Selendang Nabi

– Selendang Nabi –

Bagi sebagian terbesar rakyat di negeri ini, agama adalah masalah keyakinan. Namun di lain fihak bagi sebagian kecil orang, agama merupakan bisnis yang sangat menguntungkan. Setidaknya itulah yang terjadi, ketika saya menyaksikan traksaksi yang sangat menggelikan di kantor client minggu kemarin. Salah seorang counterpart saya di organisasi itu, katakanlah Pak S, adalah penggemar batu permata kelas berat. Ia bukan sekedar kolektor, namun bahkan membeli bahan mentah dan menggosoknya sendiri dirumah.

Beberapa waktu lalu Pak S bertugas ke Ambon. Disana ia membeli sebongkah batu mentah yang disebutnya batu Bacan, seharga enam juta rupiah. Sesampai dirumah ia memotong bongkahan tersebut menjadi duapuluh bagian. Ada yang dibeli kawan-kawannya, seharga antara tujuh ratus ribu hingga satu juta per potong, ada pula yang digosoknya sendiri. Salah satu hasil gosokannya pagi itu ditunjukkan kepada saya di meja kerjanya. Teksturnya indah, warnanya aneh, kombinasi antara hijau, coklat gelap dan abu-abu. Continue reading

200.000 SPBU Asing Katanya?

– 200.000 SPBU Asing Katanya? –

Dalam acara Security Summit SKK Migas – KKKS Migas di Nusa Dua Bali 20 November lalu, seorang pembicara bertanya secara blak-blakan dari atas podium. “Saya challenge anda-anda yang berasal dari perusahaan migas asing. Sanggupkah perusahaan anda berlaku seperti Pertamina, mendistribusikan BBM subsidi ke seluruh pelosok Indonesia, dan dibayar entah kapan oleh pemerintah?.”

Tak ada yang merespon tantangan tersebut dan tentu saja begitu. Mendistribusikan BBM di Indonesia bukan perkara mudah. Secara kasar saya sudah melihatnya di Pertamina selama tiga tahun terakhir, dalam perjalanan saya memberikan security awareness di unit-unit bisnisnya yang tersebar di berbagai penjuru tanah air. Jadi betapa menyedihkan jika ada yang percaya, bahwa akan ada 200.000 SPBU asing yang segera beroperasi di Indonesia. Mereka akan buka disini, iya. Jumlahnya banyak, memang. Namun 200 ribu unit?. Memangnya Shell mau, jika disuruh membuka SPBU di Rangkasbitung atau Pagar Alam?.

Perusahaan Migas asing pasti berfikir business oriented. Mereka, seperti pelaku bisnis lainnya, sangat pragmatis. Yang paling masuk akal adalah membuka SPBU di kota-kota besar padat penduduk, padat kendaraan bermotor dan murah dari sisi biaya distribusi. Dari sini saja sudah bisa diperkirakan barrier entry yang akan dihadapi : ketersediaan lahan, izin operasional dari Pemda setempat, Amdal, HO dan entah apa lagi.

Jadi 200.000 unit?. Barangkali seekor babi akan dapat terbang dalam waktu dekat ini, namun saya sangat meragukannya.

Sawangan, 1 Desember 2014

Akankah Kita Hanya Mau Menjadi Penonton Saja?

– Akankah Kita Hanya Mau Menjadi Penonton Saja? –

Haryoko R. Wirjosoetomo

Saya pertama kali “berurusan” dengan Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK tiga tahun lalu, ketika seseorang disana mengudang meeting di kantornya. Waktu itu mereka memerlukan pelatihan Risk Management dan saya spontan menyanggupinya. Hanya saja, di ujung pembicaraan tersirat ada sedikit keraguan pada dirinya.

“Begini Pak Haryoko. Kami memperoleh nama anda dari seorang mantan penyidik kami. Ia telah resign dari Polri dan sekarang bekerja sebagai loss prevention manager di …. (ia menyebut nama sebuah perusahaan migas). Kapan hari ia bercerita bahwa team loss prevention di perusahaannya memperoleh beberapa pelatihan dari Bapak dan kami sangat tertarik juga mengenainya. Hanya saja ada satu hambatan disini…”

“Apa hambatannya kalau saya boleh tahu?.”

