Menebak Arah Muhammadiyah Ke Depan

Menebak Arah Muhammadiyah Ke Depan
Agam Fatchurrochman

 

Bagaimana arah Muhammadiyah ke depan, sebenarnya bisa dilacak dari pemikiran para pemimpinnya. Hanya karena Muhammadiyah kepemimpinnnya kolegial, maka corak pemikiran satu ketua umum misalnya, tidak akan berpengaruh banyak terhadap arah Muhammadiyah. Muhammadiyah sudah punya institutional ideology atau organisational culture yang kuat. Hanya branding yang bisa terpengaruh.

Sistem pemilihan PP Muhammadiyah sebenarnya cukup moderat, memadukan model pemilihan langsung, dengan memilih 13 formatur, yang dianggap berilmu dan berakhlak baik, yang kemudian 13 formatur tersebut memilih satu diantaranya sebagai ketua umum dan lainnya ketua (sepertinya ini primus inter pares, dituakan diantara yang setara). Tapi namanya ketua umum, pasti lebih bergengsi. Continue reading

Bunga Bank

Bunga Bank
Hasanudin Abdurakhman

 

Riba diharamkan dalam Quran dan hadist. Tak ada masalah soal itu. Pertanyaannya, apakah bunga bank itu sama dengan riba?

Ijtihad itu adalah usaha untuk mengisi ruang kosong, atau gap, antara kehidupan manusia di Arab, pada abad VII, dengan manusia masa kini. Kehidupan pada zaman itu masih sederhana. Maka hukum untuk mengaturnya pun sederhana. Belasan abad kemudian kehidupan menjadi lebih rumit, maka aturan yang dirumuskan pada masa itu tak lagi cukup. Kini diperlukan aturan-aturan tambahan yang baru. Maka dilakukanlah ijtihad.

Ada beberapa cara melakukan ijtihad. Salah satunya adalah qiyas, atau analogi. Sesuatu yang ada pada masa kini dicarikan padanannya pada masa lalu. Keduanya dianggap sama atau sebangun. Hukum ditetapkan berdasarkan kesamaan antar keduanya, dengan mempertimbangkan perbedaannya. Continue reading

Kaisha, Kenshu Genba

Kaisha, Kenshu Genba

Hasanudin Abdurakhman

Atasan di perusahaan tempat saya bekerja dulu adalah seorang lulusan SMA. Dia menjabat sebagai managing director yang bertanggung jawab atas seluruh operasi perusahaan di Indonesia. Presiden direktur yang berkedudukan di Jepang lebih banyak berfungsi formal saja. Sebelum ditugaskan ke sini jabatan dia di kantor pusat adalah deputy factory manager. Di kantor pusat sendiri seluruh kegiatan perusahaan dikendalikan oleh managing director, yang merangkap sebagai presdir anak perusahaan di Indonesia. Presdir di kantor pusat, yang sekaligus adalah pemilik perusahaan, hanya berperan dalam hal-hal yang sifatnya strategis saja.

Beberapa waktu yang lalu saya mendapat kabar bahwa managing director kantor pusat pensiun, dan akan digantikan oleh mantan atasan saya ini. Ini sebuah kejutan, karena ia menyalip beberapa orang lain yang sudah direktur ke posisi puncak, padahal ia sendiri selama ini belum menjadi direktur.

Continue reading

Selendang Nabi

– Selendang Nabi –

Bagi sebagian terbesar rakyat di negeri ini, agama adalah masalah keyakinan. Namun di lain fihak bagi sebagian kecil orang, agama merupakan bisnis yang sangat menguntungkan. Setidaknya itulah yang terjadi, ketika saya menyaksikan traksaksi yang sangat menggelikan di kantor client minggu kemarin. Salah seorang counterpart saya di organisasi itu, katakanlah Pak S, adalah penggemar batu permata kelas berat. Ia bukan sekedar kolektor, namun bahkan membeli bahan mentah dan menggosoknya sendiri dirumah.

