroleh dari dia. Ketika kemudian aku mulai menyukai musik klasik, aku menemukan istilah andante, adagio, dan sebagainya. Aku lalu teringat pada Pak Mansur. Mungkin hanya itu manfaat yang pernah aku dapatkan dari dia. Tapi bagaimanapun juga, dia adalah guru. Setidaknya, dengan adanya dia sekolah bisa memenuhi syarat untuk menyelenggarakan pendidikan.

Dengan honor yang cuma beberapa puluh ribu rupiah sebulan itu tentu tak mungkin bagi Pak Mansur untuk meningkatkan kemampuannya. Ia bahkan mungkin tak tahu bahwa kemampuannya harus ditingkatkan. Ia hanya tahu bahwa ia harus pergi ke sekolah untuk mengajar.

Tapi tidakkah itu penting? Ya, dengan dibayar murah, dibenci oleh murid-murid, tak disenangi oleh rekan-rekan sesama guru, Pak Mansur tak pernah absen dari mengajar. Ia tetap hadir menjalankan amanah yang dia terima. Tidak protes pada gajinya yang kecil, pun tidak menuntut untuk diangkat jadi pegawai negeri. Ia rela penjadi pelengkap yang tak penting. Pelengkap yang sering dilupakan orang.

Ada banyak guru seperti Pak Mansur. Guru yang membuat kita sakit hati, yang membuat kita tak ingin mengingatnya. Tapi sekali lagi, mereka tetap guru kita, bagian dari seluruh guru yang pernah hadir di depan kita, memberi pelajaran yang membuat kita jadi kita yang sekarang.

Untuk Pak Mansur dan guru-guru yang terlupakan: Selamat hari guru!

NASRUN

NASRUN
Hasanudin Abdurakhman 

Perpustakaan ini masih seperti yang kuingat saat aku rutin mengunjunginya sepuluhan tahun yang lalu. Tentu ada yang berubah. Gedungnya sudah dipugar jadi lebih besar. Dan otomatis menjadi lebih baru. Tapi bila aku masuk ke tempat di mana buku-buku disimpan, suasananya tak berubah. Ada deretan rak buku berjajar panjang seakan tak ada ujungnya. Di sisi deretan rak itu memanjang pula sebuah ruangan, tempat kursi dan meja diatur berjajar. Di kursi-kursi itu papa pengunjung duduk membaca. Di situlah dulu, sepuluhan tahun yang lalu, aku selalu menghabiskan waktu.

Aku pertama kali ke perpustakaan ini diajak abangku. Ini bermula dari keluhanku.

„Pelajaran yang menyebalkan.“

„Pelajaran apa?“ tanya abangku.

“Bahasa Indonesia.”

“Hah???” abangku tampak kesal.

Aku tahu mengapa dia kesal. Dia seorang guru mata pelajaran tersebut. Tentu bukan di sekolahku. Aku murid kelas satu, di sebuah madrasah tsanawiyah. Abangku guru SD. Dia mengajar sambil kuliah di Fakultas Keguruan, jurusan bahasa Indonesia. Keluhanku seperti gugatan terhadap dia pribadi.

„Iyalah. Orang disuruh menghafal. Aku benci hafalan.“

„Apa yang harus kau hafal?“

„Penulis sastra. Si anu mengarang novel anu, si Fulan mengarang buku ini. Juga menghafal ringkasan isinya. Untuk apa pelajaran macam ini? Tak ada faedahnya.“

“Kalau pelajaran matematika kita disuruh berhitung. Otak kita terpakai. Lagipula hitung-hitungan itu terpakai untuk hidup sehari-hari. Ini, sudahlah tak pakai otak, tak ada pula faedahnya.” kataku melanjutkan omelan.

Abangku terdiam.

Esoknya, sore hari dia ajak aku pergi.

„Ikut aku.“ katanya sambil mengeluarkan sepeda motornya.

„Ke mana?“

„Ikut saja lah.“

Aku menurut. Dan dia membawaku ke perpustakaan. Hari itu pengalaman pertamaku ke perpustakaan. Luar biasa. Aku suka perpustakaan. Di situ aku temukan buku-buku yang hanya tertulis judulnya di buku pelajaran bahasa Indonesia. Buku-buku itu benar-benar ada. Meski ditulis oleh para Pujangga Baru puluhan tahun yang lalu, ternyata masih ada dan masih bisa kubaca. Luar biasa. Dan cerita-cerita yang mereka tulis itu begitu memukau. Aku bisa duduk berjam-jam tanpa merasakan waktu berlalu kalau sedang membaca buku-buku itu. Beberapa buku bahkan aku baca berulang kali.