“Professional fee bapak, saya sudah mendengar dari kawan kami itu, benar-benar jauh diluar budget KPK. Sebagai lembaga negara, kami terikat pada peraturan-peraturan tentang honor pengajar…”

“Itu sama sekali bukan hambatan pak. Saya tunduk kepada peraturan negara saya sendiri. Silakan bapak beri honor mengajar kepada saya sesuai dengan ketentuan yang berlaku…”

“Tapi tidak ada pengurangan materi kan pak?,” selorohnya sambil tertawa.

“Yang terbaik pak, saya pastikan yang terbaik…”

“Wah, terimakasih banyak pak…”

Terimakasih kepada saya?. Saya menjadi malu hati, seharusnya sayalah yang berterimakasih kepada mereka. Apapun motivasi pribadinya, mereka telah berani menempatkan diri pada posisi yang berbahaya, in the line of fire, untuk memperbaiki negeri ini. Karena itulah saya tidak mau hanya sekedar menjadi penonton saja, harus turut berkontribusi dengan apa yang saya punya.

– 000 –

Tiga minggu lalu didalam taksi, dalam perjalanan dari hotel kekantor Husky-CNOOC Madura Limited di Surabaya, saya ditelepon seseorang dari Samarinda. Ia memperoleh nama saya dari seorang sahabat, yang menjabat sebagai Security-Safety Manager sebuah gedung perkantoran prestisius di Jakarta. Singkat kata, ia memerlukan jasa konsultan pengamanan.

“Apakah bapak ada client di Kalimantan Timur pak?. Untuk referensi kami,” tanyanya.

“Ada beberapa pak. Kami menangani Pertamina RU V di Balikpapan, Pupuk Kaltim di Bontang, Vico Indonesia di Muara Badak dan KPC di Sangatta. Semoga referensi ini cukup pak…”

“Waduh, raksasa semua, kami hanya perusahaan kecil pak. Apa mampu kami membayar bapak?.”

“ Apa bidang bapak?.”

“Developer pak, kami sedang membangun sebuah perumahan kecil, sekitar tigaratus rumah. Hanya saja kami ingin memiliki sistem manajemen pengamanan yang bagus, sehingga penghuni merasa aman. Tapi melihat daftar pendek client bapak disini, saya jadi merinding….”

Saya tertawa mendengar gurauannya.

“Begini saja pak. Saya akan submit proposal ke Bapak, tanpa ada nilai jasa disana. Setelah itu saya akan ke Samarinda dan mendiskusikan dengan Bapak. Soal budget saya jamin akan sesuai dengan anggaran anda, jadi merindingnya disimpan saja untuk masalah lain…”

Saya sudah lama berkeinginan, perusahaan-perusahaan kecil dan menengah di Indonesia mampu menerapkan sistem manajemen pengamanan yang baik, yang selama ini hanya bisa dilakukan dan dinikmati oleh perusahaan-perusahaan multinasional. Banyak yang bersemangat, banyak yang menyadari tingkat kepentingan dan manfaatnya; namun selalu terbentur kendala yang sama. Tingginya biaya jasa konsultansi untuk membangunnya. Dan saya bertekad untuk urusan ini, tidak sekedar menjadi penonton saja.

– 000 –

Hidup di negeri ini, kita hanya disodori dua pilihan. Menjadi penonton dan merutuki kondisi negara saat ini, atau turut mengambil bagian untuk memperbaiki keadaan sesuai dengan kemampuan masing-masing. Semua pasti berujung kepada biaya, kendati langkahnya sangat sederhana semisal beralih dari konsumsi bahan bakar subsidi ke non subsidi. Namun yang terpenting adalah, sekecil apapun langkah itu, seminim apapun biaya yang dikeluarkan, akan mampu membuat perubahan yang berarti. Sebuah perubahan besar bisa dimulai dari serangkaian perubahan kecil-kecil dan grup ini amat sangat mampu untuk menginisiasinya, jika mau.

Sawangan, 29 November 2014

Parodi Buruh

PARODI BURUH

Haryoko R. Wirjosoetomo

Tanggal 28 besok organisasi2 buruh di Indonesia sepakat melakukan mogok massal. Tentu saja di sisi perusahaan, hajatan itu akan sangat menyibukkan mereka2 yang bertanggungjawab atas urusan SDM, sebuah posisi yang pernah saya duduki dulu. Sebuah posisi yang banyak meninggalkan kenangan, terutama yang menggelikan. Beberapa di antaranya adalah ini :

– Speedometer –

Saya mengawali karir saya di dunia kerja pada sebuah industri makanan. Hari pertama orientasi lapangan, saya masuk ke pabrik dan meninjau ruang oven. Kepala regu oven menyambut saya dan menjelaskan cara kerja mesinnya.