Beberapa waktu lalu Pak S bertugas ke Ambon. Disana ia membeli sebongkah batu mentah yang disebutnya batu Bacan, seharga enam juta rupiah. Sesampai dirumah ia memotong bongkahan tersebut menjadi duapuluh bagian. Ada yang dibeli kawan-kawannya, seharga antara tujuh ratus ribu hingga satu juta per potong, ada pula yang digosoknya sendiri. Salah satu hasil gosokannya pagi itu ditunjukkan kepada saya di meja kerjanya. Teksturnya indah, warnanya aneh, kombinasi antara hijau, coklat gelap dan abu-abu. Continue reading

Menjadi Mahasiswa yang Belajar

Menjadi Mahasiswa yang Belajar
Hasanudin Abdurakhman

 

Banyak orang mengeluh sulit mencari kerja. Khususnya bagi lulusan baru yang tidak punya pengalaman kerja. Tidak sedikit yang melamar ke sana sini tapi tak kunjung mendapatkan pekerjaan. Namun dari sisi sebaliknya saya merasakan hal yang juga tak enak. Dari sisi pemberi kerja (perusahaan), saya sering merasa kesulitan mendapat tenaga kerja sesuai dengan yang kami butuhkan.

 

Waktu memimpin sebuah perusahaan manufaktur kecil di Karawang saya punya kebijakan untuk memprioritaskan lulusan baru ketika merekrut karyawan. Pertimbangannya, saya ingin memberi kesempatan seluas-luasnya bagi lulusan baru.  Saya menyediakan diri untuk membimbing dan melatih karyawan, juga memberi kesempatan kepada mereka untuk belajar secara mandiri.

Apa hal terpenting yang saya perhatikan ketika saya menyeleksi calon karyawan? Kemampuan belajar. Prinsip saya, seorang karyawan yang baik dan bisa diandalkan adalah orang yang mampu belajar dan mau terus belajar. Perusahaan akan maju bila para karyawannya adalah orang yang cerdas, kreatif, dan penuh inisiatif. Tapi bagaimana bisa menilai semua itu dari suatu wawancara yang singkat? Meski tidak 100% akurat, hal itu bisa dilakukan.

Continue reading

200.000 SPBU Asing Katanya?

– 200.000 SPBU Asing Katanya? –

Dalam acara Security Summit SKK Migas – KKKS Migas di Nusa Dua Bali 20 November lalu, seorang pembicara bertanya secara blak-blakan dari atas podium. “Saya challenge anda-anda yang berasal dari perusahaan migas asing. Sanggupkah perusahaan anda berlaku seperti Pertamina, mendistribusikan BBM subsidi ke seluruh pelosok Indonesia, dan dibayar entah kapan oleh pemerintah?.”

Tak ada yang merespon tantangan tersebut dan tentu saja begitu. Mendistribusikan BBM di Indonesia bukan perkara mudah. Secara kasar saya sudah melihatnya di Pertamina selama tiga tahun terakhir, dalam perjalanan saya memberikan security awareness di unit-unit bisnisnya yang tersebar di berbagai penjuru tanah air. Jadi betapa menyedihkan jika ada yang percaya, bahwa akan ada 200.000 SPBU asing yang segera beroperasi di Indonesia. Mereka akan buka disini, iya. Jumlahnya banyak, memang. Namun 200 ribu unit?. Memangnya Shell mau, jika disuruh membuka SPBU di Rangkasbitung atau Pagar Alam?.

Perusahaan Migas asing pasti berfikir business oriented. Mereka, seperti pelaku bisnis lainnya, sangat pragmatis. Yang paling masuk akal adalah membuka SPBU di kota-kota besar padat penduduk, padat kendaraan bermotor dan murah dari sisi biaya distribusi. Dari sini saja sudah bisa diperkirakan barrier entry yang akan dihadapi : ketersediaan lahan, izin operasional dari Pemda setempat, Amdal, HO dan entah apa lagi.

Jadi 200.000 unit?. Barangkali seekor babi akan dapat terbang dalam waktu dekat ini, namun saya sangat meragukannya.

Sawangan, 1 Desember 2014

Hidup Boleh Sederhana, Pendidikan Jangan Sederhana

Hidup Boleh Sederhana, Pendidikan Jangan Sederhana

 

 

10830717_10152616968133978_8064159947472748289_oIbu saya tidak lulus SD, sekolah hanya sampai kelas 2, cuma bisa baca tulis dan berhitung. Ketika remaja, Ibu menjadi pelayan toko kain. Selama itu, beliau menabung gajinya dengan membeli emas. Setelah menikah dengan Bapak (katanya sih lulus SD, tapi kami tidak pernah melihat ijazahnya), Ibu menjual emasnya untuk modal buka toko. Bapak menjahit dan Ibu berjualan alat-alat jahit seperti benang, kancing, jarum.