Sejak itu pelajaran bahasa Indonesia tak lagi membosankan. Aku tak cuma hafal siapa mengarang novel apa. Tapi aku juga tahu apa isi novel-novel itu. Sebut saja. Aku tahu semua. Tak Putus Dirundung Malang, Hulubalang Raja, Harimau, Harimau. Sutan Takdir, Nur Sutan Iskandar, Marah Rusli. Sebut saja. Aku bukan Cuma hafal nama berikut karya mereka, aku sudah membaca semuanya. Di kelas aku bisa mendahului guruku ketika dia menjelaskan tentang pujangga-pujangga itu.

Tak cuma itu. Aku membaca banyak buku lain. Buku sejarah, termasuk sejarah Islam. Buku-buku agama yang biasanya hanya dibaca oleh orang-orang dewasa. Kelak ketika aku sudah SMA aku mulai membaca buku-buku politik.

Begitulah. Selama sekolah, hingga tamat SMA aku rutin mengunjungi perpustakaan ini. Terakhir aku berkunjung ke sini adalah beberapa hari menjelang keberangkatanku ke Yogya untuk kuliah. Kini aku kembali lagi ke kota ini. Usai kuliah dan jadi dosen. Aku ke perpustakaan ini untuk mencari beberapa buku, sekaligus bernostalgia.

Aku cari beberapa buku yang aku butuhkan. Lalu aku duduk di salah satu kursi, lalu mulai membaca. Tenggelam dalam buku yang aku baca, aku tak sadar betul sudah berapa lama aku duduk ketika lenganku digamit seseorang. Ketika aku menoleh, di sebelahku rupanya sudah duduk seseorang. Dia menatapku sambil tersenyum tipis.

“Nasrun!!!” nyaris aku berteriak, spontan.

„Masih ingat rupanya kau sama aku.“

„Bah, mana mungkin aku lupa. Sedang apa kau di sini?“ tanyaku spontan. Seingatku Nasrun dulu bukan pengunjung perpustakaan.

„Aku kerja di sini.“

„Oh ya? Bagian apa?“

„Tukang sapu.“ jawab Nasrun tenang, dan tetap tersenyum. Aku agak terkejut dengan jawaban itu, dan berusaha menyembunyikannya.
Lalu kami berbincang tentang masa lalu, juga tentang masa kini.

+++
Nasrun teman sekelasku waktu kelas satu tsanawiyah. Dia duduk persis di belakangku. Agak pendiam, tapi selalu tersenyum tipis. Ada bercak-bercak putih di wajahnya, mirip panu. Dua hal itu, senyum dan bercak putih, selalu aku ingat tentang Nasrun. Makanya saat melihat wajahnya tadi mulutku spontan meneriakkan namanya. Dua ciri itu masih melekat di wajahnya.

Meski wajahnya selalu tersenyum, kisah Nasrun adalah kisah sedih. Ia tak cukup pintar untuk mengikuti pelajaran sekolah. Hampir semua pelajaran dia tak bisa. Dia langganan kena pukulan rotan oleh guru matematika Juga langganan disuruh menunggu di luar kelas karena gagal menghafal hadis saat pelajaran quran hadis. Tak semua guru kami galak, memang. Ada beberapa guru perempuan yang tak pernah menghukum kalau murid tak bisa. Tapi tetap saja Nasrun sepertinya tak nyaman sekolah.

Nasrun baru tampak senang pada jam istirahat, saat kami bisa bermain di halaman sekolah. Juga saat pelajaran olah raga. Di pelajaran itu tak ada yang tak bisa. Semua bisa bermain.

Tapi Nasrun juga suka saat piket membersihkan WC. Dia kebetulan satu kelompok dengan aku. Bersama empat lima orang siswa lain aku membersihkan seluruh WC sekolah. Termasuk WC guru. Aku tahu Nasrun suka benar kalau mendapat giliran membersihkan WC. Itu karena ada ibu guru bahasa Inggris, wali kelas kami. Dia sangat sayang padaku. Semua anak di kelas kami tahu hal itu. Dan mereka pun tahu sebabnya. Karena aku pintar.

Tiap kali usai membersihkan WC, ibu guru itu selalu memanggilku ke ruang guru. Di mejanya sudah tersedia bubur kacang hijau, atau jajanan. Itu sisa makanan yang disediakan untuk para guru. Makanan itu diberikan padaku setiap aku selesai membersihkan WC. Tak semua anak dipanggil, karena makanan itu memang tak banyak. Biasanya cuma aku, dan anak lain yang kebetulan sedang di ]dekat aku. Karena itu Nasrun selalu berada di dekat aku kalau kami kebetulan sedang piket.