“Begini pak. Tiap pagi kami harus menghidupkan oven ini. Dipanasi sampai spidometernya mencapai angka 600. Setelah itu pelan-pelan spidonya diturunkan sampai angka 400 dengan cara mengecilkan apinya. Setelah itu oven siap digunakan…”

Spidometer, tentu saja saya paham bahwa yang dimaksudnya adalah termometer. Ketika melihat saya terus mengangguk-anggukkan kepala, kepala regu itu bertanya dengan nada puas : “Paham kan ya pak?.”

“Iya… saya sekarang paham. Pantas saja tembok ruangan anda retak2 begini, karena ovennya dipaksa harus berlari sekencang itu setiap hari…”

– Bangkit dari kubur –

Suatu pagi saya dikomplain oleh Direktur Produksi. Ia mengeluh di pabrik B tingkat absensinya sangat tinggi sehingga target produksi tidak tercapai. Selesai meeting dengannya, saya pun menelepon Manajer Personalia di pabrik B untuk menyiapkan data dan ruang meeting.

Setelah makan siang saya pun pergi ke pabrik B. Menarik… sangat menarik. Ada beberapa pekerja yang absennya memang keterlaluan, mayoritas alasannya adalah nenek atau kakek meninggal. Saya minta kepada Manajer Personalia untuk memanggil dan mengumpulkan mereka di ruang meeting.

Setahun setelah menjabat sebagai Direktur HRGA di grup industri tekstil itu, saya akhirnya tahu ada istilah2 tertentu di karyawan terkait dengan masakah disiplin. Jika dipanggil Kepala Shift untuk diberi teguran, mereka bilang dipanggil PM. Bilamana dipanggil Manajer Personalia, dibilangnya akan disidang oleh dewa kecil. Nah jika saya yang memanggil, mereka katakan dipanggil dewa besar dan itu gawat, karena dewa besar bisa memutuskan untuk memecat orang saat itu juga. Maka tak heran jika wajah mereka pucat semua.

“Kalian tahu tidak kenapa saya panggil?,” tanya saya kepada mereka.

“Tidak pak….,” sahut mereka serempak.

“Ini menyangkut absensi kalian, ijin nenek dan kakek meninggal…”

“Maaf bapak…,” sahut seorang dari mereka memberanikan diri. “Apakah ijin tidak masuk kerja karena nenek meninggal, apakah dilarang?.”

“Siapa yang bilang?. Tentu saja tidak. Saya panggil kalian karena saya merasa takjub, beruntung sekali kalian punya nenek dan kakek lebih suci daripada Yesus Kristus…”

“Maksud Bapak?.”

“Yesus meninggal sekali, dibangkitkan Tuhan untuk diangkat ke surga…,” kata saya pelan sambil menatap wajah mereka. ” Saya lihat kamu, Peno, tahun ini saja ijin nenek meninggal sepuluh kali. Artinya nenekmu itu meninggal, hidup lagi, meninggal, hidup lagi, meninggal dan hidup lagi…begitu?. Atau kamu punya penjelasan lain atas keajaiban yang baru saja saya temukan ini?.”

Memang, kadangkala rasa geli bisa mengalahkan rasa takut. Ruang meeting kecil itupun dipenuhi cekikikan tertahan, tanpa mereka tahu bahwa sayapun tengah berusaha keras menahan tawa yang nyaris meledak.

– Lembur libur –

Hari Minggu itu giliran saya yang masuk kantor, piket direksi. Belum lagi saya meletakkan tas kerja di meja dan hendak Baru saja saya meletakkan tas kerja di meja dan hendka menyeduh kopi, telepon saya berdering. Rupanya sekretaris saya menghubungi lewat interkom.

“Pak, pengurus serikat pekerja mau menghadap…”

“Ok, suruh mereka masuk ke ruang meeting direksi. Saya temui disana…”

Ada lima orang pengurus inti serikat pekerja di ruangan itu. Setelah berbasa-basi sebentar, sang ketua pun membuka pembicaraan.

“Kami menghadap bapak membawa aspirasi anak2. Hari ini kan hari minggu pak, berarti kita kerja lembur kan?.”

“Benar…,” sahut saya kepadanya. “Dan manajemen selalu memenuhi seluruh hak2 anda. Lalu apa masalahnya?”

“Hari ini juga bertepatan dengan hari Kenaikan Isa Al Masih, hari besar pak…”

“Benar, lalu?.”