Keluarga kami hidup sederhana. Kami tinggal di kios satu lantai. Saya tidur di kasur busa tipis yang digelar ketika toko sudah tutup. Kami tidak punya TV, kalau ada acara menarik (misalnya ketoprak TVRI), kami harus menonton di TV tetangga. Benda-benda mewah seperti kulkas dan sambungan telepon baru kami punya setelah saya lulus SMP.

Tapi Ibu tidak pernah berhemat untuk biaya pendidikan saya. SPP tidak pernah telat, buku-buku pelajaran terbeli semua. Meski saya harus puas menggunakan tas yang sama selama enam tahun. Saya sekolah di SMP terbaik di kabupaten. Lulus dengan nilai terbaik se kabupaten. Saya melanjutkan SMA di kota Yogyakarta yang jaraknya 20 km dari rumah. Setiap hari saya harus naik kendaraan umum sampai usia saya cukup untuk membuat SIM. Meski saya sempat sulit beradaptasi dengan gaya hidup remaja kota, saya lulus dengan nilai terbaik di SMA.

Ibu membiayai kuliah saya di UGM sampai lulus. Memang waktu itu SPP UGM masih cukup murah dibanding sekarang. Tapi bagi orang tua saya yang penjahit, membiayai kuliah anak di kota sampai lulus adalah komitmen panjang yang tidak semua orang sanggup. SPP dan uang praktikum saya tidak pernah telat. Uang untuk fotokopi buku juga selalu tersedia. Tapi uang saku saya tak pernah cukup sebenarnya. Saya harus mencari tambahan sendiri dengan berjualan sprei dan tas.

Ibu juga membiayai sekolah Adik saya yang lebih moncer. Hidup boleh sederhana, tapi pendidikan harus yang terbaik, mahal pun harus diusahakan. Adik saya sekolah di SMP elit di Jogja dan SMA terbaik di kota yang sama. Ibu tidak pernah mengeluhkan biaya uang gedung, meski kadang harus mengambil dari uang untuk kulakan benang dan kancing. Adik saya juga lulusan UGM dan sekarang bekerja di penerbit paling masyhur di Jogja.

Sekarang Ibu dan Bapak saya masih tinggal di desa yang sama. Masih hidup sederhana di rumah dengan listrik 450 watt, yang harus gantian kalau mau menghidupkan mesin cuci atau menyetrika. Ibu tidak mengenyam bangku sekolah, tapi dia tahu mana yang seharusnya menjadi prioritas dalam hidup. Entah bagaimana reaksi Ibu kalau sampai tahu ada orang-orang yang mempermasalahkan “gaya hidup sederhana kok menyekolahkan anaknya di sekolah mahal”. Mungkin beliau cuma gumun dan bertanya-tanya orang itu sekolahnya di mana.

Gaya hidup seharusnya sederhana, tapi pendidikan tidak boleh sederhana. Jangan terbalik

 

Akankah Kita Hanya Mau Menjadi Penonton Saja?

– Akankah Kita Hanya Mau Menjadi Penonton Saja? –

Haryoko R. Wirjosoetomo

Saya pertama kali “berurusan” dengan Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK tiga tahun lalu, ketika seseorang disana mengudang meeting di kantornya. Waktu itu mereka memerlukan pelatihan Risk Management dan saya spontan menyanggupinya. Hanya saja, di ujung pembicaraan tersirat ada sedikit keraguan pada dirinya.

“Begini Pak Haryoko. Kami memperoleh nama anda dari seorang mantan penyidik kami. Ia telah resign dari Polri dan sekarang bekerja sebagai loss prevention manager di …. (ia menyebut nama sebuah perusahaan migas). Kapan hari ia bercerita bahwa team loss prevention di perusahaannya memperoleh beberapa pelatihan dari Bapak dan kami sangat tertarik juga mengenainya. Hanya saja ada satu hambatan disini…”

“Apa hambatannya kalau saya boleh tahu?.”

“Professional fee bapak, saya sudah mendengar dari kawan kami itu, benar-benar jauh diluar budget KPK. Sebagai lembaga negara, kami terikat pada peraturan-peraturan tentang honor pengajar…”

“Itu sama sekali bukan hambatan pak. Saya tunduk kepada peraturan negara saya sendiri. Silakan bapak beri honor mengajar kepada saya sesuai dengan ketentuan yang berlaku…”

“Tapi tidak ada pengurangan materi kan pak?,” selorohnya sambil tertawa.