Makanan yang diberikan ibu guru itu selalu aku sambut dengan sukacita. Perutku sering lapar kalau sedang sekolah. Aku tak dapat uang jajan seperti kebanyakan kawan-kawanku. Tak ada uang untuk jajan. „Jangan minta-miinta uang jajan, ya. Kita orang miskin. Kau bisa sekolah saja sudah bagus.” Itu pesan Emak berulang-ulang waktu aku mau berangkat ke kota untuk melanjutkan sekolah usai lulus SD. Di kota aku tinggal bersama abang-abangku yang juga sedang sekolah.

Saat perut lapar, melihat kawan-kawan jajan kue-kue atau bakso, sangat tersiksa rasanya. Ada satu dua kawan yang mau berbaik hati berbagi makanan. Tapi tak sering. Aku pun malau kalau sering-sering ikut makan. Nah, saat perut lapar, makanan dari ibu guru tadi terasa sungguh lezat.

Aku suka Nasrun karena dia pendiam. Tak pernah mengganggu orang. Karenanya aku selalu sedih kalau melihat Nasrun dihukum. Tapi tak banyak yang bisa aku lakukan untuk membebaskannya dari hukuman.

Suatu hari, menjelang setahun sejak kami masuk madrasah ini, Nasrun tak masuk sekolah. Ini bukan yang pertama. Sesekali ada saja di antara kami yang tak masuk. Karena sakit atau halangan lain. Aku dan Nasrun pun begitu. Tapi kali ini berbeda. Sehari, tiga hari, lalu seminggu Nasrun tak masuk sekolah. Minggu berikutnya pun Nasrun tak masuk.

„Ke mana Nasrun?“ tanya wali kelas kami.

Tak ada yang menjawab. Kami semua tak tahu. Sakitkah dia?

“Siapa yang rumahnya dekat rumah Nasrun?“

“Saya, Bu.” jawabku.

“Nah, cobalah pulang nanti kau mampir ke rumahnya. Tanyakan kenapa dia tak masuk sekolah. Bilang sama dia, Ibu meminta dia kembali masuk sekolah.“

Aku mengangguk.

Siang itu aku sebenarnya sudah lapar dan ingin segera sampai ke rumah. Tapi ibu sudah menyuruhku, jadi harus aku laksanakan. Lagipula aku juga ingin tahu ada apa dengan Nasrun. Jadi aku tak langsung pulang.

Rumah Nasrun ada di sebuah gang, berjarak tiga gang dari rumahku. Aku hanya tahu itu. Tak pernah sebelum ini aku mampir ke rumah Nasrun. Setelah bertanya kepada orang barulah aku tahu persis di mana rumah Nasrun. Dan aku segera menuju ke situ.

Rumah itu sederhana sekali. Jauh lebih sederhana dari rumah kecil yang aku tempati. Beratap daun nipah, berdinding papan tak bercat. Lantainya juga papan. Rumahku juga berlantai papan. Tapi rumahku beratap sirap dan berdinding semen. Nasrun tak ada di rumah. Ia aku temukan sedang bermain layang-layang di sebuah tanah kosong tak jauh dari rumahnya. Aku langsung mendatanginya.

Nasrun agak terkejut melihatku. Dia tentu tak menyangka aku datang. Dia lalu tersenyum tipis, tapi tetap melanjutkan main layang-layang.

„Mengapa kau tak sekolah?“ tanyaku tanpa basa-basi.

Nasrun diam.

„Hey, menagapa kau tak sekolah?“

Nasrun tetap diam.

„Orang tua kau tak punya duit untuk bayar?“

Nasrun menatapku. Lalu dia mengangguk.

„Kau masuklah dulu besok. Ketemu ibu wali kelas. Mungkin dia bisa membantu. Dia kan baik sama kita.“

Nasrun kini menggulung tali layang-layangnya. Ia hendak menyudahi permainan. Aku tunggu sampai dia selesai. Lalu kami sama-sama duduk.

„Untuk apa kau sekolah?“ tanya Nasrun.

„Aku ingin lulus, menyambung, lalu kuliah. Kalau sudah jadi sarjana, kita kan bisa dapat kerja bagus. Gaji cukup. Nanti bisa bantu orang tua kita.“

„Nah, itu kau.“

„Kau kenapa?“ tanyaku.

„Aku tak bisa begitu. Naik kelas saja aku belum tentu. Lulus juga belum tentu. Melanjutkan ke SMA? Kuliah? Belum lagi soal biayanya. Ah, jauh kali itu mimpi.“

Aku diam. Nasrun benar.

„Aku bisa bantu kamu belajar.“ Aku mencoba menyemangati, tapi tak terlalu meyakinkan. Nasrun cuma diam, tersenyum tipis.

Itulah hari terakhir aku bertemu Nasrun, sebelum hari ini.