“Anak2 bertanya, untuk hari ini dapat lembur dobel enggak pak?”

Sungguh saya tidak tahu, apakah saya harus menangis atau tertawa mendengar pertanyaan itu.

 

Depok, 27 Oktober 3013

Haruskah saya memikirkan kesehatan anak orang lain??

– Haruskah saya memikirkan kesehatan anak orang lain? –
Haryoko R. Wirjosoetomo

Lantaran pernah bekerja sebagai konsultan Unicef lah, yang membuat saya peka terhadap isu kesehatan anak, khususnya anak saya.

Sejak Bee mulai sekolah di Taman Bermain dua tahun lalu, saya sadar betul bahwa sekolah merupakan tempat ideal bagi transmisi penyakit menular di antara murid-muridnya. Itulah sebabnya jika Bee terkena flu, selalu saya karantina dirumah. Bagi saya sangat tidak fair untuk para orang tua lain, jika Bee tetap sekolah dan menulari kawan2nya, sementara saya bisa bertindak untuk mencegahnya.

Sikap tersebut saya komunikasikan kepada guru2 pengasuh dan orang tua lainnya. Saya berharap akan terbentuk keseragaman persepsi, sehingga kesehatan anak2 di sekolah itu bisa terjaga.

Seiring dengan berjalannya waktu, saya terbentur pada realita bahwa harapan saya ternyata terlalu tinggi. Para orang tua murid, yang rata2 berpendidikan sarjana, enggan repot2 mengambil langkah sama dengan saya. Anaknya sakit ya tetap masuk saja. Entah berapa kali Bee tertular flu, batuk dan pilek dari kawan2nya di sekolah.

Sejauh ini saya masih berusaha bersabar, hingga terjadi dua kasus yang membuat saya berang dan menegur keras manajemen sekolahnya; tatkala Bee tertular cacar air dan flu singapura dari kawannya. Bee sempat harus menjalani opname di rumah sakit gara2 itu. Dalam pertemuan rutin para orang tua murid, saya lontarkan kecaman cukup keras terhadap sikap cuek mereka. Eh, tidak mempan juga. Sama sekali tidak ada perubahan, sama sekali tidak bergeming.

Pagi ini, sehabis memandikan Bee yang tengah batuk-pilek dan merengek2 ingin sekolah, tanpa berpikir panjang saya ambil baju olah raga hari Jum’at nya, mengenakannya dan mengantarkannya ke sekolah. Memang anak saya sedang sakit flu, yang bisa menulari kawan2nya. Namun ngapain pula saya musti repot-repot memikirkan kesehatan anak orang lain, sementara mereka sama sekali tidak mau memikirkan kesehatan anak saya?.

Depok, 13 September 2013

Kutitipkan selembar nyawa ini kepadamu

– Kutitipkan selembar nyawa ini kepadamu –
Haryoko R. Wirjosoetomo

Dua hari lalu, tatkala saya dalam perjalanan pulang ke rumah. Di Cinere, tepatnya di perempatan Kompleks Angkatan Laut – Rumah Sakit Puri Cinere, saya harus melambatkan laju kendaraan lantaran di depan ada sebuah sepeda motor unik. Kendati hampir setiap hari saya bersua dengan motor sejenis, tetap saja unik bagi saya. Sebuah sepeda motor pengangkut rombong barang yang menjulang dari bawah ke atas. Saking besarnya, dari belakang Anda tidak pernah tahu siapa yang sedang duduk di sadel mengemudikan kendaraan itu; apakah manusia, beruk pemetik kelapa ataukah beruang sirkus yang terlepas dari kandangnya.

Setiap kali saya bersua dengan motor ajaib seperti itu, selalu saja muncul rasa takjub di hati. Bagaimana bisa mereka tetap survive dan selamat di tengah padatnya lalu-lintas Jakarta, dengan kendaraan yang setan pun enggan mengendarainya?. Bagaimana cara orang ini berbelok ke kiri dan kekanan, sementara ia tidak bisa memantau situasi di belakang tengkuknya?. Apakah cukup menghidupkan lampu sign dan ngeloyor begitu saja?. Hingga kini pertanyaan itu tinggal pertanyaan, karena belum pernah sekalipun melihat mereka berbelok tepat didepan hidung saya.

Sudah empat bulan ini saya menikmati kemewahan yang disediakan oleh Jokowi. Kopaja S602 jurusan Ragunan – Monas. Tentu saja bus ini berbeda kasta dengan Kopaja rongsokan itu; yang kelak semua sopirnya diduga keras masuk surga, karena setiap hari mampu memaksa ribuan penumpangnya khusuk berdoa kepada Tuhan.