“Yang terbaik pak, saya pastikan yang terbaik…”

“Wah, terimakasih banyak pak…”

Terimakasih kepada saya?. Saya menjadi malu hati, seharusnya sayalah yang berterimakasih kepada mereka. Apapun motivasi pribadinya, mereka telah berani menempatkan diri pada posisi yang berbahaya, in the line of fire, untuk memperbaiki negeri ini. Karena itulah saya tidak mau hanya sekedar menjadi penonton saja, harus turut berkontribusi dengan apa yang saya punya.

– 000 –

Tiga minggu lalu didalam taksi, dalam perjalanan dari hotel kekantor Husky-CNOOC Madura Limited di Surabaya, saya ditelepon seseorang dari Samarinda. Ia memperoleh nama saya dari seorang sahabat, yang menjabat sebagai Security-Safety Manager sebuah gedung perkantoran prestisius di Jakarta. Singkat kata, ia memerlukan jasa konsultan pengamanan.

“Apakah bapak ada client di Kalimantan Timur pak?. Untuk referensi kami,” tanyanya.

“Ada beberapa pak. Kami menangani Pertamina RU V di Balikpapan, Pupuk Kaltim di Bontang, Vico Indonesia di Muara Badak dan KPC di Sangatta. Semoga referensi ini cukup pak…”

“Waduh, raksasa semua, kami hanya perusahaan kecil pak. Apa mampu kami membayar bapak?.”

“ Apa bidang bapak?.”

“Developer pak, kami sedang membangun sebuah perumahan kecil, sekitar tigaratus rumah. Hanya saja kami ingin memiliki sistem manajemen pengamanan yang bagus, sehingga penghuni merasa aman. Tapi melihat daftar pendek client bapak disini, saya jadi merinding….”

Saya tertawa mendengar gurauannya.

“Begini saja pak. Saya akan submit proposal ke Bapak, tanpa ada nilai jasa disana. Setelah itu saya akan ke Samarinda dan mendiskusikan dengan Bapak. Soal budget saya jamin akan sesuai dengan anggaran anda, jadi merindingnya disimpan saja untuk masalah lain…”

Saya sudah lama berkeinginan, perusahaan-perusahaan kecil dan menengah di Indonesia mampu menerapkan sistem manajemen pengamanan yang baik, yang selama ini hanya bisa dilakukan dan dinikmati oleh perusahaan-perusahaan multinasional. Banyak yang bersemangat, banyak yang menyadari tingkat kepentingan dan manfaatnya; namun selalu terbentur kendala yang sama. Tingginya biaya jasa konsultansi untuk membangunnya. Dan saya bertekad untuk urusan ini, tidak sekedar menjadi penonton saja.

– 000 –

Hidup di negeri ini, kita hanya disodori dua pilihan. Menjadi penonton dan merutuki kondisi negara saat ini, atau turut mengambil bagian untuk memperbaiki keadaan sesuai dengan kemampuan masing-masing. Semua pasti berujung kepada biaya, kendati langkahnya sangat sederhana semisal beralih dari konsumsi bahan bakar subsidi ke non subsidi. Namun yang terpenting adalah, sekecil apapun langkah itu, seminim apapun biaya yang dikeluarkan, akan mampu membuat perubahan yang berarti. Sebuah perubahan besar bisa dimulai dari serangkaian perubahan kecil-kecil dan grup ini amat sangat mampu untuk menginisiasinya, jika mau.

Sawangan, 29 November 2014

PNS, Hotel dan Garuda Indonesia

PNS, Hotel dan Garuda Indonesia

Umi Gita Nugraheni

satu hari ini saya dan beberapa teman kantor saya cukup asyik berdiskusi tentang isu alias gosip tentang adanya kebijakan bahwa PNS tidak boleh naik pesawat Garuda ketika melakukan tugas kedinasan di luar daerah. Selain itu PNS juga tidak boleh lagi melakukan rapat atau konsinyering di hotel. kalau ini sepertinya sudah bukan gossip lagi karena Menteri PAN dan RB sudah membuat
(walau belum ada edaran resmi nya). Kebijakan Menteri PAN dan RB ini (katanya) membuat banyak pengusaha
hotel protes.