Kopaja S602 adalah bus kota eksekutif, dilengkapi dengan AC yang adem. Istimewanya, ia berjalan di jalur khusus busway. Berangkat dari Ragunan, Kopaja S 602 akan menyusuri jalur busway hingga perempatan Kuningan, belok kanan masuk jalur busway Gatot Subroto, kemudian berbelok kiri ke Semanggi, masuk jalur busway Sudirman dan lurus hingga halte transit busway di Monas. Karena client saya berada di sepanjang Thamrin – Sudirman, keberadaan bus ini sangat menguntungkan. Apalagi sopir-sopirnya pun hasil seleksi ketat, katanya begitu, dari sekian banyak sopir-sopir Kopaja. Dijamin pasti nyaman.

Kenyataannya tidaklah demikian, maksud saya, perilaku sopirnya. Terlalu lama mengemudikan Kopaja tua membuat perilaku mereka terpola, sulit untuk dirubah hanya dengan training sehari dua. Tetap saja nubras-nubras, tetap saja semua lubang dijalur akan dilibas. Celakalah Anda jika duduk di kursi tepat diatas roda. Minimal potensial menderita usus buntu, maksimal terancam mengalami osteoporosis bagi wanita atau turun berok bagi penumpang pria.

Dan tadi siang saya ditelepon dealer mobil di Cinere. Ia dengan penuh semangat berbagi kabar gembira : era mobil murah akan tiba dan menawarkan indent suatu merek tertentu kepada saya. “Murah pak,” katanya penuh promosi, “para pengendara motor pasti akan beralih ke mobil kami…”

Pengendara motor beralih ke mobil?. Jika benar demikian, ini isu menarik. Sebagian besar pengendara motor di Jakarta tipikal selonong boy, gemar potong sana-sini sembari menitipkan nyawanya kesana kemari. Belajar dari perilaku sopir Kopaja Eksekutif yang tidak banyak berubah dibanding Kopaja tua, bisakah perilaku pengendara motor yang migrasi ke mobil ini berubah?. Akankah mereka mengendarai mobil, dengan perilaku bikers?. Apa jadinya jika kendaraan roda empat diperlakukan pengemudinya bagai kendaraan roda dua?. Akankah angka kecelakaan kendaraan roda empat akan meningkat?.

Saya berharap fenomena ini tidak terjadi, saya berharap masyarakat mampu dengan cepat menyesuaikan diri. Namun begitulah, barangkali seekor babi pun akan bisa terbang dalam waktu dekat, namun saya sangat meragukannya.

Depok, 11 September 2013

Memerangi Korupsi : Empat Syarat Agar Tuan Selamat

Memerangi Korupsi : Empat Syarat Agar Tuan Selamat
oleh: Haryoko R. Wirjosoetomo

Prof. Dr. Rudi Rubiandini ditangkap KPK. Orang yang sebelumnya mempersilakan KPK untuk masuk ke SKK Migas, malah ditangkap tamu yang justru diundangnya. Inilah ironi upaya memerangi korupsi, itulah ironi yang akan dihadapi oleh orang yang berniat bersih-bersih dalam organisasi tanpa persiapan diri.

Sepuluh tahun berprofesi sebagai investigator fraud, memberikan banyak pemahaman kepada diri saya tentang apa yang bernama keserakahan manusia. Tentang kemunafikan, tentang begitu mudah orang mengangkat sumpah atas nama Tuhan untuk menyatakan dirinya bersih, sementara bukti-bukti di lapangan jelas menunjuk kepadanya. Tentang kelicikan, dimana orang akan melakukan segala cara untuk menghentikan proses investigasi dan saya sudah merasakan pahit-getirnya.

Sepuluh tahun berprofesi sebagai investigator fraud, cukup memberi bekal kepada saya untuk membuat sebuah rambu-rambu yang harus dipenuhi oleh client, sebelum saya memutuskan menerima kontrak darinya. “Anda gila ya…,” kata seorang President Director dengan takjub. “Anda akan saya beri kontrak sangat besar, namun malah memberikan syarat kepada saya…” Pernyataan seperti itu sering saya dengar dan saya tidak peduli. Biasanya setelah mendengar empat syarat yang saya ajukan, mereka akan terdiam, saling pandang, atau samar memucat.