“Industri dalam negeri kita mau dihancurin. Garuda mau dilemahin. tuh kan jokowow berpihak pada asing!” kata salah satu teman, sebut saja Andi.

“Banyak orang yang gak tahu kalau PNS konsi di hotel atau melakukan perjalanan Dinas itu memberikan multiplayer effect ekonomi. PNS melakukan konsi…anggaran masuk ke hotel dan hotel bisa merangkul tenaga kerja dan lain lain. begitu juga dengan melakukan perjalanan, pake garuda juga memberikan perputaran uang pada maskapai.” jelas teman yang lain, sebut saja Budi.

“Well…tapi mari kita lihat juga temuan BPK dimana banyak kasus perjalanan dinas dan konsinyering yang bodong.” ungkap teman lain lagi, sebut saja Cepi.

Aku pun nimbrung…”Sebenarnya efektif tidak sih kita melakukan rapat di hotel itu? jujur saja…enggak kan?!”

Entah saya cukup heran mengapa begitu pesimis dengan PNS tidak rapat di hotel? PNS tidak memakai Garuda? akan sebegitu bangkrutnya kah dua usaha itu dengan kebijakan itu?

Asal muasal ada kebijakan PNS rapat di hotel dan keluar daerah itu ketika tahun 2003an dimana industri pariwisata kita jatuh karena bom Bali. nah PNS dengan menggunakan Anggaran negara disuruh untuk rapat di hotel dan di luar daerah agar industri pariwisata bangkit. PNS jadi kail pemerintah.

Tapi sekarang industri pariwisata sudah pulih. kebijakan anggaran pun perlahan (dilakukan dari tahun 2013) telah mengarahkan agar PNS kembali rapat di kantor. Secara teknis, itu terlihat jelas dengan Peraturan menteri keuangan di standar biaya (SBM) yang mengatur segala jenis kegiatan yang dilakukan di instansi pemerintah. Terlihat jelas biaya untuk melakukan rapat di hotel diperkecil, dan dimunculkan biaya rapat dalam kantor.

apa sebegitu tergantungnya roda perekonomian Hotel dan Garuda Indonesia pada APBN? apa tidak ada customer lain selain para PNS? toh saat ini wisatawan banyak, begitu juga pengusaha. Dan apakah para pengusaha hotel dan maskapai itu tidak memiliki inovasi bisnis agar gak selalu menggantungkan diri dari APBN.

Kalau masalah tambahan kesejahteraan PNS mengapa tidak anggarannya untuk membuat merit system yang lebih baik. Untuk tunjangan kinerja yang lebih baik bagi PNS yang kinerjanya gemilang. Ini juga meminimalisir temuan BPK dimana masalah perjalanan dinas dan konsiyering sering fiktif.

Selain itu anggaran tersebut juga dapat dialokasikan untuk permasalahan yang lebih pelik yaitu pendidikan, kesehatan dan infrastruktur.

Ah…saya hanya seorang PNS kroco yang hanya mencoba melihat sisi positif apapun kebijakan yang dijalankan di negeri ini.

Dan diskusi itu diakhiri dengan pernyataan Andi, ” Gue generasi galon, gagal move on.”

Halaaaahhh

Parodi Buruh

PARODI BURUH

Haryoko R. Wirjosoetomo

Tanggal 28 besok organisasi2 buruh di Indonesia sepakat melakukan mogok massal. Tentu saja di sisi perusahaan, hajatan itu akan sangat menyibukkan mereka2 yang bertanggungjawab atas urusan SDM, sebuah posisi yang pernah saya duduki dulu. Sebuah posisi yang banyak meninggalkan kenangan, terutama yang menggelikan. Beberapa di antaranya adalah ini :

– Speedometer –

Saya mengawali karir saya di dunia kerja pada sebuah industri makanan. Hari pertama orientasi lapangan, saya masuk ke pabrik dan meninjau ruang oven. Kepala regu oven menyambut saya dan menjelaskan cara kerja mesinnya.

“Begini pak. Tiap pagi kami harus menghidupkan oven ini. Dipanasi sampai spidometernya mencapai angka 600. Setelah itu pelan-pelan spidonya diturunkan sampai angka 400 dengan cara mengecilkan apinya. Setelah itu oven siap digunakan…”

Spidometer, tentu saja saya paham bahwa yang dimaksudnya adalah termometer. Ketika melihat saya terus mengangguk-anggukkan kepala, kepala regu itu bertanya dengan nada puas : “Paham kan ya pak?.”