Dan saat itulah saya akan menyandarkan tubuh saya ke kursi, membiarkan pikiran mereka bekerja membuat kalkulasi, sebelum akhirnya memberikan jawaban.

“ Syarat Pertama. Tuan harus bersih, tidak setitikpun bermain di perusahaan ini. Karena jika Tuan sampai bermain, orang-orang yang ada di jalur investigasi saya akan berusaha mencari-cari kesalahan tuan dan melaporkannya ke Komisaris atau bahkan pemilik. Tuan bisa ditendang keluar dari organisasi ini…”

“Saya jamin diri saya bersih,” jawab calon saya client saya dengan yakin. “Nah, apa syarat keduanya?”

“Syarat kedua, kehidupan pribadi tuan harus bersih. Tuan tidak boleh ada isteri simpanan, wanita idaman lain atau hobby berkunjung rutin ke mabes polri. Tahu maksud saya tuan?. Mabes polri, mangga besar pol belok kiri. Panti pijat layanan premium yang hanya menerima pembayaran dengan kartu kredit, pelacuran terselubung dengan PSK kelas tinggi impor dari Hongkong, Ukraina, Uzbekistan dan berbagai tan tan yang lain…”

“Ehm, boleh saya tahu alasannya?.”

“Jika saya mau memukul tuan, paling gampang adalah menghajar lewat keluarga tuan, khususnya isteri tuan…” saya selalu menjawab lugas untuk pertanyaan itu. “Salah satu pekerjaan yang nantinya saya lakukan adalah surveillance, mengintai kegiatan sehari-hari orang yang saya investigasi. Saya punya team yang sangat bagus, dengan orang2 pro untuk itu. Dan diluar sana banyak orang2 yang menjual jasa serupa, surveillance, lengkap dengan peralatan pengintai dari Eropa Timur berkualitas tinggi, yang sekarang ini banyak dijual murah di Glodok. Bisa Tuan bayangkan, isteri, anak atau mertua Tuan dirumah mendadak menerima foto Tuan ukuran 10 R, sedang berdua2an di kamar hotel dengan PSK dari Ukraina?.”

“Eh ya, anda benar. Lalu yang ketiga?.”

“Syarat ketiga. Tuan harus mau dikawal oleh team pengamanan saya, bersenjata api, duapuluh empat jam dalam sehari. Tuan dan keluarga akan kami awasi dibawah prosedur pengamanan yang sangat ketat. Mengapa harus demikian?. Jika orang ini sudah mencuri sepuluh atau duapuluh milyar dari perusahaan Tuan, percayalah, ia akan mempertimbangkan betul opsi untuk menyewa hitman. Saat ia mencari-cari kesalahan tuan di kantor tidak memperoleh, mencari-cari kelemahan kehidupan pribadi tuan tidak dapat, cara tersingkat untuk menghentikan investigasi adalah dengan membunuh Tuan.”

“Benarkah?.”

“Di Indonesia mulai bermunculan orang-orang yang bekerja sebagai hitman. Dengan biaya tigapuluh sampai limapuluh juta,mereka bahkan siap untuk menembak neneknya sendiri. Pro, dijamin bersih, tidak akan terkait ke penyewanya. Saya yakin Tuan tidak ingin menyandang predikat almarhum dalam waktu dekat kan?”

Tawa hambar meledak.

“Yang terakhir?.”

“Salah satu ciri khas fraudster dari Indonesia, Tuan. Jika ia mencari-cari kesalahan Tuan tidak dapat, mencari-cari kesalahan pribadi Tuan tidak ada, mau menembak Tuan ternyata tuan dilindungi team bersenjata, maka ia akan menempuh cara terakhir.”

“Apa itu?.”

“Mereka akan pergi ke dukun. Tenung, santet, guna-guna, Tuan pasti tahu maksud saya.”

“Eh, apakah Anda akan menyediakan sistem proteksinya juga?.”

“Nah ini masalahnya Tuan. Saya tidak bisa menyediakannya, karena yang mampu menyediakan hanya satu.”

“Siapa?.”

Saya tidak akan menjawab apa-apa, hanya menunjuk ke atas.

Saya percaya melayani client dengan jujur adalah landasan utama dalam berbisnis. Meskipun karena kejujuran itu, dari sepuluh calon client yang mengundang saya, belum karuan bisa memperoleh sebuah kontrak dari mereka.

Nah, Tuan bertekad tampil di garis depan perang melawan korupsi?. Tips ini saya berikan kepada Tuan, gratis selamanya.

Depok, 17 Agustus 2013