“Iya… saya sekarang paham. Pantas saja tembok ruangan anda retak2 begini, karena ovennya dipaksa harus berlari sekencang itu setiap hari…”

– Bangkit dari kubur –

Suatu pagi saya dikomplain oleh Direktur Produksi. Ia mengeluh di pabrik B tingkat absensinya sangat tinggi sehingga target produksi tidak tercapai. Selesai meeting dengannya, saya pun menelepon Manajer Personalia di pabrik B untuk menyiapkan data dan ruang meeting.

Setelah makan siang saya pun pergi ke pabrik B. Menarik… sangat menarik. Ada beberapa pekerja yang absennya memang keterlaluan, mayoritas alasannya adalah nenek atau kakek meninggal. Saya minta kepada Manajer Personalia untuk memanggil dan mengumpulkan mereka di ruang meeting.

Setahun setelah menjabat sebagai Direktur HRGA di grup industri tekstil itu, saya akhirnya tahu ada istilah2 tertentu di karyawan terkait dengan masakah disiplin. Jika dipanggil Kepala Shift untuk diberi teguran, mereka bilang dipanggil PM. Bilamana dipanggil Manajer Personalia, dibilangnya akan disidang oleh dewa kecil. Nah jika saya yang memanggil, mereka katakan dipanggil dewa besar dan itu gawat, karena dewa besar bisa memutuskan untuk memecat orang saat itu juga. Maka tak heran jika wajah mereka pucat semua.

“Kalian tahu tidak kenapa saya panggil?,” tanya saya kepada mereka.

“Tidak pak….,” sahut mereka serempak.

“Ini menyangkut absensi kalian, ijin nenek dan kakek meninggal…”

“Maaf bapak…,” sahut seorang dari mereka memberanikan diri. “Apakah ijin tidak masuk kerja karena nenek meninggal, apakah dilarang?.”

“Siapa yang bilang?. Tentu saja tidak. Saya panggil kalian karena saya merasa takjub, beruntung sekali kalian punya nenek dan kakek lebih suci daripada Yesus Kristus…”

“Maksud Bapak?.”

“Yesus meninggal sekali, dibangkitkan Tuhan untuk diangkat ke surga…,” kata saya pelan sambil menatap wajah mereka. ” Saya lihat kamu, Peno, tahun ini saja ijin nenek meninggal sepuluh kali. Artinya nenekmu itu meninggal, hidup lagi, meninggal, hidup lagi, meninggal dan hidup lagi…begitu?. Atau kamu punya penjelasan lain atas keajaiban yang baru saja saya temukan ini?.”

Memang, kadangkala rasa geli bisa mengalahkan rasa takut. Ruang meeting kecil itupun dipenuhi cekikikan tertahan, tanpa mereka tahu bahwa sayapun tengah berusaha keras menahan tawa yang nyaris meledak.

– Lembur libur –

Hari Minggu itu giliran saya yang masuk kantor, piket direksi. Belum lagi saya meletakkan tas kerja di meja dan hendak Baru saja saya meletakkan tas kerja di meja dan hendka menyeduh kopi, telepon saya berdering. Rupanya sekretaris saya menghubungi lewat interkom.

“Pak, pengurus serikat pekerja mau menghadap…”

“Ok, suruh mereka masuk ke ruang meeting direksi. Saya temui disana…”

Ada lima orang pengurus inti serikat pekerja di ruangan itu. Setelah berbasa-basi sebentar, sang ketua pun membuka pembicaraan.

“Kami menghadap bapak membawa aspirasi anak2. Hari ini kan hari minggu pak, berarti kita kerja lembur kan?.”

“Benar…,” sahut saya kepadanya. “Dan manajemen selalu memenuhi seluruh hak2 anda. Lalu apa masalahnya?”

“Hari ini juga bertepatan dengan hari Kenaikan Isa Al Masih, hari besar pak…”

“Benar, lalu?.”

“Anak2 bertanya, untuk hari ini dapat lembur dobel enggak pak?”

Sungguh saya tidak tahu, apakah saya harus menangis atau tertawa mendengar pertanyaan itu.

 

Depok, 27 Oktober 3013